webnovel

Pergi Sejauh Mungkin

Karena pergi dengan sangat terburu-buru, Abigail tidak membawa banyak barang miliknya. Hanya beberapa potong pakaian saja yang berhasil ia masukan ke dalam tas ransel miliknya. Selain pakaian ia juga membawa beberapa barang berharga miliknya, seperti perhiasan dan buku tabungan, serta kartu identitas dirinya.

Abigail tidak pergi ke bandara begitu ia berhasil kabur dari rumah mertuanya, di mana ia dan suaminya tinggal. Ia tahu jika pergi menggunakan pesawat maka nama aslinya akan tercatat di daftar penumpang, dan itu akan membahayakan dirinya. Karena suami dan keluarganya dapat melacak keberadaannya dengan mudah.

Bukan hanya itu, Abigail juga mematikan ponselnya. Bahkan ia mencabut sim card dari ponselnya agar keberadaan dirinya tidak terlacak. Tanpa pikir panjang Abigail pergi menuju terminal bus, dan membeli sebuah tiket menuju Seattle, Washington. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, yang ia tahu ia harus pergi sejauh mungkin.

Abigail sadar, jika jarak menuju Seattle sangatlah jauh dari New York. Ia harus menempuh jarak sekitar 4598 kilometer. Yang akan ditempuh melalui darat dapat menghabiskan waktu sekitar 41 sampai 42 jam , itu pun jika bis yang ditumpanginya tidak berhenti lama di setiap titik pemberhentian.

Tak ada pilihan lain, ini sudah menjadi keputusannya yang ia ambil secara random. Saat ini ia tidak bisa berpikir dengar jernih.

"Aku harus pergi sejauh mungkin…" lirihnya dengan pelan ketika akhirnya ia duduk di kursi miliknya. Abigail duduk di samping jendela, di mana dari tempatnya saat ini ia bisa melihat jalanan yang di laluinya. Dan kursi ini akan menemaninya selama 42 jam ke depan.

Sebelumnya Abigail sudah menaruh ranselnya di tempat penyimpanan barang tepat di bagian atas ia duduk, dan tas yang lebih kecil ia tetap bawa, karena di dalamnya terdapat barang-barang berharga seperti uang cash dan lainnya. Hal ini ia lakukan agar tak ada yang bisa mengambil barangnya saat ia tertidur ataupun lengah. Jadi ia memegangnya dengan sangat erat.

Entah berapa lama ia sudah menghabiskan waktunya di dalam bis untuk menempuh perjalanan menuju Seattle. Perkiraannya mungkin ia sudah di dalam bis sekitar 3 jam. Dan sudah cukup jauh meninggalkan New York. Abigail yakin, jika saat ini, di rumah mertuanya sudah mulai menyadari ketidakberadaan dirinya di sana.

Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya tubuhnya yang masih merasakan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya. Tapi hati lebih terluka dan merasa sangat sakit. Serta ketegangan yang menyelimuti dirinya sejak tadi, hingga saat ia sudah jauh dari New York, Abigail mulai merasa sedikit lebih tenang.

Sambil menatap keluar jendela, pikirannya berkelana entah kemana. Memikirkan bagaimana nasibnya ke depannya. Beberapa kali Abigail memejamkan matanya seraya menghela napas panjang.

Tanpa Abigail sadari ia mulai terlelap.

***

Ryan mematikan laptopnya, cukup untuk hari ini ia bekerja dan mengamati perkembangan perusahaannya yang ada di New York. Ia memijat keningnya dengan pelan seraya beranjak dari kursinya dan berjalan menuju beranda ruang kerjanya.

Dari tempatnya kini terlihat Danau Sammamish yang tampak indah di hari yang begitu cerah. Hingga cahaya matahari terpantul dari air yang memenuhi danau. Selain itu di sisi danau dan juga di samping rumahnya tampak pohon-pohon tinggi menjulang dan begitu rimbun. Pemandangan yang di dominasi warna hijau ini cukup menyegarkan untuk penglihatannya, dan mampu membuat dirinya merasa tenang.

Sudah hampir 5 bulan ia meninggalkan New York dan menetap di Sammamish, Washington.

Baginya ini tempat ideal untuk menenangkan dirinya. Sekitar 9 bulan yang lalu adalah masa kelam bagi dirinya. Di mana ia harus kehilangan kekasih tercintanya. Paula--kekasihnya harus meregang nyawa saat mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan terguling di high way. Paula meregang nyawa di tempat kejadian.

Yang semakin membuat Ryan bersalah adalah ia tidak mengetahui perihal kehamilan Paula. Paula meninggal bersama calon bayi mereka yang baru berusia sekitar 6 minggu di dalam perut Paula. Kehamilan Paula baru diketahui oleh Ryan saat tubuhnya yang sudah tidak bernyawa di periksa oleh pihak rumah sakit.

Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat bagi Ryan. Ia dan Paula sudah berencana untuk segera menikah. Dan akan di laksana dalam waktu dekat, dan hal ini membuatnya semakin merasa bersalah.

Ryan baru sadar setelah kejadian tersebut, banyak perkataan Paula yang sedikit janggal selama beberapa hari sebelum kejadian tersebut. Seakan Paula sudah memberinya clue jika mereka akan memiliki buah hati dari cinta mereka. Ryan yakin, jika maksud dari Paula untuk tidak memberitahunya cepat-cepat akan kehamilannya adalah untuk sebuah kejutan.

Dan kejadian yang menimpanya ini terus saja menghantui dirinya. Ditinggalkan oleh dua orang yang dicintainya membuat Ryan merasa shock dan sangat sedih. Berminggu-minggu lamanya ia mengalami gangguan makan dan depresi berat. Hingga bobot tubuhnya banyak berkurang. Hampir setiap malam ia menangis dan meraung meratapi kepergian kekasihnya dan calon bayi mereka.

Saat berada di New York, Ryan sudah mendatangi seorang psikiater, sayangnya kenangan buruk itu selalu menghantuinya dan seakan enggan untuk menjauh darinya. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi untuk meninggalkan apartement yang di tempatinya bersama Paula.

Matahari semakin tinggi, cuaca begitu terik.

"Sudah waktunya makan siang," gumamnya pelan setelah melirik pada jam tangan yang di kenakannya di tangan kanannya. Kemudian Ryan membalikkan tubuhnya dan kembali masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia kemudian keluar dari ruangan tersebut dan turun ke lantai bawah untuk menuju dapur, di mana ia akan membuat makan siang untuk dirinya sendiri.

Ia hanya tinggal sendirian di sini, untuk membersihkan rumahnya ini ada pelayan yang akan datang setiap dua hari sekali untuk merapihkan dan membersihkan rumahnya. Sejak kejadian itu, Ryan lebih senang menyendiri dan tak ingin ada orang yang mengganggunya.

Bahkan dari rumahnya untuk sampai ke tetangga terdekat harus menghabiskan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Keadaan di tempat tinggalnya saat ini, sangat lah jauh berbeda dengan New York. Di sini sangat sepi dan jauh dari hiruk pikuk keramaian. Meski begitu, saat-saat tertentu danau akan ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Namun keramaian itu ada di sisi lain danau.

Di dapur Ryan mulai membuat makan siangnya sendiri. Ia cukup mahir untuk membuat makanan, karena Paula sempat mengajarinya untuk memasak beberapa makanan. Hanya saja setiap menyantap makanan yang dibuatnya sesuai dengan bimbingan Paula dahulu, membuat hatinya kembali sakit.

Hingga beberapa waktu yang lalu, Ryan sempat berselancar di internet untuk mencari resep-resep makanan yang mudah untuk di buat.

Dan setiap satu minggu sekali, Ryan akan menuju kota untuk membeli bahan makanannya sendiri.

Saat ini Ryan akan membuat pasta, makanan yang sangat mudah untuk ia buat. Ryan mulai mengeksekusi bahan-bahan makanan yang baru saja ia keluarkan dari dalam lemari pendingin

-To Be Continue-