Brak
"Ah maafkan aku." Ucap Agneta saat sadar menabrak seseorang dan menumpahkan minumannya ke pakaian seseorang di depannya. Dengan gugup ia mengeluarkan beberapa helai tissue dari dalam tas selendangnya dan membersihkan pakaian orang di depannya.
"Tidak apa-apa, Agneta." Suara itu langsung membuat Agneta menengadahkan kepalanya dan tatapan mereka langsung beradu.
"Kak Dave?" gumamnya.
"Sudahlah, tidak apa-apa," ucap Dave menampilkan senyumannya. "Kau sendiri?" tanya Dave menyadarkan Agneta dari keterpakuannya dan langsung memalingkan wajahnya dengan sedikit salting dan membenarkan posisi kacamata yang ia pakai.
"Iya, aku sendiri." Agneta menunduk karena merasa malu dan gugup. Dia tidak berani menatap langsung ke manik mata Dave.
"Kau mau pulang bersamaku?" tanya Dave membuat jantung Agneta semakin berpacu dengan cepat. Ia tidak bisa berkutik sama sekali saat bersama Dave. Dia seperti zat cair dan Davero adalah zat padatnya. Zat cair yang hanya mampu mengikuti zat padat dan memenuhi ruangannya.
"Tidak Kak, aku bisa pulang sendiri," tolaknya karena dia merasa malu dan tak bisa berlama-lama di samping Dave karena detak jantungnya yang berpacu sangat sangat cepat sekali.
"Baiklah kalau begitu, aku duluan yah," ucap Dave berlalu pergi meninggalkan Agneta sendirian yang masih menatapnya.
***
"Apa yang loe pikirkan, Agneta?" tanya Sella membuat Agneta menoleh padanya.
"Tidak ada, aku hanya sedikit memikirkan pelajaran," dusta Agneta.
"Ayolah jangan berbohong, kita baru saja selesai UN dan sebentar lagi acara party untuk pelepasan kelas 3. Apa yang kamu pikirkan?" tanya Sella memaksa Agneta.
"Kalau aku berkata jujur apa kamu akan mentertawakanku?" tanya Agneta sedikit ragu.
"Ya tidak, cepat katakan apa?" tanya Sella.
"Aku memikirkan Kak Davero," cicitnya.
"Apa?" pekik Sella. "Dave teman seperkumpulannya Evan?" tanya Sella yang di angguki Agneta.
"Ya Tuhan!!! Pria itu terkenal gay, Netha!"
"Apa?" kali ini Agneta yang terpekik kaget.
"Menurut Evan, dia sama sekali tidak pernah dekat dengan seorang wanita walau banyak yang terang-terangan mendekatinya."
"Tetapi dia tidak mungkin gay," ucap Agneta masih berusaha menampik kenyataan itu. "Aku yakin itu," gumamnya.
"Ya mana gue tau," ucap Sella. "Sudahlah jangan terlalu di pikirkan, ayo kita ke kantin." Agneta hanya mengangguk kikuk dan mengikuti Sella walau kepalanya masih berpikir dan menggaris bawahi kata gay itu. Rasanya seorang Davero tidak mungkin gay.
***
Agneta menyempatkan diri ke toko buku sepulang sekola tadi. Karena Sella di jemput oleh Evan, jadi Agneta pergi ke toko buku sendiri. Ia berjalan dengan memegang tali tas selempaknya yang ia gantungkan di bahu kanannya. Tetapi sebelum mencapai ke toko buku, ia menghentikan langkahnya dan bersembunyi di sudut dinding saat melihat Davero sedang menggendong seekor binatang di sebuah petshop yang ada di mall itu. Karena dinding pembatasnya dari kaca, ia jadi mampu melihatnya dari luar. Dave tampak tersenyum menggendong seekor anjing kecil dengan bulu berwarna abu terang bersih bahkan seperti seekor srigala.
Tanpa sadar Agneta tersenyum dan mengambil potret Dave dari tempat persembunyiannya. Katakanlah dia kini menjadi seorang stalking, tetapi ia tak merasa menyesal sama sekali. Setelahnya ia memperhatikan Dave yang terlihat memasukkan anak anjing itu ke dalam kandang berukuran sedang dan membawanya pergi. Saat Dave keluar dari toko itu, Agneta bersembunyi di balik dinding hingga Dave tak akan melihatnya.
"Devara pasti akan menyukai hadiah ini," gumamnya dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Devara?
***
Agneta memijit pangkal keningnya mengingat masa itu. masa dia tak ingin mengingatnya. Masa yang sangat menggelikan dan juga membuatnya ingin menghapus kenangan itu. Dave sungguh memiliki 2 perbedaan sikap yang sangat kentara dan Agneta telah tertipu olehnya.
Dia seperti Iblis yang menyerupai malaikat. Dan Agneta adalah salah wanita dari sekian wanita yang tertipu oleh segala tipu muslihatnya itu.
"Bunda." Suara itu membuat Agneta menoleh padanya dengan menampilkan senyumannya.
"Kemarilah," ucap Agneta mengulurkan tangan kanannya ke arah Regan membuat Regan berjalan mendekati Agneta. "Kenapa belum tidur?" tanya Agneta membelai kedua pipi gembil Regan.
"Belum ngantuk," ucap Regan dengan polos membuat Agneta tersenyum dan membawa tubuh Regan untuk duduk di atas meja bar karena saat ini Agneta tengah duduk di kursi meja bar. Awalnya ingin menyeduh teh hangat untuk menenangkan diri karena kejadian tadi tetapi ia malah mengingat masalalunya itu yang sangat ingin sekali ia hapus dari memori kepalanya.
"Kamu lapar?" tanya Agneta membuat Regan menggelengkan kepalanya.
"Bunda," ucapnya dengan polos.
"Kenapa sayang?" tanya Agneta.
"Kapan Om Vero datang lagi ke sini?"
Deg
Tanpa bisa di sembunyikan lagi, raut wajah lembut Agneta berubah menjadi tegang. Ia menatap Regan yang bertanya polos di hadapannya. "Kenapa kamu menanyakannya? Dia hanya teman jauh Bunda," ucap Agneta sedikit bergetar. Hatinya bergemuruh antara rasa takut dan emosi. Ada sisi di dalam hatinya yang tidak rela Regan mulai membagi rasa rindunya pada Dave.
Apa ini keegoisan seorang Ibu? Tetapi bagaimanapun Regan adalah anaknya, yang ia besarkan selama 5 tahun ini. Dan Agneta tidak rela kalau pria itu mengetahuinya dan tiba-tiba saja mengambil alih hak asuh Regan. Itu tidak boleh!!!!
"Bunda, kenapa melamun?" tanya Regan membuat Agneta tersenyum kikuk dan mengusap pipi Regan dengan lembut.
"Weekend ini kita main lagi dengan Ayah Aiden yah," ucap Agneta mengalihkan pikiran Regan dari Davero.
"Main kemana Bunda?" tanya Regan tampak bersemangat. Syukurlah, ini tak berlanjut lama.
"Kita akan diskusikan nanti dengan Ayah Aiden, sebaiknya sekarang kita tidur. Besok kamu harus sekolah," ucap Agneta yang di angguki Regan.
***
Dave menatap pigura besar di depannya itu. Pigura yang menampilkan dua orang pria dengan usia yang jauh berbeda dan dua orang perempuan yang juga dengan usia yang terpaut jauh. Kedua tangannya sedikit mengepal melihat semua itu.
"Hai Mom, Dad, Devara," gumam Dave tersenyum sinis.
Di dalam ruangan besar, dengan beberapa furnitur yang sangat mewah dan lengkap, juga pemanas ruangan yang berada tepat di bawah pigura itu. Dave berdiri di sana dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya dan sebelah lagi memegang gelas berisi cairan berwarna coklat terang di campur dengan es batu.
Matanya yang tajam menatap pigura itu tanpa berkedip. Bahkan tanpa sadar, pupil matanya semakin menggelap dan rahangnya mengeras.
"Aku tidak akan pernah melepaskan keluargaku lagi."
***