Semua orang beraktivitas seolah keributan itu tak pernah terjadi.
Menjadi perawat di sebuah rumah sakit jiwa artinya Yongrae harus selalu sigap dengan segala kemungkinan. Tetapi, ini pertama kalinya seseorang membawa senjata api.
Biasanya mereka bertindak spontan dan menggunakan 'kemampuan' mereka sendiri.
Di Aven, 'kemampuan' ini bisa bermacam-macam. Dari 'kemampuan' yang sangat kuat seperti kekuatan dewa sampai yang sangat lemah sampai tidak bisa disebut 'kemampuan' atau 'bakat'.
Sebutan 'bakat' atau 'kemampuan' ini bukan semacam kekuatan yang kau dapat secara cuma-cuma seperti di film superhero.
Seperti bakat lainnya, 'bakat' ini juga perlu dilatih dan dikembangkan untuk dimanifestasikan. Sederhananya, semua orang terlahir dengan 'bakat', tergantung bagaimana mereka mengembangkannya.
Namun, tidak semua orang memanfaatkan 'kemampuan'nya untuk kebaikan.
Jangankan untuk kebaikan, rata-rata remaja di Aven pasti pernah menggunakannya untuk bertengkar dan bahkan membunuh.
****
"Menurutmu gimana?" Lumayan kan?" Seorang remaja laki-laki dengan setelan kemeja-rompi dan kaca mata hitam menonton rekaman CCTV ruang Profesor Choi.
Terlihat bagaimana aksi heroik Yongrae terekam jelas di dalamnya. "L-Lumayan? Oh, ya ampun! T-Tuan Muda,...s-saya nggak tau kalau tuan hobinya yang imut begini."
Plak!
"Maksud gua kemampuannya b*go! Emang mikirnya apa?!" Remaja itu menampar pengemudinya.
"A-ampun Tuan! Saya gagal paham!" Pengemudi itu menundukkan kepalanya saat tangan remaja itu terangkat dan siap menamparnya lagi.
"Panggil mamaku. Ketemuannya di sini saja. Bilang ada hal penting yang harus dibicarakan." Ia keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam RSJ tempat Yongrae bekerja.
Ia tersenyum saat melihat mobil milik Nyonya Oshiro dari balik kaca jendela lobby RSJ.
"Vuizen!! Apa-apaan kamu! Hari ini mama ketemu klien penting dan kamu batalkan?!" Suara sepatu hak menghantam lantai marmer terdengar nyaring. Nyonya Oshiro tampaknya sudah darah tinggi.
"Ma, aku ada pengumuman penting." Jawabnya. "Sepenting apa sampai mama dipaksa datang?"
"Aku..."
****
Yongrae sibuk memandangi profesor yang sedang mengotak-atik berkas konseling di mejanya. Profesor Choi menyadari tatapan bengong Yongrae dan segera membalasnya.
"Yongrae?" Tanya profesor lembut.
"Hm?"
"Jangan terlalu kasual. Kau sedang bekerja." Profesor Choi menegur pelan. Mata lelah berwarna amber nya terlihat kesal. "Baik, guru!" Yongrae tersenyum meledek.
"Ehh..anak ini. Sudah kubilang kau sedang bekerja. Panggil pasien berikutnya!" Mood Professor sedang buruk. Sepertinya karena kejadian tadi pagi.
"Hahaha! Maaf, tapi kalau liat profesor serius begitu bawaannya jadi pengen bercanda." Yongrae memang tidak pernah tahu kapan waktu bercanda dan serius. Ia mengambil papan jalan berisi daftar nama pasien setelah candaannya gagal.
"Ngomong-ngomong, apa yang kau bisikkan pada Tuan Hamada?" Tanya profesor penasaran.
"Anakmu nggak akan bangkit dari kubur sekalipun profesor mati." Jawab Yongrae seraya mengangkat bahu, berjalan menuju pintu untuk memanggil pasien.
Profesor menampilkan ekspresi tak percaya, lalu menggelengkan kepalanya. "Kau sadis, Yongrae."
Persis saat Yongrae akan melangkah keluar, pintu otomatis terbuka lebih dulu.
Membawa masuk seorang wanita dengan gaun span hitam. Wanita tersebut menjambak rambut seorang remaja laki-laki dan menariknya duduk di sofa.
"Ada apa lagi ini?" Profesor tampak pasrah. Wajar, seharian ini pasiennya rusuh semua.
"Dengan Psikiater Choi Eun?" Wanita itu bertanya seraya menyibakkan rambut panjangnya.
"Benar. Anda Nyonya Oshiro? Apa keluhannya?"
"Itu..! Tolong sembuhkan anak saya! Saya yakin dia pasti sudah gila!"
Tak selayaknya orang 'sakit' yang membutuhkan konseling atau pengobatan, remaja tersebut hanya sibuk bermain di gawai miliknya.
Rambut bergaya korean mullet panjang yang berwarna biru tua berantakan akibat jambakan ibunya. Jarinya membuka kancing rompi hitam yang senada dengan celananya.
Ia melirik ke arah Yongrae yang sedang memperhatikannya. Yongrae langsung memalingkan wajahnya saat menyadari lirikan tersebut.
"Gini, Profesor pasti tau Oshiro Tech kan? Perusahaan elektronika terbesar di Aven!" Nyonya Oshiro merapikan rambut panjangnya.
"Anak ini adalah satu-satunya harapan kami untuk mengambil alih perusahaan itu. Tiba-tiba hari ini dia bilang tidak mau!"
"Jadi, anak ibu menolak menjadi penerus?" Profesor Choi mengangguk tanda memahami perkataan wanita di depannya.
"Oshiro Tech? Oshiro Tech yang itu?" Bisik Yongrae terperanjat mendengar nama perusahaan IT nomor 1 di Aven.
Perusahaan yang membuat antrian panjang di setiap gerainya saat launching produk baru. Hampir semua perangkat elektronik dari ponsel, laptop, PC, sampai TV berasal dari Oshiro Tech.
Rata-rata warga Aven pasti memakai produk yang berasal dari perusahaan teknologi raksasa itu. Mereka benar-benar sukses menguasai pasar.
"Maaf, tapi anak ibu tidak sakit jiwa. Saya yakin dia pasti punya alasan mengapa tidak mau melakukannya." Profesor Choi tersenyum.
"Mau tau alasannya? Dia mau jadi seorang agen inteligensi negara! Apa namanya kalau bukan gila?" Nyonya Oshiro memegang kepalanya dengan lelah.
"Seorang agen? Kau mau bersekolah di AEI?" Profesor mengernyitkan keningnya.
"..Ya." Remaja yang semenjak awal sibuk memainkan ponselnya menyahut santai.
Sebagai usaha pemerintah menekan pertumbuhan tindak kriminal, didirikanlah sebuah lembaga pendidikan berbasis examination. Sistem yang mengadakan ujian setiap naik level.
Sistem ini berfungsi mendidik sekaligus menyaring calon agen baru. Namun, peminatnya sangat sedikit.
Kabarnya, ujian yang harus dilalui sangat sulit dan banyak yang menyerah mengikutinya.
Terlebih beredar rumor tak sedap mengenai apa yang sebenarnya terjadi disana karena ujiannya dilaksanakan secara 'tertutup'. Mereka yang berhasil lulus pun seperti tidak ada kabar.
Tentu saja, ide seorang penerus perusahaan besar memilih bersekolah di AEI memang terdengar absurd. Terutama di Aven yang sangat mengutamakan keamanan dan kenyamanan masing-masing pribadi.
"Tidak! Tidak boleh! Mama bilang kamu harus lanjut kuliah bisnis!"
"Kalau nggak mau?" Remaja itu membalas dengan nada menantang.
"Siapa yang mengubahmu jadi begini? Apa pria itu mendidikmu seperti ini?!" Kesabaran Nyonya Oshiro mulai habis.
"Papa nggak ada hubungannya sama keputusanku. Mama juga."
"Kau...!" Nyonya Oshiro mengangkat tangannya, bersiap menampar anak kurang ajar di depannya.
"Ny. Oshiro tenanglah! Kita bicarakan baik-baik." Profesor Choi menghela napas.
"Yongrae, bisa tolong ambilkan teh?" Ia tampak lelah, orang 'penting' ini menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan untuk pasien sungguhan.
"Baik, Profesor." Yongrae berjalan menuju sudut teh.
Remaja yang semula duduk menyandar pada sofa, memainkan gamenya, tiba-tiba berdiri lalu melempar ponselnya ke sofa. "Ketemu. Yongrae Elixis, Putri dari Mijun Elixis? "
Prangg!
Teko porselen jatuh. Teh menodai lantai marmer putih. Jantung Yongrae terpicu dengan cepat. Napasnya terhenti untuk beberapa saat. Rasanya seperti saat ia ketahuan mengambil makanan dari kulkas saat tengah malam. Tidak, mungkin lebih parah dari itu.
"Hei! Lakukan pekerjaanmu dengan benar!" Ny. Oshiro membentak Yongrae ketika teh menodai sepatu hak beludrunya. "Maaf, akan segera saya bereskan!"
Remaja laki-laki itu berjalan ke arah Yongrae sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
Sekarang Yongrae bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kulitnya bagus dan terawat. Mata merahnya menatap Yongrae teliti.
"Mata biru tua yang unik dan nama Yongrae Elixis. Lu pasti putri keluarga Elixis. Anaknya Mijun." Seringainya pada cewek tomboi itu.
Yongrae memakai jas perawat dan turtleneck tanpa lengan. Rambutnya yang pirang dipotong sebahu. Ditambah dengan mata biru tua yang hanya dimiliki keturunan Elixis.
Tak bisa dipungkiri, Yongrae memang menonjol. Tetapi, bagaimana anak ini mengenalnya?
"Yongrae Elixis? Sepertinya nama itu tidak asing." Gumam Nyonya Oshiro "Ah, tentu saja. Dia ini perawat yang berbakat sekaligus muridku." Profesor Choi menanggapi.
"Kalian nggak tau? Dia ini putrinya master ujian Mijun Elixis." Remaja itu menatap wajah kesal Yongrae dengan senang.
Menjadi putri dari seorang yang memperoleh peringkat 1 di sekolah inteligensi negara, AEI, bukanlah hal yang patut dibanggakan.
Sekalipun posisinya setara menteri atau pejabat, pihak berwenang tetap tidak disukai masyarakat Aven. Ditambah, ayah Yongrae ini punya sifat yang sangat mengerikan.
"Apa yang dilakukan anak seorang master ujian di rumah sakit jiwa? Prof, saya sudah bilang dia pasti kehilangan akal sehatnya!" Nyonya Oshiro bangkit dari sofa konseling.
"Dia benar. Tapi, sekarang saya perawat disini. Bukan 'putri seorang master ujian'." Yongrae mengaku dengan berat hati.
Remaja itu tersenyum sambil mendekatkan mukanya pada Yongrae. Wajahnya yang tampan membuat Yongrae membeku di tempat.
Mata merah tajam, rahang yang kuat, dan bibir merah yang menyeringainya. Ditambah potongan mullet kekinian yang sedikit panjang.
'Yongrae, sadarlah! Pria ini menyebalkan!'
"Akhirnya kita ketemu, Yongrae. Namaku Vuizen Oshiro. Aku yakin kamu pernah dengar."
"Se-senang bertemu dengan Anda, Tuan muda Oshiro." Yongrae mendengus geram.
Vuizen sudah membocorkan hal yang paling ia ingin rahasiakan seumur hidupnya. Fakta yang ingin dia larikan dan kubur dalam-dalam.
"Panggil Vui aja. Kita seumuran." Vui mengajaknya berjabat tangan. "Gitu ya? Ok. Bisa lepasin tanganku, Vui?" Alih-alih melepaskan, cengkraman tangannya semakin kuat.
"Tempat ini nggak banget buat lu, tau?" Vui berbisik pada Yongrae. "Oh, ya? Terus gua kerja dimana cocoknya?" Tanya Yongrae kesal.
"Gimana kalo ikut aku sekolah di AEI?"
Sudah 4 tahun sejak Yongrae dilantik menjadi seorang perawat. Saat itu, ia hanya berusia 12 tahun dan merupakan perawat paling muda yang dilantik dalam sejarah.
Sampai sekarang, hidupnya berjalan dengan damai. Mengubur fakta bahwa dia adalah seorang putri aparat hukum memberinya hidup yang layak.
Sekarang, untuk apa Yongrae mencampakkan semuanya dan menjadi seorang agen?
"Hah? Maksudnya?"
"Aku mau kamu ikut sekolah di AEI."
Vui menoleh dan menyadari tatapan ibunya beserta Profesor Choi yang kebingungan. Ia menarik Yongrae dan membawanya keluar ruangan.
Nyonya Oshiro meneriaki mereka. Namun, Vui tak punya niatan untuk menghentikan langkahnya.
"Bentar! Bentar! Kita mau kemana?!" Yongrae melepas genggaman tangan Vui. "Ayo bernegosiasi di tempat lain." Jelasnya.
****
Mereka berhenti di kafeteria lantai 2 lalu mengambil kursi dekat jendela. Cahaya mentari menembus jendela dengan cepat mencuci wajah.
Rambut biru tua Vui tampak keunguan di bawah sinar matahari dan matanya yang merah gelap terlihat lebih terang. Bohong rasanya kalau bilang Yongrae tidak terpana.
"Mau kopi?" Dia menawarkan Yongrae. "Ng-nggak, makasih. Terlalu pahit." Tolak Yongrae halus.
"Oke." Vui menengak kopinya habis dalam sekali teguk seperti bukan apa-apa. Melihatnya saja membuat lidah Yongrae terasa sedikit pahit.
Terlebih, ia meminum satu cangkir penuh yang masih panas. "Yah, lumayan..." Vui tersenyum puas setelah menghabiskan kopinya.
"Uh, soal identitasku. Jangan bilang siapa-siapa ya...Reputasiku gimana nasibnya kalau pada tau aku anak master ujian?" Ujar Yongrae.
Ia merasa takut berurusan dengan Vui. Kalau sampai hal ini bocor, hidup damai yang selama Yongrae impikan bisa jadi hanya sebatas angan-angan.
"Bisa aja. Tidak sulit kok." Vui menyeka mulutnya dengan saputangan. "Tapi ada syaratnya. Tau kan?" Yongrae menarik napas dalam.
"Dengar, aku cuma mau hidup damai. Punya uang, kuliah, lanjut kerja. Udah gitu aja. Mimpiku sesimpel itu." Tegas Yongrae.
"Kalau fakta ini bocor memangnya hidup bisa damai?" Vui bertanya balik.
"Kamu mengancam? Seorang keturunan Elixis?"
"Hm? Memangnya kedengaran mengancam ya? Gini deh." Vui mengambil sebuah kotak kecil dari saku rompinya.
Ia menekan tombol pada kotak tersebut dan layar biru terproyeksikan keluar. Di dalam layar, tertulis seperti ini:
+-+-+-+-+-+-+-+-+
[Syarat dan Ketentuan]
1. Kedua belah pihak harus mengikuti Syarat dan Ketentuan sampai salah satunya tidak bisa melanjutkan karena alasan tertentu.
2. Vui (pengaju) harus mengusahakan kesejahteraan Yongrae (penerima)
3. Yongrae (penerima) harus mendampingi Vui (pengaju) selama berada dalam AEI.
4. Gaji harus dibayarkan tepat waktu atau penalti akan diberikan.
5. Pada saat ujian tulis, tanggung jawab dikembalikan pada masing-masing pihak.
Selanjutnya →
+-+-+-+-+-+-+-+-+
"Hah? Maksudnya?" Yongrae mengutak-atik screen. Kebingungan.
"Dipikir aku mengajak teman ke taman bermain? Ini tawaran pekerjaan." Kemudian, Vui menaruh ponselnya di meja dan memutarnya ke arah Yongrae. "Ketik aja di situ mau digaji berapa."
Orang kaya mana sih yang tidak sombong? Apalagi dia bukan sekedar orang kaya. Yongrae menggigit bibirnya.
"Pekerjaan apa ini? Pendamping? Bisa jelasin lebih detail?" Ia menyandarkan diri pada kursi cafe.
"Semacam asisten? Semua asisten yang kupunya tunduk sama Papa. Jadi butuh yang baru, yang bisa patuh dan setia sepenuhnya. Gampang, kok. Tinggal lakukan apapun yang kusuruh. Termasuk kalau disuruh bunuh orang, ya bunuh." Jawab Vui.
Mulut Yongrae menganga lebar. "Bu-Bunuh?" Mata biru tuanya terbuka lebar serta alisnya terangkat.
"Hei, uh, a-aku agak kasar. Tapi, untuk ngebunuh orang...itu agak..."
"Jangan bilang nggak bisa kalau belum coba." Vui tersenyum licik lalu memperlihatkan rekaman CCTV ruangan Profesor Choi yang diretas pegawainya.
"Rata-rata orang yang bisa narik pemicu itu ujung-ujungnya jadi pembunuh." Vui menunjuk adegan saat Yongrae menembak ke plafon. "Ini kamu kan?"
"Ini...dapet dari mana?" Tanya Yongrae skeptis. "Itu nggak penting. Jawab aja pertanyaanku."
"Uhm..gimana ya? Kalau jadi agen, mana mungkin bisa hidup damai? Apalagi, disuruh bunuh orang." Yongrae mengusap lengannya gugup.
"Oh, hedon ya? Kita lihat, materialis juga atau bukan." Ucap Vui saat mengambil ponselnya. Ia mengetik sesuatu dan kembali memberikannya pada Yongrae.
"Segini cukup? Kalau belum, bisa ditambah kapan saja." Ponselnya memperlihatkan sebuah tampilan e-banking dengan cek digital. Di dalamnya sudah lengkap tertulis nama beserta tanda tangannya.
Tetapi, bukan itu yang menarik perhatian seorang Putri Elixis.
"Se-Seratus juta? Ini per bulannya?" Lidah Yongrae terasa luar biasa kelu. Ia belum pernah melihat begitu banyak angka nol sebelumnya.
Rasanya mata Yongrae menolak percaya apa yang baru dilihatnya. Itu sepuluh kali lipat gajinya sebagai perawat.
Dengan uang sebanyak itu, Yongrae bisa membayar habis tunggakan rumah sakit ibunya dan beli rumah baru. Mungkin setelahnya masih sisa sekitar 10 juta.
"Oh, satu lagi. Coba lihat kesepakatan nomor 2 di layar."
+-+-+-+-+-+-+
Vui (pengaju) harus mengusahakan kesejahteraan Yongrae (penerima)
+-+-+-+-+-+-+
"Kalau setuju, hidup terjamin dah. Mau makan makanan favorit sampai muntah juga terbayarkan." Vui menyeringai gadis berambut pirang yang duduk di hadapannya.
"Hah, oke. Kupikir-pikir dulu." Yongrae merasa dirinya tersulut iming-iming rekening bank yang penuh dan kehidupan yang tentunya lebih sejahtera.
Keserakahan dalam dirinya berteriak tidak puas dengan hanya duduk diam melayani pasien.
"Vui! Ayo pulang!" Anak nggak tahu diri! Mama nyari kamu kemana-mana!" Nyonya Oshiro menuruni tangga dengan cepat.
Suara sepatu hak menapaki tangga marmer kembali bergaung di lorong yang sepi. Vui menelan ludah dan bersiap-siap dinasehati sepanjang perjalanan pulang.
"Batasnya sampai nanti sore. Aku jemput di rumah sakit ini." Vui meninggalkan sebuah kartu berisi nomer teleponnya.
Yongrae ingin sekali mengatakan pada Nyonya Oshiro bahwa anaknya tak perlu belajar bisnis lagi. Vui sudah sangat natural, seperti terlahir untuk berbisnis.
Ketika berjalan menuju tangga turun, Vui menoleh pada Yongrae. "Satu lagi, Aku tidak suka ditolak." Ujar Vui dengan tersenyum sambil mengancingkan rompinya.
"Persis ibumu." Balas Yongrae.