1 PELITA DI RUAS POHON

Cahaya telah tercatat sempurna di dalam lembaran tinta.

Wanita hitam menari duka.

Raungan awan mencucurkan pelita.

Di tangan putih lembut penuh dosa.

Perjalanan bertalu-talu merongrong sukma.

Kini hilang di terpa masa.

Kehidupan baru putih nian indah.

Gofmentri terkunci sudah.

Prok! Prok! Prok!

"Merdu sekali ...!"Pujian para Hokers pada Nilam Grotbear.

Suara yang bermakna dalam terselubungi luka mendalam telah merasuki diriku. Aku hanya melihat kerutan tua di wajah nenek telah membuat hati keras menjadi sendu.

Dengan tatapan harap untuk melihat wajahnya. Aku menyalangkan pandanganku pada undakan podium.

"Hera, bantulah aku!" Pinta bibir kerut Nenek yang mengulurkan tangannya padaku.

"Aku tidak ingin dia pergi dariku." Terbesit pikiran aneh dalam otakku. "Aku tidak boleh berpikiran aneh-aneh!"

Nenek memeluk lenganku dengan kuat dan turun perlahan pada undakan podium kayu yang lusuh. Bibirnya selalu tersenyum pada semua orang.

Dalam perjalanan pulang Nenek selalu memeluk tanganku sembari menepuk-nepuk punggung telapak kecilku.

"Hera," panggil parau Nenek padaku.

Aku membalas usapan tangan tuanya.

"Mungkin tak satu pun para Hokers percaya tentang syair lagu yang aku lantunkan."

Melihat wajahnya yang sendu aku langsung menyambar bahu Nenek dan menatapnya tajam.

Kerutan di bibirnya terlihat jelas dengan mata sayu berwarna abu-abu.

"Nenek, jika seluruh dunia tidak ada yang percaya denganmu maka ingatlah aku Hera Grotbear akan selalu mendampingimu dan mempercayaimu!" Mendengar perkataanku wajah sendunya menjadi ceria kembali dan mulai mencubit kedua pipiku.

"Kau selalu membuatku senang!"

Aku terkekeh mendengar ucapan Nenek. Dan melanjutkan perjalanan kita menuju rumah. Di sudut kota Zavax, sebuah toko kecil tersusun batu dan bercagak kayu di hiasi kaca tempat kami berdua tinggal.

Nenek selalu membuat ramuan herbal dan penyembuh untuk di jual ke pasar setiap harinya. Saat aku mencari bahan obat-obatan di gunung Druid selarik cahaya terbang di antara rindangnya pohon.

Aku terkesiap melihat cahaya itu. Dengan mengerjapkan dan memuyu-muyu mata, aku memastikan penglihatanku. Gunung Druid selalu terselubung kabut yang lumayan lebat cahaya itu tidak mungkin dari puncak melainkan dari kaki gunung.

"Aku harus mengikutinya" gumamku.

Aku menderap kencang menyusul selarik cahaya itu. Bercak kuning di antara batang pohon mulai bermunculan.

Saat aku menyiapkan perlengkapan.

"Hera, bawalah ini!" Nenek memberikan serbuk api padaku agar tidak kedinginan dalam mencari material di gunung.

Aku langsung menyambar sebuk yang terbalut kain itu.

"Wah terima kasih Nenek" Dengan spontan aku memeluknya. Aroma obat yang kuat tertempel di bajuku saat memeluk wanita tua itu.

"Ingat jangan pernah melakukan hal bodoh di dalam hutan! Jangan mengikuti sesuatu yang ganjal! Jangan kembali ketika malam!" Cecaran ancaman Nenek terus melecut-lecut di telingaku.

Aku langsung menyambar pipi Nenek dan mencium keningnya. "Baiklah-baiklah. Jangan khawatir aku akan melakukan perintah Nenek!" jawabku dengan tersenyum lebar.

Setelah cukup lama mengikuti bercak cahaya, aku terkesima dengan seekor makhluk yang memiliki pelita di setiap ruas tubuhnya.

Kuping berbulu supel, tubuhnya tambun di tutupi bulu hitam dengan mata kuning, dan deraian darah yang terus bercucuran di perutnya.

"Makhluk apa itu? Aku belum pernah melihatnya. Naga? Bukan! Vector? Bukan juga walaupun berwarna hitam aku tidak bisa menyamakannya dengan Vector biadab itu." Aku membatin.

Aku mulai melangkahkan kakiku dengan hati-hati namun entah dari mana munculnya terdapat sebatang ranting yang terlipur daun.

Krek!

Makhluk itu terkesiap. Mulut kecilnya terbuka lebar, sebuah pelita hijau berkumpul di rahang kecilnya. Sesaat aku berpikir "Apa yang dia lakukan?" Namun pemikiranku hancur saat dentuman kecil mengenai pohon di sampingku.

"Oh tidak!"

Aku beringsut ke belakang pohon tanpa memalingkan pandanganku darinya, jujur saja tubuhku mulai panas dingin di buatnya dan bulu romaku tak kunjung turun.

"Tenanglah aku akan pergi!" bisikku yang terus melangkah.

"Jika saja serangannya mengenai tanganku niscaya aku tidak akan lagi memilik tangan!" keluhku sembari menahan ketakutan wajahku darinya.

Baru sesaat pandanganku terkagok pohon, suara keriut tiba-tiba terdengar dari arah makhluk tersebut. dengan sigap aku melihat asal suara itu.

"Ke mana larinya dia?!" aku bergumam.

Makhluk itu hanya meninggalkan jejak kakinya pada rumput kering yang ia pijak.

"Sebaiknya aku pulang"

Aku mulai melangkah seribu menuruni gunung. Goresan ranting di kulit tidak menghentikan langkahku, sampai toko Nenek terlihat dari lerang gunung.

Saat aku ingin memanggilnya sebuah gumpalan hitam pekat dan kupingnya yang panjang persis seperti yang ia lihat di gunung berada di dekapan tua Nenek.

Aku berlindung di bayangan pohon yang temaram. Tiba-tiba sebuah gemuruh mendekati toko kami. Derapan kaki kuda dan gemuruh keretanya lumayan memekakan telinga yang berada di dekatnya.

"Siapa mereka?" Aku membatin.

Hatiku bertalu-talu dan bergidik.

Dengan memakai perlengkapan perang lengkap, sepatu besi, dan pedang di sisi kiri pinggangnya.

Di belakangnya terdapat para Mage yang siap dengan tongkat-tongkat Hawthorn-nya. Seakan mengepung seorang kriminal kelas kakap di rumahku.

Salah satu dari mereka turun dan langsung menyambar gagang pintu toko.

"Aku harus turun!" Pikirku.

Aku bergegas melewati pintu belakang guna menyelinap masuk ke kamarku. Keributan mulai memenuhi ruangan.

"Serahkan atau aku akan membuatmu menyesal!" pekik prajurit berambut putih dengan menodongkan belati di leher Nenek.

Hatiku terus memacuku untuk keluar namun Nenek tahu aku berada di balik pintu dan pandangan kami saling bertumbuk.

Nenek mengisyaratkan untuk tetap tenang. Saat aku melihat jengitan tangannya makhluk hitam yang baru saja menyemburku bersembunyi di bawak meja makan.

Matanya yang kuning terang tidak dapat menutupi pandanganku darinya. Dari saking terkesiapnya diriku tak sengaja lantai kayu berbunyi saat tubuhku beringsut ke belakang.

Prajurit itu menoleh ke arah pintu kamarku.

Dengan perlahan dia mendekati kamarku. Hening. Suasana membuat tenggorokanku kering.

Bruak!

Setelah dobrakkan kuat dia langsung masuk dan memeriksa seisi kamarku. Setelah hatinya skeptis dengan prasangkanya dia pun bergumam.

"Apa perasaanku saja?"

Kemudian dia menutup kembali pintu kamar kayuku.

Tersadar bahwa napasku telah berhenti sejenak saat prajurit itu masuk. Aku keluar dari atas sela lemari tepat di balik pintu.

"Hampir saja!"

Untuk kedua kalinya aku mengawasinya.

Seorang wanita keluar dari toko menuju prajurit berambut putih.

"Apa kau menemukannya?" tanya pria berambut putih.

Wanita itu hanya menggelengkan kepala dengan wajah berang.

Bruk!

Dia mendorong Nenek hingga terjatuh.

"Ayo kita kembali!" Hardiknya.

Siku Nenek terluka dan Nenek masih belum mengisyaratkanku untuk keluar dari ruangan itu. Setelah sepuluh menit Nenek memanggilku dengan cepat aku menyambar tangan Nenek dan langsung mengobatinya.

"Apa ada yang sakit nek?" tanyaku yang tidak kuasa menahan wajah senduku yang hampir meneteskan air mata.

"Nenek tidak apa-apa," jawabnya lirih.

Pandanganku tidak teralihkan lagi pada makhluk tersebut demi mengobati Nenek. Setelah di rasa cukup Nenek justru lebih mengkhawatirkan makhluk tersebut.

"Kemarilah!" panggil Nenek.

Dengan berang aku berkata, "Kenapa Nenek membawanya ke toko kita?! Dia telah menyerangku di hutan dan Nenek sibuk melindunginya?!"

Mendengar hardikanku pada Nenek makhluk itu menjadi panik dan terus melangkah mundur.

Aku tersulut amarah. "Sekarang kau menjadi bacul makhluk hitam kecil!"

Nenek justru tersenyum dan membelai bulunya yang lembut layaknya kapas.

"Hera, kau tahu nyanyian yang sering aku nyanyikan?" tanya Nenek dengan wajah tabahnya.

Aku hanya diam membuang muka.

"Makhluk inilah yang menunjukkan pelita kehidupan untukku sehingga datanglah kedamaian seperti sekarang ini."

Dengan hati jengkel aku terus menatap dan menyalang ke arahnya.

Tuk!

Nenek memukulku.

"Nenek!" panggilku manja.

Pukulan lembut Nenek memecahkan keteganganku.

**To Be Continue**

avataravatar
Next chapter