Pemandangan yang tak ada bedanya dengan yang ia lihat sebulan yang lalu. Sebulan memanglah bukan waktu yang cukup lama untuk melihat perubahan dalam suatu daerah.
Apalagi jika yang dilihat hanyalah jalan masuk desa yang terkesan seperti tak terawat. Hanya sebuah batu besar pipih yang diukir dengan nama desa Westlington.
Jalan setapak yang berukuran 2 meter dan rerumputan tipis di setiap kiri dan kanan jalan. Perlu berjalan sampai 20 meter untuk sampai ke perumahan penduduk dari jalan setapak tersebut. Setidaknya masyarakat desa masih melakukan tradisi untuk bekerja bakti, buktinya jalanan mash terlihat rapi dan tak ada sampah yang berserakan.
"Huh?"
Seorang anak kecil berjalan dengan sepedanya yang juga berukuran kecil, melewati Elea dan melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemudian ia pergi tanpa mengucap apapun padanya dan justru malah mengayuh sepeda dengan lebih kencang lagi.
"Apa aku terlihat seperti hantu baginya?," Elea yang tak terima pun mencoba untuk melihat dirinya sendiri secara keseluruhan.
Tak ada yang salah padanya, pakaian yang ia kenakan saat ini pun masih terbilang pantas dan ia bahkan tidak berdandan kali ini karena itu terasa menyesakkan.
"Tak ada yang salah padaku, anak itu saja yang aneh"
Berjalan di tepi jalan, tak ingin terlalu ke tengah karena akan menyusahkan pengendara yang lewat lagi nantinya. Jarak tak begitu jauh, itulah sebabnya ia memilih untuk diantarkan hanya sampai ke gerbang desa saja.
Desa Westington tidak terlalu besar dan hanya memiliki sedikit penghuni, sekitar 100 kepala keluarga ada di dalamnya. Meskipun kecil tapi juga ada sekolah dasar, pasar dan juga bilik kesehatan.
Tempat tinggalnya ada di bagian barat desa, bertempat di paling ujung dan berhadapan langsung dengan hutan besar yang ada di depannya.
Ada sebuah jalan pintas untuk sampai ke rumahnya tepat dari jalan masuk gerbang desa. Tepat di sebelah kanan dari rumah paling depan ada jalan kecil yang menuju langsung ke jalan samping rumahnya.
Dan itulah jalan yang dilalui oleh Elea sekarang, berjalan pelan agar kue dalam kardus titipan dari Maria ini tidak terjatuh dalam perjalanan. Elea sampai memegangnya dengan tangan dua meskipun ada sebuah pegangan di bagian atas kotak tersebut.
Lepas dari jalanan yang sedikit berkerikil itu, ia langsung dihadapkan pada sebuah perkebunan kecil milik pemilik rumah pertama yang baru saja ia lewati.
Kebunnya tidaklah besar, tapi cukup untuk menanam beberapa macam tanaman yang siap untuk dikonsumsi setiap hari.
Dan setelah melewati kebun ituada beberapa pohon besar yang cabangnya begitu banyak dan daunnya lebat hingga membuat matahari di bagian bawah hampir tak dapat. Hanya ada berkas matahari yang masuk dari celah dedaunan, tapi cukup untuk dijadikan penerangan.
Tak jauh dari tempatnya berjalan, ada sebuah rumah bercat putih dengan beberapa tanaman yang tumbuh subur di depan pagar bambunya. Rumah yang ia rindukan meski sudah setiap bulan ia pulang.
Elea menarik nafas panjang, menghirup udara segar yang ada di sekitarnya. Banyaknya tanaman hijau membuat oksigen memenuhi paru-parunya. Sangat berbeda dengan udara yang setiap hari ia hirup di perkotaan.
Menaiki dua anak tangga untuk sampai ke pintu utama yang tertutup, menandakan kalau si empunya rumah sedang tak ada di dalamnya.
Kotak kue yang sedari tadi ia pegang sudah ia letakkan di atas meja kecil yang ada di teras, begitu juga dengan tas ransel yang ia letakkan di atas kursi tepat di samping meja.
"Ayah… ibu..?"
Elea hanya iseng memanggilnya, siapa tau saja kalau keduanya memang berada di rumah dan hanya malas untuk membuka pintu karena ingin tidur seharian. Itu sih memang apa yang diinginkan oleh Elea sejak dari kota sebelumnya.
Tapi tentu saja, tak ada suara apapun yang menyahutnya, atau suara gerakan benda di dalam rumah ketika Elea mendekatkan telinga pada pintu rumah.
Mengingat dimana ayahnya menyimpan kunci rumah, mencoba mencari di karpet dan juga pot tanaman yang ada di depan rumah, tapi tak kunjung ditemukan.
Baru saja Elea ingin mencari ke semak-semak yang ada di bawah tangga, sebuah suara menginterupsinya dan membuatnya berbalik seketika.
"Oh! Gadisku! Gadis kecilku!"
Sepasang suami istri berdiri tak jauh darinya, dengan pakaian serba panjang dan sebuah topi untuk melindungi dari panas saat hari sudah semakin siang. Keranjang yang ada di belakang punggung belum terlalu penuh jika dibandingkan dengan hari biasanya.
Anna, sang ibu berlari dan langsung memeluk putrinya, Elea yang juga balas memeluknya. Di belakangnya, sang suami dengan sabar dan telaten mengambil keranjang milik istrinya dan membawanya menuju ke rumah, meninggalkan kedua wanita dalam keluarganya itu saling melepas rindu.
"Bagaimana kabarmu, sayang?," kecupan demi kecupan didapatkan Elea dari Anna, ibunya.
"Apa kau sudah makan? Ah! Kita bicara di dalam rumah saja, ya?"
Begitu mengucapkan kalimat terakhir, Anna segera melepaskan pelukannya dan merogoh saku celana untuk menemukan kunci rumah yang tadi sengaja ia bawa. Meninggalkan Elea yang masih sedikit kebingungan dengan sikap ibunya setiap kali bertemu dengannya, selalu heboh.
Ia melihat sang ayah yang memilih untuk bersandar di pagar sambil menunggu ibu membuka pintu, Elea segera naik dan memeluk ayahnya.
Dadanya yang bidang, ototnya yang sudah mulai mengendur dan wajahnya yang mulai keriput. Tapi pelukannya masih sama hangatnya, penuh kasih meski tak diucapkan.
"Ayo masuk"
Baru juga pelukannya terlepas, ibu sudah menarik tangan Elea dan mengajaknya untuk masuk ke rumah. Meninggalkan suami di luar rumah, membiarkannya untuk membawakan barang-barang milik Elea yang tertinggal di atas meja dan kursi.
Tak ingin protes dan bertengkar saat anak mereka sedang berkunjug pulang, Gregory memilih diam dan berusaha tenang dengan berulang kali menarik nafas panjang.
Ia mengambil tas ransel dan juga kotak kue yang ada di atas meja, membawanya masuk ke rumah bersamanya dan meletakkan semuanya di atas meja yang ada di depan ruang tamu rumah kecil mereka.
Pintu sengaja tak ditutup agar membiarkan angin sepoi masuk ke dalam rumah dan memberikan sensasi sejuk pada seluruh penghuninya.
Anna menuntun Elea untuk duduk di kursi ruang tamu mereka kemudian meninggalkannya untuk mengambilkannya minuman.
"Nggak usah, bu"
Begitu Elea ingin berdiri, ibu langsung berhenti dan berbalik untuk memberikan pelototan mengerikan yang menjadi ciri khasnya setiap kali Elea melakukan kesalahan.
Tubuhnya yang belum sepenuhnya terangkat pun terpaksa harus kembali duduk lagi dan menunggu sampai ibu duduk di sampingnya sambil membawa air minuman.
"Kamu sudah makan apa belum?," tangan kirinya mengelus rambut Elea dengan lembut.
"Sudah tadi di perjalanan. Oh iya bu, aku mau kenalin pacar aku ke ibu"
*****
Bersambung