webnovel

Ch 1. Pertemuan Singkat Dengan Wanita Misterius

"Di mana ini? Apa aku sudah mati?" Aku membuka mataku. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan. Wajahnya terlihat redup kecuali mulutnya yang bergerak cukup jelas. Sepertinya dia mengatakan sesuatu. Sayangnya, aku tidak dapat mendengar suaranya.

"Aku, akan … men…." Aku mulai mendengar apa yang dia katakan meski tidak jelas. Tapi, apa yang dia maksud? Siapa dia? Sial, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"... aku berjanji!" sambung perempuan itu lirih. Air mata mulai membasahi pipinya. Sepertinya dia sedang menuju kearahku. Aku menoleh ke sekitar. Terlihat rerumputan bewarna hitam dan pohon tua dibelakangku. Tempat yang sangat asing.

"Hey, siapa kau? Mengapa aku berada disini?!"

"... kuharap kali ini akan berbeda...," sambungnya sendu. Dengan tubuhnya yang perlahan memudar, ia mencoba memelukku, namun sayangnya tubuhnya telah hancur sepenuhnya menjadi kepingan cahaya biru.

"Aaaarghh!" kepalaku cukup pusing. Beberapa tetes keringat dingin mengalir di kepalaku. "Hosh, hosh, hosh."

"Oh? Kau sudah bangun ya, Paman."

Err..siapa? Ah, gadis yang sebelumnya kutemui di hutan. Tunggu, apa yang dia maksud bangun? Jadi rerumputan gelap dan wanita gelap itu hanya mimpi? Serius?! Tapi mengapa ... dadaku terasa sesak saat melihatnya menangis? Secara reflek aku mencengkram dadaku dengan kuat.

Eh? Mimpi? Jadi manusia dapat merasakan hal seperti ini ya.

"Hei, Paman. Kau menangis?" tanyanya sedikit datar.

"Apa? Menangis? Apa yang kau,"-aku segera mengusap mataku-"maksud?"

Eh? mengapa mataku berair? Siapa yang kutangisi? Lalu, di mana ini? Ruangan kecil dengan pintu tertutup dan beberapa jenis perabotan. Aneh, bagaimana aku bisa mengetahui soal perabotan dan lainnya? Siapa gadis ini sebenarnya?

Ia hanya terdiam heran lalu menghela nafas.

"Cih, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, setidaknya minum ini." Ia menyodorkan segelas teh bewarna hijau dengan asap yang mengepul diatasnya. Aku sedikit ragu untuk meminumnya. Bagaimana jika ini akan menyakitiku? Hmm, kelihatannya, anak ini tidak berniat jahat. Aku tidak merasakan niat buruk darinya. Tanpa keraguan, aku menerima gelas kayu itu.

"Uh, terima kasih." Aku mencoba memasang muka tulus berterimakasih. Tapi tentu saja, Dewa perwujudan malapetaka sepertiku cukup susah melakukannya. Belum lagi, anak ini baru saja kutemui beberapa saat lalu.

"Pfft...." Samar-samar terdengar suara tawa yang tertahan tepat setelah gadis itu memalingkan wajahnya. Sialaaaaan anak itu pasti menertawakan raut wajahku yang terlalu kaku. Aku lalu menyeruput teh yang baru saja dia berikan. Ternyata, aku masih hidup ya....

"Ah, apa yang terjadi kemarin? Bagaimana aku bisa selamat?"

"... paman tidak perlu mengetahuinya, bukan?" ujarnya. Jawaban yang sudah pasti kudapatkan darinya: dingin, dan kurang ajar. Aku mencoba menahan kekesalanku.

"Berhenti memanggilku paman. Itu menyebalkan. Kau bisa memanggilku Dyze, oke?" Aku kembali menyeruput teh hangatku.

"Kalau begitu, jangan panggil aku bocah, Dyze." Ia melirikku tajam.

"Pfft, tapi itu kenyataan...." Aku membalas tatapannya.

"Paman sialan, usiaku 13 tahun tau!" serunya. Gadis itu terlihat kesal. Muahahah rasanya puas sekali. Tunggu, kenapa aku merasa puas hanya karna hal kecil bodoh ini? Sial, wujud manusia ini mulai memengaruhiku.

"Baiklah baiklah, jadi siapa namamu?" tanyaku kemudian.

"Tidak ada alasan untuk mengetahui nama-"

Kreeek ... Pintu terbuka.

"Noa sayang...." Seorang lelaki yang cukup tinggi memasuki kamar tempatku berbaring. "Ah! Disini kau rupanya, Malaikat Kecilku." Dia tersenyum hangat.

Huh? Malaikat kecilku? Dia siapa?

"Eh?"-gadis itu menoleh kearah pintu dengan cepat-"Pak tua! Kau selalu saja datang di waktu yang tidak tepat!" teriaknya kesal. Wajahnya terlihat sangat marah dan ... malu? Ah, jadi orang itu adalah ayahnya? Dan malaikat kecil adalah panggilan kesayangannya?

"Pfft...." Sial, aku tidak bisa menahan tawaku. "Fuhahahah! Malaikat kecil? kau memang masih seorang bocah, 'ya?" Aku meliriknya rendah.

"Tch,"-ia menoleh kearahku-"paman masih terluka parah lo, sebaiknya diam saja...," ucapan sedingin es dengan tatapan tajam seperti pedang dan senyum kecil yang sama sekali tidak ramah. Aku hanya memoles senyum penuh kemenangan.

Namun, seketika atmosfer menjadi dingin menusuk. Aku segera menoleh kearah ayah gadis tadi. Wajahnya yang di awal penuh keceriaan, kini menjadi suram, dan entah mengapa, aku sedikit merinding melihatnya.

"Beraninya kau ... beraninya kau menertawakan panggilan khusus Noa tersayang ... kurang ajar. Tidak bisa dimaafkan...!" kata orang itu dengan suara beratnya. Gawat, Ia mulai berjalan kearahku. Sialan, sialan ... apa orang tua ini sudah tidak waras? Ah, itu tidak penting. Aku harus-

Ptanggg, brukk. Lelaki itu jatuh tersungkur.

Eh? Bagaimana bisa? Aku segera melihat kearah orang dibalik lelaki itu. Seorang wanita berambut hitam dengan ikat kuncir kuda, berdiri sembari memegang ... apa itu? Rasanya aku pernah melihatnya, ah kalau tidak salah manusia menyebutnya "teflon". Sepertinya benda itu yang membuat orang ini jatuh tersungkur.

"Geez, dia kambuh lagi ya ... ngomong-ngomong, Noa...,"-wanita itu menatap anak sialan yang ternyata bernama "Noa" itu-"mengapa kau tidak menghentikannya? Bukankah akan runyam masalahnya jika orang yang menolongmu dihajar olehnya?" tanyanya dengan senyuman yang cukup membuatku bergidik.

"Hmmph, salahnya sendiri telah mentertawakanku!" Anak itu membuang muka. Keluarga macam apa mereka? Aku tak dapat mendengar suara langkah kaki mereka, aura yang mereka keluarkan juga tidak seperti manusia pada umumnya.

"Yah terserahlah. Hei Layond, bangun. Kau tidak perlu berpura-pura tak sadarkan diri!" ujarnya seraya menepuk kepala pria yang bernama "Layond" itu. Ia kemudian bangkit dengan kepala yang sudah memiliki benjolan.

"Hehe ... seperti biasa, kau terlihat sangat cantik dan menyeramkan, Riley." Suasana hatinya berubah lagi. Wanita yang bernama "Riley" kemudian menatapku, atmosfer disekitarnya yang awalnya dingin menusuk, menjadi hangat serta mencairkan suasana.

"Astaga, aku sangat tidak sopan. Maaf, aku belum memperkenalkan diri, Namaku Riley Emilton." ucapnya dengan senyuman ramah. Akhirnya, semua kembali normal.

"Kau juga perkenalkan diri!" bisiknya seraya menyenggol pria itu. Tetap saja aku dapat mendengarnya. Walau sedikit tidak jelas.

"Ekhem, maaf, aku telat memperkenalkan diri. Namaku Layond Emilton. Meskipun kau tadi mentertawakan panggilan khusus Noa, aku tetap menghargaimu karna telah menolongnya. Terima kasih," ucapnya dengan tulus. Yah, dia adalah ayah yang baik.

Aku lalu menatap lurus kearah Noa.

"Tsk, terserahlah. Namaku Chronoa Emilton."

Ooh? Chronoa ya, sepertinya dia masih jengkel dengan kejadian tadi.

***

"Masakan buatan Riley memang yang terbaik!" Layond meletakkan piringnya yang telah kosong diatas meja. Layond dan Dyze baru saja menghabiskan makan siang mereka.

Apa ini? Makanan manusia tidak buruk juga, pikir Dyze dalam benaknya. Sementara chronoa, ia hanya mengaduk aduk makan siangnya dan memainkannya.

"Hahah tentu saja ini untuk menyambut tamu kita. Oh, Noa sayang, jangan jadikan makananmu sebagai mainan." Riley menatap Chronoa tajam. Tangannya memegang lap dan teflon yang baru saja ia cuci.

"Hmmph, ini sama sekali bukan makanan," balasnya datar seraya tetap memainkan makanannya.

"Chronoa sayang, sepertinya, ibu tidak pernah mengajarkan hal itu." Riley melebarkan senyumannya yang lembut tapi juga mengerikan.

"B-baik bu!" Chronoa segera memakan makanannya yang telah ia susun menjadi menara kecil.

Benar benar anak yang nakal, gumam dyze dalam hati.

Beberapa saat lalu, Dyze telah mengatakan bahwa dirinya kehilangan ingatan, ia juga memastikan bahwa keluarga Emilton bukanlah manusia yang akan membahayakannya. Selain itu, Dyze juga sudah cukup beradaptasi dengan wujud barunya dan beberapa benda disekitarnya.

"Jadi, Dyze, darimana kamu berasal? Apa kamu juga lupa akan hal itu?" tanya Riley sembari menduduki kursi kosong disebelah Dyze. Dyze terdiam, lalu tersenyum kecil.

"Fu-fu-fu kalian pasti tidak akan percaya." Dyze melebarkan senyum penuh misterinya. Chronoa menatapnya sinis.

"Cih, Paman Dyze itu sudah pasti hanya orang aneh yang kabur dari tempat rehabilitasi," cibir Chronoa. Senyum misterius dyze berubah menjadi senyum penuh kekesalan. Layond hanya tertawa kecil melihat mereka yang saling menatap sinis.

"Hei Malaikat Kecil, dengar saja dulu, kurasa kau tidak akan kecewa dengan jawabanku." Dyze memasang senyum arogannya. Chronoa mengabaikannya dan tetap memakan makan siangnya. Dyze menghela nafas kecil dan menutup matanya.

Atmosfer berubah total menjadi sangat mencekam. Dyze terlihat mulai serius. "Firmament deity."

Firmament deity, katanya!?

Seorang wanita dengan rambut pendek berwarna abu abu bergelombang menoleh kearah Dyze dari kejauhan. Tangannya bergetar dengan sapu di genggamannya. Ia menatap Dyze untuk beberapa lama kemudian tersadar dan segera melanjutkan kegiatan menyapunya.

Layond dan Riley hanya terdiam kebingungan seraya menatap Dyze. Sementara Chronoa berhenti mengunyah dan melirik kearah Dyze.

"Aku baru mendengarnya. Apa itu Human Country yang lain?" Tanya Layond. Ia tampak tertarik dengan apa yang Dyze bicarakan. Dengan senyum arogannya, Dyze melirik kearah Chronoa. Chronoa yang kesal segera memalingkan tatapannya dan melanjutkan makan siangnya.

"Salah besar. Firmament Deity adalah tempat dimana para dewa tinggal," ujar Dyze dengan tenang.

"Pfft." Chronoa menutup mulutnya dengan tangan. Sementara Layond dan Riley saling pandang satu sama lain.

"Paman mengkhayal ya?" Chronoa tersenyum sinis. Ia merasa sangat puas dengan perkataan konyol Dyze tanpa menunjukkannnya.

"Hahahah...," tawa kedua orang tua Chronoa. Suasana yang tadinya kaku menjadi cair kembali. Dyze hanya tersenyum kaku sedikit kesal.

"Apa kau seorang chuunibyou, Dyze?! Kau sudah tidak muda lagi!" Mereka berdua tertawa.

"Cih, apa kau tidak ingat apa yang terjadi di hutan?" tanya Dyze seraya melihat ke arah Chronoa.

"Hm? Apa yang perlu kuingat? Kau, kan, cuma berlari sesuai arahanku." Gadis itu tersenyum tipis.

Siaaaal, senyum tipisnya itu sangat menyebalkan. Gadis ini tetap menyembunyikan rasa puasnya dalam menindas. Ia bahkan tidak pernah tersenyum lebar ataupun tertawa. dia mencoba mempermalukanku yaa? Tidak akan kubiarkan, batin Dyze.

"He~ kau tidak ingat apa yang terjadi saat kau mengucapkan kalimat 'Apakah ini hukuman untuk anak nakal sepertiku?' " Dyze membalas senyum Chronoa dengan tatapan rendahnya.

"Ap,"-Layond dan Riley menoleh kearah chronoa dengan terkejut-"HAHAHA! Kamu serius Noa? Apakah kamu mengakui nya sendiri?" Kedua orang tua itu tertawa.

"Tsk." Wajahnya menjadi sangat suram. Ekspresi jengkel dan malu bercampur aduk di wajahnya yang sangat mudah dibaca. Tiba-tiba, seorang dengan rambut pendek bergelombang tadi menghampiri Meja makan.

"Maaf, apa kalian semua sudah selesai?" tanyanya. Wanita dengan setelan baju pelayan itu tersenyum kaku dengan wajah sedikit pucat.

"Oh, tentu. Kau bisa membereskannya, Lealta," jawab Riley pada wanita yang merupakan maid keluarga Emilton itu. Dyze menatapnya sedikit dan cukup heran dengan gerak geriknya yang sedikit kaku.

Aneh, sepertinya dia merasa ketakutan. Tapi akan apa? Ah itu tidak penting. Sudah bagus mereka tidak menganggapku sebagai dewa. Aaah rencanaku berjalan dengan sangat lancar..., pikir Dyze. Makan siang mereka pun selesai.

* * *

"Dimana Dyze? Aku tidak melihatnya sedari tadi." Gadis kecil berambut hitam panjang bertanya pada ibunya.

"Kurasa dia pergi keluar," jawab Riley, ibu Chronoa.

"Cih, baiklah...," balasnya. Chronoa lalu berjalan kearah luar dan menemukan Dyze tidak jauh dari rumahnya.

Dasar, apa yang dia lakukan diluar malam-malam begini? batin Chronoa. Gadis itu berjalan perlahan kearah Dyze.

"Zavist sialan. Apa tujuanmu sebenarnya?!" gumam Dyze cukup keras. Kepalanya tertunduk suram. Chronoa yang sedikit mendengarnya segera terdiam.

Apa yang dia maksud? pikirnya.

"Brengsek ... aku benar-benar bodoh...." Dyze mengangkat kepalanya seraya menutup matanya dengan penuh penyesalan.

Orang ini ... dia menyembunyikan sesuatu. Paman Dyze, siapa kamu sebenarnya..., batin Chronoa yang masih terdiam cukup dekat di belakang Dyze. Pemuda berusia sekitar 18 tahun yang dulunya adalah Dewa itu berdiri secara tiba-tiba. Ia menghela nafas panjang, dan bergumam pelan.

S-sial, dia berdiri. Aku harus segera pergi atau-

"Chronoa sayang...! Dimana kamu?!" Teriakan Layond terdengar dari dalam rumah. Dyze yang mendengar itu segera menoleh kearah suara dan mendapati Chronoa berdiri tidak jauh dibelakangnya.

"Bocah nakal."