webnovel

The Eternal Love : Raja Chandra

[Bab 215 sampai seterusnya akan direvisi secara berkala oleh penulis] Perjalanan hidup Chandra, calon Raja Mahaphraya dari sebelum lahir sampai menemui cinta abadinya. Dia adalah pria nakal yang bertemu dengan 'eternal love-nya' di Valepawan. Pertemuan dengan Karina, meninggalkan bekas yang sangat mendalam dan selalu diingat sepanjang hidupnya, bahkan sampai bereinkarnasi sekalipun. "Siapa kau? ".... Aku Raka." Namun, semakin lama mengenalnya, Chandra merasa Karina bukanlah gadis biasa. Terlalu banyak bahaya dan tanda tanya di kehidupan Karina yang membuatnya enggan kembali lagi ke Mahaphraya sebagai calon raja. Apa alasan Chandra merasa enggan kembali ke Mahaphraya? "Aku selalu menunggumu, Raka ...." Lalu bagaimanakah kisah Chandra dengan eternal love-nya? Inilah lika-liku hidup Chandra yang dikemas dari sisi asmara, politik, maupun keluarga. ——— Cover art by maple.design_

meinjasumin · Fantasy
Not enough ratings
244 Chs

The Envy Crown Princess

***

Di Kamar Utama, Istana Alba

"Gasendra, tidurlah. Jangan melihat wajahku terus," ujar Arunika dengan mata yang terpejam.

"Bagaimana kau bisa tau kalau aku sedang melihat wajahmu?" Gasendra memutar ujung rambut Arunika yang berserakan di atas bantal.

Arunika membuka matanya, menatap Gasendra. "Wajahku terus berkedut karena tatapanmu. Jadi, tolong hentikan dan istirahat saja."

Gasendra terkekeh mendengarnya. Wajah berkedut? Baru kali ini dia mendengar hal aneh seperti itu.

"Aku serius," tutur Arunika.

"Hahaha... baiklah, baiklah. Aku juga sedang beristirahat sekarang."

"Istirahat apanya? Kau saja tidak memejamkan mata," pungkas Arunika yang kembali menutup matanya.

"Ini istirahat versiku jika berada di istana. Lalu, aku juga harus bekerja setelah ini. Ada beberapa laporan yang harus kukerjakan."

"Kau mau pergi bekerja?"

Gasendra mengangguk. Dia menciumi puncak kepala Arunika dan menghirup wanginya.

"Ya, aku akan kembali ke Istana Gading. Nanti malam, aku akan kembali lagi ke sini."

"Istana Gading itu istana utama?" tebak Arunika. Jari-jari lentiknya menggenggam tangan Gasendra.

"Iya. Istanaku dan ayah," jelas Gasendra.

Manik cokelat itu terlihat lagi, menatap Gasendra dengan rinci.

"Kalau begitu pergilah. Aku minta maaf karena sudah menahanmu cukup lama di sini. Pasti banyak pekerjaan yang ter--"

Bibir tebal Gasendra menangkup bibir Arunika.

"Hmphh!" Arunika memukul pelan dada Gasendra dengan tangan kirinya.

Gasendra melepas ciuman dan menjilat bibirnya. Sebelum Arunika melontarkan protesnya, Gasendra terlebih dahulu mengelak.

"Tanganku kau genggam. Hanya bibir saja yang tersisa untuk menutup mulutmu."

"Kan ada tangan yang lain!" protes Arunika kesal. Sebenarnya dia selalu merasa malu ketika dicium mendadak oleh Gasendra.

"Terlalu sulit untuk menggerakkannya," timpal Gasendra sambil terkekeh kecil. "Memangnya kau tidak mau dicium olehku? Jijik, ya?"

"Ti, tidaakk! Bukan begitu... kau kan tau... aku hanya malu," cicit Arunika. Dia membalikkan tubuhnya, membelakangi Gasendra karena kepalang malu.

Tubuh Gasendra merapat padanya. Tangannya mendekap pinggang kecil Arunika.

"Kenapa, hmm? Kau kan sudah merasakan semuanya. Kenapa masih malu juga?"

Rasa panas merambat di wajah Arunika. Dia mengingat malam pertama dan seterusnya yang sangat bergairah. Dia memang sudah merasakan semua bagian tubuh Gasendra, hanya saja... dia tetap malu. Pokoknya dia masih malu!

"Baiklah, baiklah.... Aku tidak menggodamu lagi. Ayo berbalik lagi padaku. Aku harus mengisi energi untuk bekerja," pinta Gasendra. Dia menciumi tengkuk Arunika yang membuat empunya merasa kegelian.

Perlahan Arunika berbalik. Dia langsung merangsek masuk ke dalam pelukan Gasendra.

"Aku mau tidur," ungkap Arunika.

"Ya, tidurlah. Aku akan di sini sampai kau tertidur pulas," ucap Gasendra sambil mengelus puncak rambut Arunika.

***

Pintu kamar terbuka. Yera yang duduk di atas kursi pun berdiri dengan sigap, sama seperti dua ksatria yang sejak tadi berjaga di depan pintu.

"Yang Mulia." Mereka semua menunduk hormat.

"Aku akan pergi ke istana utama. Kemudian, ajaklah permaisuri untuk berkeliling istana saat dia sudah bangun. Aku akan kembali nanti malam," titah Gasendra yang ditujukan pada Yera.

"Daulat, Yang Mulia." Yera menunduk hormat, kemudian menyelinap masuk ke dalam kamar.

Gasendra menatap tajam pada dua kstaria tersebut tanpa satu patah katapun, kemudian berjalan menjauh dari kamar menuju ruang kerjanya di Istana Gading.

***

Di Ruang Duduk Putri Mahkota, Istana Hara

"Yang Mulia Putri Mahkota!" Salah satu dayang berjalan cepat ke arahnya. Ketika tiba di depan Agni, dia menunduk hormat.

"Ada apa?" tanya Agni dengan suara tajam.

"Yang Mulia Putra Mahkota sudah kembali. Beliau sedang dalam perjalanan menuju ruang kerjanya di Istana Gading," lapor dayang itu.

Cangkir teh yang berada di tangan, dia letakkan di atas meja kecil.

"Begitukah?" Para dayang lain sudah bersiap untuk menerima titah dari putri mahkota itu.

"Ya, Yang Mulia!"

"Siapkan pakaian yang paling bagus. Aku akan memberikan salam pada Yang Mulia."

"Daulat, Yang Mulia Putri."

"Baik, Yang Mulia Putri!" jawab dayang itu.

Agni mendengus kecil. "Huh, aku tidak menyuruh orang yang tak bersikap sopan padaku," ujar Agni.

Mata dayang itu bergetar. Tubuhnya langsung bersujud di tempat dengan suara patah-patah. Dia baru menyadari kesalahannya karena tak memberi salam penghormatan bagi Putri Agni yang masuk ke dalam keluarga kerajaan.

"Yang Mulia Putri... sa.. saya mo... mohon ampun...." Tubuhnya bergetar seperti kecoak yang berada di ambang kematian.

Agni menggerakkan jari telunjuk, memberikan kode bagi dua dayang yang bertugas mendisiplinkan. Dengan cepat dayang yang bersujud memohon ampunan itu ditangkap dan diseret dengan kasar untuk diberikan hukuman.

"Yang Mulia Putri Mahkota, mohon ampunnn!! Yang Mulia...!"

Agni tak peduli. Telinganya tuli untuk raungan permohonan bagi orang-orang yang bersalah dan tak tahu di mana tempat mereka berada. Dayang itu pantas untuk menerima hukuman atas penghinaan terhadap keluarga kerajaan.

Agni berdiri dan berjalan lebih dahulu, diikuti oleh ketujuh dayang yang tersisa untuk berdandan cantik di kamarnya, demi mendapatkan perhatian dari suami tercinta, Gasendra Phraya.

***

Di Ruang Kerja Gasendra, Istana Gading

Pria bertubuh besar itu duduk di kursi sembari membolak-balikkan laporan. Matanya tertuju pada laporan kenaikan pangkat dan penghargaan bagi para ksatria yang berpartisipasi dalam pemberontakan di Urdapalay.

Seingatnya saat menitipkan laporan itu, Gasendra sudah bilang untuk melakukan prosesi penghargaan tanpa kehadiran dirinya dan Balges.

'Hmm, sepertinya Yang Mulia malah mengundur prosesi ini karena aku dan Balges masih berada di Urdapalay.'

Gasendra bangkit dari kursinya untuk mendiskusikan hal itu dengan Jahankara. Namun, suara dari prajurit penjaga di depan pintu membuatnya menghentikan pergerakan.

"Yang Mulia Putri Mahkota izin memasuki ruang kerja Yang Mulia Putra Mahkota!"

"Masuk," ujarnya singkat. Dia kembali duduk di kursi dan fokus pada laporan yang lain.

Pintu terbuka, samar-samar terdengar suara alas kaki yang bergesekan dengan lantai.

"Putri Agni memberi salam pada Yang Mulia Putra Mahkota."

Gasendra mendongak dan mendapati Agni yang menundukkan kepala sambil menarik ujung gaun menghadapnya.

"Ya, duduklah."

Agni duduk di tempat yang sudah disediakan dan tersenyum padanya. Aroma parfum yang sangat menyengat masuk ke indra penciuman Gasendra sampai membuatnya merasa mual.

"Bagaimana kondisi Yang Mulia?"

"Aku baik," jawab Gasendra singkat sambil menandatangani laporan.

"Apa tidak ada yang terluka selama pemberontakan?"

"Tidak ada."

"Apa Yang Mulia sibuk malam ini?"

Gasendra menghentikan pergerakannya. "Ya, aku sibuk."

Agni menggertakan gigi sembari meremas pakaiannya.

"Yang Mulia... tolong perhatikan saya juga," pinta Agni dengan suara memohon.

Gasendra meletakkan penanya saat mendengar permohonan Agni. Dia jadi teringat nasehat dari Yasawirya tempo hari. Matanya tertuju pada Agni walaupun dia merasa tak nyaman saat menatap manik hitam kelam milik wanita itu.

"Kau sendiri... bagaimana kabarmu?"

Agni terkejut dengan pertanyaan itu. Karena sekalipun Agni meminta untuk diperhatikan, Gasendra tetap akan mengabaikannya.

'Mungkin Yang Mulia mulai luluh padaku,' pikir Agni.

Agni tersenyum lebar dan menjawab, "Saya baik-baik saja, Yang Mulia."

"Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Bagaimana dengan Pangeran?"

Jantung Agni berdegup lebih kencang. Dia merasa bahagia karena pertanyaan sepele yang terlontar dari bibir Gasendra.

"Pangeran juga sangat sehat, Yang Mulia. Dia mulai menunjukkan ketertarikannya pada pedang," jawab Agni dengan menggebu.

Gasendra mengangguk. "Itu bagus."

Dia menghela napas pelan dan merapikan berkas laporan, kemudian berdiri.

'Ternyata sulit juga untuk merubah kebiasaan yang telah tertanam hampir lima tahun,' batin Gasendra merintih.

"Yang Mulia mau ke mana?" Agni ikut berdiri. Dia menghampiri Gasendra dengan senyum simpul.

"Ruang kerja Yang Mulia. Ada yang harus aku laporkan."

"Tapi, kita sudah lama tidak berjumpa."

Gasendra menghela napas panjang.

"Kita sudah berjumpa sekarang, Putri. Jangan mengganggu pekerjaanku," tegasnya.

Dia berjalan melewati Agni yang tak bergeming di tempat. Entah kenapa Gasendra terus merasa waspada jika berada di dekat Agni, seperti musuh dalam selimut yang entah kapan akan memangsanya.

Di belakang Gasendra, Agni mengepalkan tangan dengan tatapan mata yang semakin menyipit.

"Apa nanti malam saya boleh ke kamar Yang Mulia?"

Gasendra menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik menghadap ke Agni, dia menjawab dengan jelas.

"Aku tidak akan berada di kamarku untuk waktu yang lama."

Sebuah penolakan yang menyambar sumbu api iri dan dengki di hati Agni. Dia menggertakan gigi melihat Gasendra yang meninggalkan dirinya begitu saja.

"Arunika... Arunika.... Lihat saja kau nanti...!" geramnya di tempat.

Agni meninggalkan ruang kerja Gasendra menuju Istana Hara dengan napas satu dua, menahan perasaan marah di dada.

———

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

meinjasumincreators' thoughts