3 First Love

***

"Katanya semakin cantik seorang perempuan, semakin galak pula cinta pertamanya, yang tak lain adalah ayahnya sendiri."

***

Happy Reading, All!

***

Arunika membereskan semua kotak kayu yang berisi perhiasan dengan cepat karena sebentar lagi kereta kudanya akan datang.

Diperiksanya satu per satu isi dari kotak tersebut dengan teliti agar tidak ada yang raib.

Tepat setelah Arunika menutup kotak terakhir, kereta kudanya datang dari ujung kiri pasar dengan sang kusir yang sudah sangat dia kenal.

Arunika tersenyum menatap kedatangan kereta kuda beserta kusirnya dengan telapak tangan kanan yang diletakkan di atas kotak terakhirnya.

"Sudah selesai, Nona?"

Arunika mengangguk, lalu membawa masuk kotak-kotak tersebut ke dalam kereta kuda. Sang kusir yang melihat itupun segera membantu anak dari majikannya, walaupun wanita mandiri itu tidak meminta.

Satu per satu kotak mulai memenuhi bagian dalam kereta dan hanya menyisakan tempat yang hanya cukup untuk dirinya saja.

Setelah dapat dipastikan kotak-kotak tersebut sudah masuk ke dalam kereta, Arunika naik ke dalam kereta kuda dengan sedikit memanjat karena tidak ada pelana ataupun pijakan untuk naik.

"Sudah, Nona?"

"Sudah, Paman!" jawabnya dengan sedikit berteriak.

Ini yang paling membuat Arunika malas jika ingin berpergian, karena di dalam kereta kuda tak seindah yang dibayangkan. Di dalamnya, para penumpang tetap terombang-ambing mengikuti pergerakan kuda. Bahkan, Arunika suka mual jika terlalu lama jam perjalanannya.

Untung saja jarak pasar ke rumahnya tidak terlalu jauh, sehingga Arunika tidak akan mual karena terombang-ambing oleh pergerakan kuda-kuda di depan.

Dia memegangi kotak-kotak kayu yang berisi perhiasan dengan kedua tangannya yang bebas. Sisa kotak yang tak bisa dipegangnya, dia jaga dengan kedua kaki agar tidak jatuh. Setelah itu, Arunika memejamkan mata untuk mengistirahatkan dirinya yang sudah berada di pasar setelah fajar sampai hari mulai petang.

***

Tubuh Arunika terdorong ke depan saat kuda-kuda tersebut berhenti. Dia cukup terkejut karena ketiduran di dalam kereta kuda dan terbangun karena pergolakan yang cukup kencang.

Pintu kereta dibuka oleh para dayang yang bekerja di rumahnya. Salah satu dayang mengulurkan tangan untuk membantu Arunika turun, sisanya menunduk hormat pada wanita muda itu.

"Selamat datang, Nona Arunika."

Arunika tersenyum ramah seraya menatap para dayang satu per satu.

"Terima kasih semuanya. Tolong bawa semua barang itu ke tempat biasa dan jangan coba-coba untuk mencuri tanpa sepengetahuanku."

Terdengar aneh, namun itulah faktanya.

Bangsawan Arya adalah bangsawan yang terkenal akan kedermawanan dan sikap baiknya. Jika ada pekerja mereka yang mencuri, itu artinya Bangsawan Arya tidak memberikan gaji yang cukup pada mereka. Jadi, kalau ada yang membutuhkan uang lebih, silakan melapor langsung pada ayah atau ibunya.

Maka dari itu, walaupun Arunika tidak memperingatkan mereka, sudah dapat dipastikan tidak akan ada yang berani mencuri dengan alasan sangat menghormati keluarganya.

"Aku masuk dulu, kalian pindahkan dengan benar, ya!" titah Arunika, lalu melangkah menuju ruang kerja.

***

"Ayah? Ibu?"

Dua orang yang sedang mengurus dokumen pekerjaan pun menoleh dan menghentikan pekerjaannya.

"Ada apa, Arunika?" tanya Yasawirya, sang ayah.

Arunika duduk di salah satu kursi kosong, lalu mengode para dayang untuk menyiapkan camilan sore untuk mereka.

"Sudahi pekerjaan kalian. Aku sudah sampai di rumah dan tidak boleh ada lagi pekerjaan," ujar Arunika.

Hei, peraturan itu bukan dia yang membuatnya, melainkan dua orang yang sedang mengerjakan dokumen di depan sana. Namun, dua orang itu malah terus bekerja dan melupakan jam pulangnya.

Carelia, sang ibu, bangkit lebih dahulu dari kursi dan menuju Arunika yang sudah bersantai di kursinya. Jangan heran mengapa nama ibunya berbeda, karena ibunya adalah warga Caledonia, negara tetangga.

Ibunya itu sangat menyukai acara minum teh yang dilakukan keluarga mereka setiap sore. Hal itu beralasan, di Negeri Caledonia selalu mengadakan acara minum teh setiap harinya, entah pagi, siang, ataupun sore.

"Ayah, masih bekerja juga?" tanya Arunika dengan wajah masam.

"Sudahlah, Yasawirya. Tunda pekerjaanmu atau anak semata wayang kita akan marah dan tak mau bicara lagi denganmu," ujar Carelia seraya tersenyum kecil menyindir anaknya.

"Aku bukan pemarah, Mama. Hanya saja kalian suka sekali melanggar peraturan yang sudah dibuat, itu tidak baik dan aku tidak suka," ucap Arunika mengoreksi ucapan ibunda.

Yasawirya merapihkan dokumen, lalu menyusul sang istri untuk minum teh bersama putri semata wayangnya.

"Wah, ayah lelah sekali ...." Yasawirya menarik tubuhnya ke kanan dan kiri.

Arunika menggeleng melihat kelakuan Yasawirya. "Ayah memang suka begitu. Saat bekerja tidak lelah, tapi saat istirahat langsung lelah."

Carelia terkekeh geli mendengar sindiran sang putri yang entah sudah berapa kali keluar kalimat sama dari bibir tipisnya. Memang suaminya itu benar-benar cari perhatian dari anak dan istrinya.

"Ah, mengerti saja lah, Arunika," kata Yasawirya, "Bagaimana pekerjaanmu? Toko Mama berjalan dengan baik, kan?"

"Kenapa Ayah yang bertanya? Kan tokonya punya Mama," sahut Arunika dengan nada meledek.

Carelia yang melihat itu lagi-lagi terkekeh geli. Ah, semenjak Arunika berumur lima tahun, dia tidak perlu repot-repot lagi menyahuti ocehan suaminya. Sebab putri itulah yang menggantikan dengan mulut cabainya.

"Kau ini ... mirip Mamamu sekali, tidak asik," rajuk Yasawirya. Dia segera merubah raut wajahnya saat para dayang mengantarkan camilan sore untuk mereka.

Satu teko yang masih mengepul disuguhkan di hadapan keluarga bahagia tersebut. Harum Bunga Dandelion tercium samar dari uap yang mengepul.

Teh Dandelion, teh kesukaan Carelia dan juga Arunika. Hidup dalam waktu yang cukup lama dengan mereka berdua, Yasawirya akhirnya pasrah dan ikut menyukai teh yang salah satu khasiatnya untuk menurunkan berat badan.

Salah satu dayang menuangkan cairan berwarna kecokelatan ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. Setelah itu, mereka semua meninggalkan Bangsawan Arya agar diberi ruang pribadi untuk bersantai.

Dimulai dari Carelia yang menghirup uap teh terlebih dahulu, lalu menyesapnya secara perlahan. Disusul dengan Yasawirya yang lebih memilih untuk memakan kayu manis, lalu Arunika yang juga mengikuti kebiasaan sang ibu.

"Ayah."

Yasawirya hanya mengangkat kepala untuk menjawab panggilan Arunika karena dia masih mengunyah kayu manis.

"Beberapa hari ke depan apa Ayah bisa menemaniku jaga di toko lagi?" tanya Arunika yang merasa sedikit tidak enak.

Carelia meletakkan cangkirnya, lalu bertanya, "Memangnya ada apa?"

"Begini ... tadi ada seorang pria yang membeli banyak sekali perhiasan, dia juga sudah membayar, tapi ...."

"Tapi, apa?" tanya Yasawirya dengan nada yang sedikit ketus, "Kau ditipu lagi? Ternyata itu sihir?"

Arunika menggeleng kencang, lalu berdiri menghampiri sang ayah. Dia berdiri di sampingnya dan mengelus pundak Yasawirya. Pasalnya, beberapa minggu lalu, ayahnya itu sempat marah pada Arunika yang tertipu dengan sihir.

"Bukaaan! Dia membayar dengan koin asli, Ayah. Hanya saja ... dia meninggalkan kotak perhiasan itu di atas kotak kayu setelah membayar," jelas Arunika seraya mengingat kejadian yang menimpanya tadi siang.

Carelia langsung mengulum senyum malu saat mendengar penjelasan putri polosnya itu.

Haduh, umur hampir menyentuh angka tujuh belas tahun, tapi masih tidak mengerti dengan trik para pria di luar sana. Dia melirik tajam ke arah Yasawirya. Siapa lagi kalau bukan pria itu yang membodohi Arunika?

"Arunika," panggil Yasawirya dengan menutup kedua matanya.

"Y–ya, Ayah?"

"Aku akan menemanimu lagi jaga di toko. Pria licik mana lagi yang mengganggumu? Tak akan kubiarkan itu terjadi," geram Yasawirya seraya mengepalkan kedua tangannya.

"Yasawirya!

"A–ayah ...."

Acara minum teh itu berlanjut dengan ketegangan karena Yasawirya merasa kesal dengan pria yang berani menggoda putri satu-satunya dari Bangsawan Arya.

———

To Be Continue ....

avataravatar
Next chapter