9 Chapter 9 Cinta Yang Tak Terbalaskan

Yohan sendiri sebenarnya ingin membicarakan suara bisikan itu kepada Sunny, tapi ia malu. Takut di anggap mengada-ada. Sunny pun beranggapan serupa. Malahan Tante Mirna menganggap sedang mengalami hulusinasi. Akibatnya, tak satu pun dari mereka yang membahas suara bisikan Yuuto. Mereka menganggap tak pernah mendengar suara aneh itu.

Yuuto menjadi tegang melihat jenazahnya di sembahyangkan. Ini tanda-tanda bahwa sebentar lagi jenazah itu akan di bawa ke kuburan untuk di makamkan. Celaka! Padahal Yuki belum muncul kembali untuk memberikan cincin kehidupan kepadanya.

Repotnya lagi, Yuuto terputus komunikasi dengan orang-orang itu, karena emosinya meluap-luap dalam menyatakan dirinya masih hidup.

"Aku belum mati! Aku masih hidup! Masih hiduuup...!" teriak Yuuto.

Padahal menurut penjelasan Anna, roh perawat rumah sakit, untuk menciptakan komunikasi antara roh dengan orang yang masih hidup, roh itu sendiri harus menerima kenyataan dan menyadari bahwa dirinya sudah mati.

".... Kau tidak akan bisa bicara dengan siapa pun, jika kau tidak menyadari bahwa diri mu sekarang ini adalah roh. Itu kuncinya!" kata roh Anna waktu bertemu dengan roh Yuuto di rumah sakit, semalam.

Tapi, nyatanya Yuuto mengabaikan kata-kata tersebut. Ia terlalu tagang, gugup dan di cekam keresahan yang tinggi, sehingga yang timbul pada dirinya adalah emosi. Emosi untuk menyatakan bahwa ia belum mati. Emosi itu memutus hubungannya dengan alam kehidupan, sehingga meski kali ini ia memaksakan untuk menampakkan diri, usaha itu tidak berhasil. Ia berteriak di tengah kerumunan pelayat, suaranya tak di dengar oleh mereka.

Bahkan sewaktu ayah dan ibunya datang dari Jepang dengan hamburan tangis yang menyayat hati itu, Yuuto gagal menenangkan kedua orang tuanya.

Di ruang tamu itu Yuuto melihat jenazahnya telah di bungkus dengan kain motif putih. Di pocong. Siap unuk diberangkatkan ke tanah perkuburan. Tapi jari-jari tangannya tak bisa menyentuh tali pocong itu.

"Jangan kuburkan aku! Aku masih bisa hidup lagi...!" teriaknya dengan panik.

Ia memandang mayatnya sendiri, dan yang ia alami hanya menendang tempat kosong. Ia tak berhasil membuat mayatnya jauh dari atas dipan.

Di halaman rumah, para playat sudah berkumpul. Teman-teman kampusnya, tetangga kanan-kiri, bahkan ada beberapa teman SMA-nya hadir pula untuk mengikuti upaca pemakaman nanti. Yuuto menjadi makin gusar melihat mereka semua.

"Sunny...! Ryan...! Tinggalkan keranda itu! Buang jauh-jauh!" teriak roh Yuuto.

Ryan, Sunny dan lainnya tetap saja menyiapkan keranda pengusung jenazah. Yuuto melirik keranda itu, ah... lagi-lagi tak berhasil menyentuhnya.

Kesibukan menghambat acara pemberangkatan jenazah ke kuburan itu ditinggalkan Yuuto sejenak, sebab ia melihat kehadiran seorang gadis berkerudung hitam dengan gaun hitamnya yang di bordir bunga mawar putih pada bagian dada kirinya. Gadis itu menangis terisak-isak dalam pelukan Simon. Yuuto mendekati gadis itu, ia jadi terharu melihat tangis gadis itu.

Irene, cewek kampus yang selama ini sering mencela Yuuto, sering menyebar gosip yang bukan-bukan, bahkan sering bertengkar mulut dengan Yuuto, kali ini hadir bersama tangisnya. Yuuto melihat tangis itu tangis sebenarnya, bukan tangis basa-basi.

"Aneh. Padahal selama ini kau selalu memusuhiku, Irene. Kau membenciku. Kau selalu mencelaku sebagai mahasiswa yang enggak konsisten dengan tugas. Kau mencemooh usaha ku sebagai tukang foto keliling. Tapi, kenapa sekarang kau menangisi kematian ku? Bukankah kau yang menghasut cewek-cewek agar mereka ikut membenci ku? Bukankah kau juga yang beberapa hari lalu menyumpahi ku agar motor ku nyungsep di comberan?! Kok sekarang kau menangis sedih begitu?" ucap Yuuto.

Kata-kata tersebut tentu saja tidak terdengar oleh Irene atau pun teman-teman kampus lainnya yang ada di sekitar Irene. Yuuto memandanginya dengan terheran-heran. Lama-lama teebin keharuan yang menyentuh perasaannya. Ia jadi kasihan pada Irene. Napas Irene sampai sesak sekali kerena tangis yang menggumpal di dadanya.

Simon sempat berkata kepada Irene, dan Yuuto mendengarkannya. Kata Simon, "Sudahlah. Hentikan tangis mu, nanti malah mengganggu suasana pemberangkatan ini."

Sambil tersengguk-sengguk Irene berkata, "Aku... aku kehilangan dia...!"

"Bukankah kau selama ini memusuhinya? Kenapa kau merasa kehilangan dia? Kenapa harus bersedih? Bukankah kau patut gembira karena musuh mu telah menemui ajal?" ucap Simon kepada Irene.

Dengan susah payah Irene berkata, "Aku benci... benci pada kebutaan hatinya...! Dia tak pernah tahu kalau aku.... aku mencintainya...! Aku sangat mencintainya. Aku menghargai kreatifitasnya sebagai foto keliling, tapi... tapi dia tidak pernah memperhatikan sikap ku! Dia sombong, Simon. Hatinya buta, tak bisa melihat... tak bisa meligat segenggam cinta yang menunggu jamahan hatinya.... Oh, Yuuto... kenapa kau pergi saat kau masih belum menyadari harapan ku...?!"

"Ya, ampuuun....," gumam roh Yuuto dalam keadaan tertegun. "Rupanya kau menyimpan cinta kepada ku, Irene? Ooh... memang. Memang aku buta, picik, bodoh, dan sebagainya. Aku nggak tahu kalau sikap seperti itu adalah sikap gadis yang meminta perhatian dari ku. Aku ngak tahu, sumpah. Nggak paham dengan bahasa sikap mu."

Yuuto tidak tahu kalau Irene menyimpan rasa cinta kepadanya sejak lama. Ia mengira Irene membencinya amat membencinya. Dan baru ini dia tahu bahwa gadis yang membencinya ini rupanya menyimpan rasa cinta kepadanya. Sebenarnya Yuuto ingin ikut meredahkan tangis Irene, tetapi ia tak sanggup melakukan. Pada saat itu juga, Pak RW yang menjadi wakil keluarga Yuuto mengawali acara pemberangkatan jenazah.

Yuuto kaget melihat jenazahnya ternyata sudah di masukkan ke dalam keranda. Keranda itu di tutup dengan kain hijau tua, bertulisan Arab. Payung di siapkan, karangan bunga mulai di pegang oleh beberapa orang, termasuk Irene sendiri segera ambil bagian memegang salah satu karangan bunga.

"Tunggu...! Tunggu dulu! Jangan bawa mayat ku ke kuburan! Jangan, Pak RW...! Hentikan pidato mu itu! Hentikan...!" teriak Yuuto.

Yuuto berteriak-teriak. Berusaha menutup mulut Pak RW dengan tangannya, tapi tangan itu bagai memegang angin. Tak berhasil membuat mulut Pak RW berhenti memberi sambutan dan membacakan riwayat singkat masa hidup almarhum Yuuto. Sementara itu, beberapa orang sudah siap sebagai pengusung jenazah. Hal itu sangat menegangkan bagi Yuuto.

"Yuki…! Yuki...!" teriak Yuuto dalam kepanikannya. Ia mencari-cari wajah anggun berhidung mancung, tapi tak ada di sela-sela hadirin. Yuki belum muncul-muncul juga, padahal sebentar lagi mayat akan di bawa ke kuburan.

"Yuki…! Pendusta kau!" teriak roh Yuuto dengan geram kemarahannya.

Tepat pukul 1 siang lebih 5 menit, keranda mulai di angkat. Waktu itu udara mendung, sinar matahari redup, angin berhembus sedikit lebih kencang dari tadi pagi.

"Jangan bawa mayat ku! Jangan...!" Yuuto berusaha menahan keranda yang sudah digotong beberapa orang itu. Ia tidak berhasil membuat keranda itu menjadi lebih berat, atau menjadi jatuh ke bawah.

***

Bersambung...

avataravatar
Next chapter