12 Pagi

Wajah keriput dan rambut acak-acakan tepat berada di belakangnya. Hampir saja Kirana lari. Namun, sebuah suara mencegahnya.

"Ini si Mbok, Nduk!"

Eh? Apa?

Kaki Kirana yang sudah bersiap-siap untuk lari tertahan. Dengan gerakan memutar, dia kembali menghadap sosok yang bikin kaget.

"Mbok?" Kirana melebarkan mata, memperhatikan dengan jelas wajah sosok itu.

"Iya, ini si Mbok." Perempuan tua itu terkekeh.

"Astaghfirullah, Mbok. Bikin saya kaget saja." Kirana membuang napas kasar. Merasa lega bersamaan.

"Maaf, ya. Si Mbok belum sempat berbenah. Pasti Den Gama sudah bangun."

"Iya, Mbok. Dia juga nyuruh saya olahraga, jadi saya nggak bisa bantuin si Mbok di dapur."

"Ya sudah, nggak apa-apa. Daripada kena omel lagi. Mending turuti dia saja," ucap wanita tua itu pelan lalu kekehan singkatnya kembali terdengar.

"Kalau gitu saya ganti baju dulu ya, Mbok."

Si Mbok mengangguk dan membiarkan Kirana beranjak ke kamarnya kembali. Wanita tua itu tersenyum, lalu dengan satu kedipan mata penampilannya berubah menjadi rapi kembali. Dia pun beranjak ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuk tuannya.

Kirana jalan melipir ke pinggir dinding ruang gym. Dia melihat bosnya sedang berlari di atas treadmill berkecepatan sedang. Ketidaksukaannya pada olahraga membuat Kirana tidak memiliki pakaian olahraga yang layak. Kirana hanya mengenakan sebuah kaos dipadu celana legging hitam tiga per empat. Bahkan kakinya hanya memakai alas karet.

Kirana diam menyaksikan bagaimana kokoh dan panjangnya kaki Gama di atas treadmill. Setelah berlari dengan kecepatan sedang pria itu terlihat berjalan cepat, lalu lama-lama lambat, dan berhenti sepenuhnya.

Gama turun dari atas treadmill dan menoleh. "Ngapain kamu masih berdiri di situ? Cepat lakukan stretching."

"I-iya, Pak." Kirana dengan malas melakukan pemanasan singkat. Setelahnya dia bingung mau melakukan apa lagi.

Sementara itu Gama sendiri sudah bergelantungan di chin up bar. Pria itu sudah menanggalkan kausnya. Seperti biasa dia berolahraga indoor tanpa mengenakan baju atasan sehingga otot-otot bahunya yang lebar tampak begitu jelas.

Kirana bergeser menuju treadmill. Di antara semua alat koleksi Gama, hanya alat itu yang terlihat paling mudah dalam pandangannya. Tapi semudah-mudahnya alat fitnes, Kirana sama sekali belum pernah menggunakannya. Jadi, dia hanya melongo, celingak-celinguk kebingungan untuk memulai.

"Kamu mau nge-gym pake sandal jepit?" tanya Gama, membuat Kirana terkejut. "Sepatu kamu mana?"

Kirana nyengir seraya menggaruk belakang lehernya. "Saya nggak punya, Pak."

Gama berdecak sebal. "Sepatu pun nggak punya. Kamu malu-maluin saya."

Lagi-lagi Kirana hanya bisa meringis. Lagian buat apa juga kan dia punya sepatu olahraga, hanya sekedar jogging saja dia tidak pernah.

"Ya sudah cepat naik," titah Gama. "Tapi lepas sandal kamu."

Kirana menurut saja meski bingung. "Tekan tombol start atur timer di sini dan speed-nya. Jalan pelan satu menit, lalu nanti baru tambahin speed secara berkala. Kamu bisa tekan tombol ini," ujar Gama dengan nada suara yang tidak tinggi seperti biasanya. Untuk beberapa saat pria itu menjadi lebih manusiawi.

Kirana tersenyum saat track mulai jalan bergerak pelan. Kirana pun mengimbangi dengan langkah pelan.

"Paham kan sekarang?" tanya Gama, dan langsung mendapat anggukan kecil dari Kirana.

Sudah Kirana duga, alat ini sangat mudah mengoperasikannya. Dia menambah speed secara bertahap.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit berjalan dan berlari di atas treadmill, Kirana pun turun. Dia kelelahan, keringatnya bercucuran di area pelipis dan lehernya. Kirana belum terbiasa berolahraga, jadi hanya menggunakan satu alat saja sudah membuatnya capek.

Sembari melihat Gama melatih otot dadanya, Kirana duduk berselonjor di lantai. Matanya sesekali mengerjap melihat betapa kekarnya badan Gama yang mengembang dan menutup karena alat yang sedang dia gunakan.

"Seandainya dia nggak galak, nilai plus-nya pasti sudah aku tambah," gumamnya sembari menopang dagu. Ada senyum kecil di sudut bibirnya. Lalu lama-lama berubah menjadi kikikan kecil ketika kepalanya membayangkan bos setannya mengenakan pakaian adat jawa.

"Apa yang kamu tertawakan?"

Seketika tubuh Kirana menegak. Si bos di tempatnya sudah menatapnya tajam. "Tidak ada, Pak."

"Terus kenapa kamu duduk di lantai seperti itu? lanjut olahraga lagi!"

"Tapi saya capek, Pak," keluh Kirana dengan bibir mencebik.

"Capek? baru juga lari di atas treadmill sudah bilang capek," cibir Gama. "Cepat ambilkan saya minum dan handuk," perintah Gama akhirnya.

Kirana cepat bangkit dan segera mengambil minuman dari dalam showcase yang memang tersedia di sana serta handuk kecil milik Gama. Dia juga mengambil minuman untuk dirinya sendiri.

"Nanti malam latihan lagi," ujar Gama saat Kirana memberikan botol minum padanya.

"Bapak saja. Saya tidak usah."

"Kamu malah yang wajib. Sudah badan kurus seperti orang kurang gizi, jalan lelet. Sudah untung kamu saya beri kesempatan memperbaiki gizi. Jadi, mending nurut apa kata saya."

Kalau sudah begini, apa Kirana bisa menolak? Kirana sadar kok, selama ini dia cuma makan nasi sama telur yang kadang direbus kadang digoreng, begitu saja seterusnya selama dia di perantauan dengan gaji yang tak seberapa. Hanya itu makanan paling murah, praktis, dan mengenyangkan. Jadi, kalau dibilang kurang gizi, dia terima saja. Meski sedikit ada rasa tersinggung juga.

***

"Kalau jadwal Bapak hari ini dikosongkan, apa yang akan Bapak lakukan?" tanya Kirana saat sarpan pagi bersama Gama.

"Belikan karangan bunga lily, mawar, dan dafodil."

Bukannya menjawab pertanyaan Kirana, Gama malah meminta Kirana memesankan bunga.

"Bunga buat siapa, Pak?"

"Cerewet! Tinggal beli saja, tidak usah banyak tanya," sentak Gama, membuat mata Kirana terpejam kaget.

Gama bergumam tak jelas sembari melanjutkan kegiatan sarapan paginya.

"Slow down, Tuan. Tidak baik buat kesehatan jantung Anda," ucap Sukma yang sudah berdiri tegak di sebelah Gama.

Gama melirik sekilas jin berbadan besar di sebelahnya lantas mendengus. "Kamu yang bikin saya jantungan karena sering muncul tiba-tiba.

Suara bass Sukma menggelegar saat dia tertawa. Kali ini penjaga Gama itu mengenakan kostum ala-ala Patih Gajamada. Dia terlihat gagah dengan kumis yang melintang.

"Bukan kah asisten Tuan pagi ini tampak begitu cantik?"

Lagi-lagi Sukma bicara omong kosong yang membuat Gama memutar bola mata. Gama tidak peduli dengan terus melanjutkan kegiatan makannya. Namun, secara diam-diam dia melirik Kirana dengan ujung matanya.

Bibir mungil wanita itu bergerak saat mengunyah makanan. Matanya yang bulat tampak lurus menatap piring di hadapannya. Tidak ada make-up yang berlebihan pada wajahnya yang putih. Hanya polesan lipstik dengan warna nude yang menempel di sana. Bulu matanya yang lentik juga tampak alami, tidak ada bulu mata palsu yang biasa Gama lihat pada wanita-wanita yang bekerja di perusahaannya.

"Ehem!"

Suara dehaman Sukma berhasil mengalihkan perhatian Gama. Pria berahang tegas itu terlihat salah tingkah, dan dengan gerak cepat dia meraih sebuah tisu.

"Cepat habiskan sarapanmu. Kita akan pergi ke suatu tempat," ucap Gama.

"Baik, Pak." Kirana tidak mau mendapat omelan lagi. Dia pun segera menghabiskan isi piringnya secepat dia bisa.

Sukma sudah duduk di dalam mobil Gama. Tepatnya di samping supir, saat Gama masuk.

"Kamu ngapain duduk di situ? Itu tempat Kirana!" tegur Gama sebal. Jin berumur ratusan tahun itu pagi-pagi sudah bertingkah.

Sukma tersenyum. "Nona Kirana lebih cocok duduk di sebelah Tuan daripada di sebelah supir."

Gama menggeram, tapi tidak berniat meladeni ucapan Sukma. Tatapnya melihat Kirana yang membuka pintu mobil bagian depan.

"Kirana! Kamu duduk di belakang!" perintah Gama sedikit menyembulkan kepala di balik jendela.

"Apa?"

"Apa kamu tuli?!"

"Tapi, Pak—"

"Sudah, jangan banyak bawel."

Kirana membuang napas berat sebelum bergerak menuruti kemauan si bos. Dia masuk dan duduk di samping Gama dengan tenang.

Namun, tidak bagi Gama. Pria itu tampak gelisah membaui aroma Lily of the valley dari tubuh Kirana. Perpaduan aroma lembut, hangat, dan segar bisa sangat jelas Gama rasakan. Dan, itu cukup membuat konsentrasi Gama buyar.

avataravatar
Next chapter