webnovel

Shooting Range

"Pak Raja itu—"

"Diam! Jangan sebut namanya!" hardik Gama, membuat Kirana terlonjak. Gama masih kesal setengah mati dengan kakak tirinya itu. Moodnya terjun bebas mendapati keberadaan pria itu di pemakaman. Dia tidak masalah ketika tahu Raja lebih dulu datang ke makam Cyntia, tapi ketika pria itu datang menghampirinya di restoran, emosinya kembali memuncak.

Kirana diam, menunduk tak berkutik. Lagi-lagi dia salah. Padahal tadi itu dia hanya ingin mengatakan Raja itu pria baik. Namun, hardikan Gama sontak membuatnya berpikir untuk tidak lagi menyebut nama pria tampan itu di hadapan bosnya. Dari awal jumpa, Kirana tahu hubungan keduanya tidak baik. Gama terlihat sangat membenci Raja. Hanya saja dia tidak melihat kebencian yang sama di mata Raja. Jadi, mungkin saja bosnya yang memang arogan. Sama kakak sendiri, tapi tidak akur.

"Shooting range," ucap Gama memerintah supir di depannya.

"Baik, Pak."

Kirana bergumam dalam hati. Apa itu shooting range? Apa maksud Gama itu tempat syuting film? Jika benar, Kirana merasa beruntung. Bisa saja kan di sana dia bertemu artis. Tapi ... Bisa jadi juga Gama akan menemui pacarnya yang menjadi artis. Mulut Kirana terbuka membayangkan itu. Mendadak dia penasaran, jenis wanita seperti apa yang bisa bertahan dengan pria sejenis bosnya itu. Tampan sih, tapi galak. Tanpa sadar Kirana terkikik geli dengan pemikirannya sendiri.

"Ada yang lucu? Kenapa kamu tertawa?"

Suara berat Gama membuat tawa Kirana sontak terhenti. "Tidak ada, Pak," jawab Kirana cepat.

"Dasar perempuan aneh," gerutu Gama mendengus, pandangannya dia lempar ke jalanan yang tampak tidak terlalu ramai.

"Apa yang kamu pikirkan tentang saya?"

Hah? Kirana spontan menoleh mendapat pertanyaan itu tiba-tiba.

Gama mengalihkan pandang dari jalanan dan menatap Kirana. "Saya tidak bisa membaca isi kepala kamu. Jadi, saya bertanya. Apa yang kamu pikirkan tentang saya?"

Kirana tersenyum canggung. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bagaimana dia menjawab pertanyaan bosnya? Segudang hal keburukan tentang Gama bersarang di kepalanya. Dan, apa yang bisa Kirana katakan? Kalau jujur, bukankah itu namanya bunuh diri?

Mata tajam Gama menyipit. "Saya tanya kenapa kamu malah cengar-cengir?"

"Saya bingung, Pak," sahut Kirana. "Kalau saya jujur pasti Bapak akan memecat saya."

Gama mendengus. "Kalau begitu tidak usaha kamu katakan," tandasnya kemudian. Ternyata wanita itu sama saja dengan pegawai lainnya. Gama pikir Kirana masih bertahan sebagai asistennya karena wanita itu menemukan sisi lain yang positif mengenai dirinya. Tapi sepertinya Gama salah menduga.

Begitu sampai di lokasi shooting range Gama langsung mengganti pakaiannya. Dia kembali dengan pakaian tembak lengkap.

Kirana yang mengira shooting range adalah tempat syuting para artis hanya bisa melongo ketika ternyata Gama membawanya ke sebuah lapangan tembak. Bahkan sekarang wanita itu melihat bosnya sudah bersiap dengan peralatan tembaknya.

Kirana berdiri saat melihat Gama mendekati area tembak. Gama bersama dengan seorang pelatih tampak sedang berbincang. Dan, tidak lama seseorang memberikan sebuah koper yang berisi revolver lengkap dengan pelurunya.

Pria itu terlihat makin tampan mengenakan perlengkapan menembak seolah-olah Kirana sedang melihat seorang atlet tembak profesional. Gama mengenakan topi hitam. Kacamata pelindung bertengger pada hidungnya yang bangir, di kepalanya terpasang earmuf melingkar hingga menutup telinga. Dari posisi Kirana berdiri, dia bisa melihat bosnya itu mulai mengangkat tangannya yang sudah memegang revolver.

Gama mengarahkan revolver tersebut ke arah papan target yang berjarak kurang lebih 50 meter dari posisi kakinya berdiri. Sebelum menembak, dia sempat memicingkan mata, memastikan moncong pistol yang dia bawa tepat sasaran. Barulah setelahnya dia mulai menarik pelatuk. Dan peluru pun terlepas cepat, tepat mengenai sasaran dan menimbulkan bunyi yang lumayan mengagetkan Kirana.

Tidak hanya sekali tembak. Gama melakukannya berkali-kali. Membidik papan sasaran berulang. Pria itu seperti sedang melampiaskan kekesalannya.

"Permisi, Bu." Seorang pria tinggi tiba-tiba menghampiri Kirana.

"Ya?"

"Anda dipanggil Pak Gama."

"Oh, baik." Dengan sigap Kirana mengikuti pria itu. Dia memasuki area shooting dan mendekati Gama.

"Bapak memanggil saya?" tanya Kirana begitu sampai di hadapan Gama.

Gama yang masih berdiri dengan posisi tangan kanan yang memegangi pistol langsung menarik kembali pelatuk dan bunyi desing itu kembali terdengar, membuat Kirana sontak menutup telinga dengan mata terpejam.

"Nasibmu akan seperti papan target itu kalau kamu berani membantah perintah saya," ucap Gama melirik Kirana.

Dada Kirana berdebar, masih sedikit terkejut dengan tindakan bosnya yang mengagetkan. Dia berusaha mengatur napas agar tetap tenang.

"Kemari kamu," titah Gama.

Dengan perasaan sedikit takut Kirana mendekat. Matanya menatap ngeri pada moncong pistol yang Gama bawa.

Gama tersenyum miring. "Kenapa? Kamu takut ini?" Gama tiba-tiba mengangkat pistolnya ke depan Kirana.

"Bapak jangan main-main, itu bahaya." secara refleks Kirana menyingkirkan tangan Gama, saking ngerinya, membayangkan peluru pistol itu meluncur dan mengenai matanya.

Tawa Gama mengudara. Reaksi wanita itu berlebihan. "Begitu saja takut, makanya jangan main-main sama saya."

"Saya bekerja, bukan sedang main-main sama Bapak," sahut Kirana yang mendadak jengkel dengan makhluk tampan yang terlihat seperti iblis itu.

Tatap Gama melirik Kirana. Dia meminta seseorang mengambilkan perlengkapan menembak lain. Dan dengan sigap apa yang dia minta segera tersedia.

"Pakai kacamata dan pelindung telinga itu."

"Bu-buat apa?" tanya Kirana ragu campur takut.

"Berlatih bersama saya."

Serta merta mata Kirana melebar. "Nggak perlu, Pak. Saya tidak bisa." Kirana menggeleng cepat. Gila saja, dia belum pernah sekali pun memegang alat berbahaya itu.

"Makanya kamu berlatih biar bisa. Cepat pakai."

Kirana menggeleng, keras. "Saya belum mau mati, Pak."

Gama menghela napas. "Kamu yang menembak, bukan kamu yang ditembak, Bodoh."

"Tapi kalau peluru itu meleset dan mengenai jantung saya. Itu celaka."

Wanita itu terlalu banyak mendebat. Dengan paksa Gama memasang earmuf ke kepala Kirana. "Nurut, atau kamu beneran aku tembak."

Tubuh Kirana membeku dan terpaksa mengangguk. Tahu begini dia menunggu saja di mobil.

"Pegang ini." Gama meletakkan sebuah revolver ke telapak tangan Kirana. "Genggam."

Takut-takut Kirana menuruti perintah Gama. Dia menggenggam senjata laras pendek itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

Gama di sampingnya memberi instruksi. "Kamu lihat ke depan. Ke papan sasaran itu, dan angkat senjatamu."

Dengan dada berdebar Kirana mengangkat tangan kanannya yang menggenggam pistol.

Gama berdecak melihat cara Kirana memegang senjata. Tidak bertenaga sama sekali.

"Pegang yang kuat, sejajarkan dengan bahu kamu!"

"Berat, Pak!"

"Apanya yang berat? Dasar lemah." Gama bergeser ke belakang tubuh Kirana. Tangannya lalu bergerak ikut menggenggam pistol Kirana. Badannya sedikit membungkuk untuk mengimbangi tinggi Kirana di depannya. Sementara kepalanya bergerak ke sisi kanan tangan kepala Kirana.

"Luruskan kaki dan badan kamu," perintah Gama. "tangan kamu harus segaris dengan bahu kamu." Gama meluruskan tangan Kirana yang terangkat.

Kirana menahan napas. Posisi Gama saat ini benar-benar dekat dengannya. Bahkan helaan napas pria itu bisa langsung mengenai wajahnya. Pria itu tidak sadar tindakannya membuat jantung Kirana berdetak cepat seolah tengah berlari ratusan ribu kilometer.

"Jangan tahan napas. Itu cuma menguras energi kamu. Atur napas kamu biar rileks," ucap Gama lagi.

Bagaimana Kirana tidak menahan napas, jarak pria tampan ini sudah segini membahayakannya. Kirana bahkan takut jantungnya akan terlepas saat itu juga.

"Arahkan mata kamu dan senjata kamu ke papan sasaran. Pastikan pisir pijera simetris dengan papan sasaran, tetap rileks. Ingat sasaran kamu adalah tanda merah yang paling tengah itu."

Gama membiarkan Kirana mengatur napasnya sedemikian rupa. "Fokus."

Kirana memejamkan mata untuk mengambil fokusnya yang sempat berceceran. Lalu matanya terbuka kembali dan dia siap untuk membidik sasaran.

"Jika sudah siap, tembak."

"Saya sudah siap, Pak."

"Oke, satu, dua, tiga ... Tembak!"

Secara refleks telunjuk Kirana menarik pelatuk dan suara letupan itu terdengar. Kirana terkejut sendiri melihat pelurunya berhasil menembus papan sasaran. Meski tidak tepat mengenai poin yang dia inginkan.

Serta-merta Kirana membuang napas. Bahunya naik-turun dengan dada yang masih berdebar kencang.

"Good job!" Gama menyeringai, lalu menjauh.

Saat itulah Kirana merasakan udara di sekitarnya kembali. Dipeluk Gama dengan cara seperti tadi membuatnya gelisah tak beraturan. Bahkan debaran di dadanya tidak bisa dia kendalikan.

_______________

jangan pernah berharap Devils boss di sini itu manusia bengis ya, Gaes. Devil boss versiku nggak akan sengeri itu. tak sampai hati aku memperlakukan tokohku sejahat itu. hehe. tetep devil sweet. wkwk