webnovel

Gadis bernama Daisy

"Saya beri waktu lima belas menit untuk memebentuk kelompok masing-masing, maksimal lima orang. Dimulai dari, sekarang."

Semua murid di salah satu kelas SMA Pelita langsung berhamburan saat mendengar perintah dari Mrs. Lina, guru Fisika yang mengajar di Sekolah Menengah Atas tersebut. Mereka saling bertetiak dan berdiskusi merebutkan para murid-murid terbaik di kelas demi mendapat kelompok yang memuaskan. Tapi, lain hal dengam murid perempuan di meja pojok.

Murid perempuan, si penyandang nama Daisy Frost itu merupakan siswi yang terkenal bodoh dan anti sosial. Dia hanya diam di mejanya, sambil menunduk dan meremas rok abu-abunya. Beberapa murid tampak mengumpati si gadis itu. Bukannya berusaha mencari kelompok, dia malah diam seolah akan ada pangeran berkuda yang menjemputnya untuk bergabung dalam kelompok.

Memangnya, siapa yang mau satu kelompok dengan anak pengidap Bipolar dan anti sosial seperti Daisy? Semua dalam dirinya tidak ada yang bisa diandalkan. Daisy juga anak yang aneh, kadang suka menangis sendiri di pojok kelas, itu membuatnya terlihat gila dan menakutkan.

"Waktunya habis, silakan tulis nama anggota kelompok kalian di selembar kertas kosong, lalu kumpulkan di meja ini," ucap Mrs. Lina seraya menunjuk mejanya.

Suara robekan kertas terdengar di kelas itu. Masing-masing kelompok mencatat nama-nama anggota di dalamnya. Perwakilan dari masing-masing kelompok langsung maju menyerahkan selembar kertas yang berisi nama anggota.

"Baik, terima kasih." Mrs. Lina mengecek lembar demi lembar nama yang tercatat dari setiap kelompok. Keningnya mengernyit, sadar akan satu hal. Dia pun menatap semua murid. "Ada yang belum mendapatlam kelompok?"

Perkataan Mrs. Lina membuat para murid saling bertanya dan berbisik, sebelum akhirnya menoleh ke meja pojok secara bersamaan. Menatap seorang gadis yang hanya menunduk sambil meremas roknya.

Mrs. Lina mendesah pelan seraya menggelengkan kepalanya malas. "Lagi-lagi kau, Daisy."

Mrs. Lina bersedekap dada. Dia menatap ke ujung kelas, di mana Daisy duduk terdiam. "Apa maumu, Nona Frost?"

Gadis penyandang marga 'Frost' itu mrndongak menatap gurunya. "A-aku akan membuat kelompok sendiri, Mrs."

"Hanya kamu?"

Daisy mengangguk. "Iya."

"Yang sudah-sudah, ujung-ujungnya kau mempermalukan dirimu sendiri, Nona Frost." Mrs. Lina geleng-geleng kepala. "Kamu tidak ada perubahan dari tahun ke tahun, selalu duduk di pojok sana. Kamu tidak ingat? Kamu sudah tidak naik kelas dua kali."

Semuanya menahan tawa mendengar itu. Selain anti sosial, Daisy juga termasuk yang paling bodoh. Kalau tidak naik kelas sekali, masih bisa dimaklum. Teman-teman di tahun pertamanya sudah mempersiapkan ujian, tapi Daisy masih setia duduk di tingkat pertama.

Salah seorang siswa mengangkat tangannya. "Mrs, dia berbeda dari kita. Apa Mrs tidak bisa meminta kepala sekolah untuk mengeluarkannya?"

"Betul," sambung siswi yang duduk di meja paling depan. "Bagaimana mungkin gadis Bipolar spertinya bisa bersekolah di sekolah ternama seperti sekolah ini? Dia sudah didiagnosa mengidap Bipolar, dia sangat berbahaya."

Beberapa orang tertawa, mengawali semuanya untuk tertawa. Tawa pun pecah di kelas itu. Mereka menertawakan kebodohan dan kekonyolan Daisy. Mereka bahkan memiliki julukan pada gadis dengan rambut hitam legam itu. 'Gadis Pojok'.

"Daisy," panggil Mrs. Lina. "Saya bukannya tidak suka dengan kamu. Tapi, mungkin kamu harus mengikuti pendidikan khusus. Supaya kamu lebih mengerti. Sampaikan pesan saya ini pada kedua orang tua kamu, ya?"

Mendengar perkataan Mrs. Lina membuat tawa makin terdengar di penjuru kelas tingkat satu di Sekolah Menengah Atas itu. Daisy hanya bisa diam dengan telinganya yang memerah karena tidak tahan dengan tawa teman-teman dan gurunya.

Daisy telah didiagnosa mengidap Bipolar sejak satu tahun lalu. Bipolar sendiri merupakan suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati mulai dari posisi terendah, depresif atau tertekan ke tertinggi, manik.

Mentalnya terganggu, amarahnya meluap. Cairan bening pun menembus mata indahnya. Bukannya berhenti mencaci Daisy saat melihat tangisnya, tapi teman-temannya masih terus mencacinya. Mrs. Lina pun hanya diam, seolah mendukung pembullyan ini.

Tubuh Daisy bergetar, dia menata lampu gantung besar menghiasi langit-langit kelas. Lapu dengan ratusan beling berbentuk berlian itu tampak indah. Cahaya yang mengenai berlian itu menciptalan hologram di tiap sisinya. Tiga lampu gantung itu mulai bergoyang, seiring tawa di kelas itu.

Daisy menunduk memegangi kepalanya sesekali menatap ke arah lampu gantung itu yang bergoyang makin kencang. "Aku mohon ... aku tidak ingin menyakiti kalian ....."

Daisy menutup telinganya kuat, berusaha tidak mendengar tawa dan cacian dari teman-temannya itu. Tapi semakin Daisy menutup telinganya, suara-suara itu malah makin kencang seolah merasuki pikirannya. Daisy mulai hilang kendali, tangisnya makin pecah.

"Berhenti ..." Daisy memukul-mukul kepalanya, agar suara-suara itu berhenti merasuki pikirannya. Ia khawatir energi misterius yang berada di dalam dirinya kembali mengambil alih tubuhnya saat mentalnya tak stabil. Dan itu bisa menyebabkan orang di sekitarnya celaka.

"Daisy kau harus dibawa ke Rumah Sakit Jiwa!"

"Lihat gadis Bipolar itu, terlihat sangat konyol!"

"Jangan dekat-dekat dengannya! Gadis aneh!"

Daisy menatap teman-temannya dengan bibir yang gemetar saat mereka semua makin berani mengeluarkan cacian dari mulutnya dengan mudah. "Aku mohon berhenti ... aku tidak bisa mengendalikan semua ini, aku tidak ingin menyakiti kalian ...."

Lampu gantung itu makin bergoyang kencang. Bukan hanya itu, tanpa mereka sadari dinding kelas juga mulai bergetar seperti gempa. Lukisan dan bingkai-bingkai di sana menimbulkan suara saat dinding bergetar. Tapi semua bagai buta dan tuli saat mencaci.

"Kamu itu berbahaya!"

"Tidak pantas anak idiot bersanding dengan kita."

"Idiot!"

"Antis sosial!"

"DIAM!!!" Daisy berteriak kencang. Tepat saat teriakannya menggelegar, tiga lampu gantung langsung terjatuh menimpa bebera murid di bawahnya. Lukisan, bingkai, dan pajangan di dinding pun terlempar secara misterius dengan asal.

Daisy memejamkan matanya. Tiba-tiba hatinya menjadi tenang dan damai saat suara tawa dan cacian itu menghilang di gantikan suara lampu gantung yang jatuh. Gadis itu mengusap cairan merah anyir yang menyembur membasahi wajahnya.

Daisy menatap seisi kelas dengan tangan menutup mulutnya. "Apa yang aku lakukan?" Tangisnya pun mulai pecah saat melihat pemandangan di depannya.

Mereka semua terdiam, dengan serpihan-serpihan beling dari lampu gantung merobek mulut mereka.