webnovel

The Dark Slayer

Leon terbangun di sebuah hutan belantara tanpa mengingat apa-apa selain namanya. Dari sini perjalanannya untuk bertahan hidup dilingkungan yang sangat baru baginya dimulai

Mark_Wijya · Fantasy
Not enough ratings
3 Chs

Chapter 1 : Awal

Aku berjalan melewati tempat-tempat yang belum pernah kudatangi. Kesunyian menghampiri benakku, karena nampaknya tidak ada orang selain aku dihutan ini. Aku terjatuh dan tersandung di sebuah turunan yang memiliki kedalaman sekitar 2 meter, hal itu membuatku mengingat beberapa hal yang telah kulupakan.

"Namaku Leon." Gumanku sambil berdiri dan bersandar disebatang pohon yang ada didekatku. Beberapa menit kemudian aku kembali teringat kalau aku tidak sendiri disini melainkan kami semua telah terpisah oleh sesuatu hal yang tidak dapatku ingat.

Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak minta tolong entah darimana. Aku bergegas mencari-cari sumber suara itu dan akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang berusia sekitar 16 tahun, sedang bergelantungan dengan kaki diikat didahan pohon.

Dia tidak berhenti berteriak sebelum aku menyapanya "Apa yang terjadi padamu?" tanyaku padanya. Dia terdiam dan melirikku dengan penasaran tapi tidak menjawab pertanyaanku.

Aku sedikit bosan menunggunya menjawab jadi kutegaskan padanya "Jika kau tidak mau menjawab aku akan pergi"

Dia akhirnya menjawab "Kumohon, tolong turunkan aku Leon"

Aku tidak percaya dia mengetahui namaku. Siapa orang ini? Bagaimana dia tahu namaku? Apakah mungkin dia yang membawaku kesini?. Karena bingung akupun bertanya padanya "Mengapa kau bisa tahu namaku?".

"Jika kau ingin aku menjawab pertanyaanmu turunkan dulu aku dari sini!" jawabnya tenang.

"Baiklah. Tapi sebelum itu beritahu aku namamu!"

"Namaku Wolf" Katanya seperti suara orang mabuk.

Aku mengamati tali yang menggantung orang itu sampai akhirnya aku menyadari kalau tali itu tidak diikat didahan melainkan hanya disangkutkan saja. Aku berjalan sambil mengikuti arah tali yang menggantung Wolf sampai disemak-semak.

Tanpa menunggu lagi aku membongkar semak-semak itu dan melihat tali yang tadi kuikuti ternyata hanya diikat disebuah patok kayu. Kulepaskan ikatannya lalu mengulur tali itu dengan perlahan sampai Wolf terbaring ditanah. Wolf langsung bergegas melepas ikatan dikakinya lalu pergi disemak-semak sambil menutup mulutnya. Aku kira dia akan kabur setelah kuselamatkan jadi aku mengikutinya dan melihat dia sedang muntah-muntah yang membuatku kembali karena jijik.

Tidak lama kemudian Wolf keluar dari semak-semak dan berjalan kearah pohon yang merupakan tempat ia bergantung tadi. Dia terlihat sedang membongkar tumpukan daun didekat pohon itu dan tak kusangka ternyata dia mengambil sebuah tas besar disana.

Tenggorokanku terasa kering karena belum minum air pada cuaca yang sangat panas ini tapi untungnya Wolf punya air dalam tas yang diambilnya lalu aku minta sedikit padanya.

Aku dan Wolf duduk dibawah pohon untuk beristirahat karena cuaca yang benar-benar tidak bersahabat. Meskipun sekarang aku mempunyai seorang teman tetap saja keadaan sunyi senyap seperti tadi.

Suasana yang begitu sunyi membuatku teringat akan pertanyaanku pada Wolf yang belum terjawab, "Jadi apa jawabanmu?" tanyaku pada Wolf berharap dia mengingat pertanyaanku sebelumnya.

" Jawaban apa?" katanya.

Jujur saja aku sedikit kesal padanya. "Tentang mengapa kau tahu namaku?" jawabku.

Wolf terlihat murung setelah mendengar perkataanku, "Jadi kau tidak mengingat semua itu"

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud Wolf"

"Kau akan tahu suatu saat nanti Leon"

"Kenapa kau merahasiakan sesuatu padaku?"

"Kuberitahu kau Leon. Kita tidak sendiri disini. Tujuan kita hanyalah bertahan hidup selama mungkin hanya dengan mengandalkan akal" Wolf berdiri sambil membawa tasnya, "Ayo kita pergi dari sini! Mencari tempat berlindung sementara"

Jujur saja aku masih penasaran dengan rahasia yang disimpan orang ini dan membuatku kurang percaya padanya, tapi mau bagaimana lagi kurasa dia lebih tahu tempat ini dibanding aku, "Baiklah tuan sok pintar" Jawabku sambil mengikutinya berjalan.

Selama dalam perjalanan kami berdua tidak berbicara satu sama lain yang membuatku sedikit agak canggung dengannya. Meskipun begitu aku cukup tenang bersamanya, karena itu bisa membuatku berpikir kalau bukan hanya aku yang ada dihutan menyeramkan ini.

Sudah sekitar satu jam kami berjalan tapi tak kunjung dia berhenti untuk beristirahat "Apa kau tidak lelah Wolf?" tanyaku sambil mengatur nafas.

Wolf melirik kearahku, pandangannya mengamati seluruh tubuhku seperti hendak memastikan sesuatu, "Kau sudah kelelahan ya?" dia bertanya padaku dengan nada mengejek seakan aku ini sangat lemah.

"Tentu saja tidak. Aku hanya menghawatirkanmu." Sangkalku.

"Yeah. Terserah padamu saja." Sahutnya tidak peduli sambil berjalan kebawah pohon yang sangat besar dan duduk disana, lalu aku mengikutinya.

Aku duduk disana dengan santai untuk mengistirahatkan tubuhku, walaupun begitu berbagai pertanyaan masih belum terjawab.

"Hei, Wolf. Sebenarnya siapa kau ini?" Tanyaku pada Wolf berharap ia mau menjelaskannya.

"Kenapa kau begitu penasaran padaku? Apa kau curiga aku akan membunuhmu saat kau lengah?" jawab Wolf santai.

"Apa kau tahu? Terkadang kita tidak diperbolehkan menyimpan rahasia"

"Sebenarnya. Kita ini sedang berada disebuah pulau paling terpencil dan terlupakan oleh dunia. Pulau ini terdiri dari 9 wilayah yang masing-masing ditempati oleh suatu klan. Meskipun awalnya kau tidak saling kenal, jika kau berada diwilayah itu maka secara otomatis kau adalah anggota dari klan yang mendiami tempat tersebut." Jelas Wolf.

"Tapi bagaiman kita bisa ada disini sekarang?"

"Aku tidak tahu. Tapi yang jelas kau pasti akan menemukan sesuatu yang berguna untuk bertahan hidup disini." Kata Wolf "Baiklah, sekarang saatnya mendirikan tenda disini karena hari sudah mulai gelap." Lanjutnya.

Aku mencari kayu bakar tidak terlalu jauh dari tempat sebelumnya. Namun saat aku sedang memungut beberapa potong kayu bakar aku menemukan sebuah panah lengkap dengan anak panahnya. Tanpa pikir panjang aku langsung memungutnya dan membawa benda itu pada Wolf.

Aku kira dia akan senang jika ku bawakan set panahan ini, mungkin panahan ini bisa melindungi kami dari mara bahaya. Tetapi setelah melihatnya dia langsung murung dan frustasi. "Apa benda ini mengingatkanmu pada sesuatu Wolf?" tanyaku.

"Dimana kau mendapatkan benda itu?" sahutnya tidak semangat.

"Disekitar sini kok" kataku. Aku kira tadinya dia akan senang mendengarnya tetapi lagi-lagi aku salah mengira.

"Mungkin sekarang waktunya kau untuk tahu semuanya Leonal." Katanya mencoba membuat nada suaranya tetap normal.

Aku senang akhirnya bisa menjawab semua rasa penasaranku selama ini. "Tentang apa?" Tanyaku dengan antusias.

"Akan kumulai dari saat pertama kau disini. Saat itu aku melihat kau memimpin sebuah pasukan dengan jumlah kurang lebih 10 orang untuk masuk kesini bersamamu. Jika aku boleh komentar itu adalah tindakan terbodoh yang pernah ada. Kau datang kesini dengan menggunakan hellikopter karena tempat ini tidak begitu jauh bagimu. Saat kalian semua turun dari hellikopter itu, satu per satu anggota pasukanmu diculik oleh sekelompok orang untuk dipencar hingga hanya kau yang tersisa disana dengan ingatan yang telah dihilangkan." Terang Wolf dengan murung.

"Jadi aku hanya perlu menemukan mereka bukan?"

"Yeah, begitulah."

***

Pagi hari berikutnya, aku dan Wolf membereskan tenda dan berburu dengan bersenjatakan panah. Wolf selalu didepanku sebab itulah dia yang memegang senjata bukan aku.

Tidak pernah kusangka ternyata Wolf cukup mahir menggunakan panah dan berhasil mendapatkan 2 ekor kelinci dan 1 burung dara. Aku menyalakan api ditepi sungai seperti yang diperintahkan Wolf sebelumnya. Setelah menyalakan api, aku langsung melihat cara Wolf membersihkan hewan buruannya ditepi sungai.

Betapa terkejutnya aku setelah melihat Wolf membelah perut salah satu kelincinya ternyata terdapat sekotak peluru yang masih bagus didalamnya. "Apa maksudnya ini?" tanyaku keheranan.

"Setelah makan kita harus segera menemukan teman-temanmu sebelum terjadi sesuatu yang tidak kau inginkan Leon. Kau mengerti?" Tegas Wolf.

Entah kenapa sesaat mentalku terasa ciut, begitu takut untuk melihat waktu yang akan datang. "Berapa lama waktu kita?" kataku gemetar.

"Tidak akan lama Leon" tegasnya. "Jika kau lengah maka itu adalah akhir."

Setelah makan aku mengemasi barang-barang kami yang diantaranya ada sekotak peluru dari perut kelinci, sebuah pistol dari perut kelinci lainnya, dan sebungkus pil penambah stamina dari perut burung dara. Kemudian kami berjalan untuk menyusuri daratan yang tidak kuketahui sedikitpun.

Beberapa saat mengikuti Wolf membuat perasaanku sangat gelisah memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kenapa perasaanku begini?.

Wolf mendadak berhenti didepanku sampai membuat aku menabraknya walau tidak kuat. "Apa ada masalah Leon?" kata Wolf padaku seakan dia tahu kalau aku sedang gelisah tanpa sebab.

"Tidak ada apa-apa Wolf" Sahutku mencoba bersikap tenang.

"Bukankah sudah kubilang padamu Leon" Katanya tegas "Jika kau goyah disini maka artinya akhir dari riwayatmu."

kata-kata yang keluar dari mulutnya itu benar-benar menakutkan. Tapi dia tidak pernah bisa menyembunyikan rasa pedulinya itu. Karena itu juga aku selalu percaya dan tidak pernah bisa membenci perkataan yang selalu keluar dari mulutnya.

"Kenapa kau bisa tahu tentang perasaanku?" kataku.

"Itu dapat dilihat dari penampilan dan gerakanmu" jawabnya sinis "Lagipula aku tidak suka membaca pikiran orang lain. Karena menurutku itu sangat memalukan."

"Maafkan aku tentang itu." Jawabku merasa malu.

Kami kembali melanjutkan perjalanan setelah berbicara. Aku mengamati tempat-tempat yang telah kami lalui, memeriksa apakah ada bahaya disekitar.

Secara kebetulan aku melihat seorang perempuan bertubuh ramping dengan kulit putih, rambut panjang berwarna hitam dan nampaknya kami seumuran. Kuhentikan langkahku dan memanggil Wolf, kudekati perempuan itu pelan-pelan serta waspada.

Setelah kusentuh tubuh perempuan itu sangat panas, lalu kuangkat dia perlahan. Wolf membasahi sepotong kain lalu memeras dan melipatnya. Kuambil kain itu dari Wolf dan kuletakkan dikening perempuan yang kutemukan tadi.

Aku merasa sangat kawatir pada perempuan itu "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku.

"Entahlah, aku kurang mengerti tentang hal seperti ini." jawab Wolf ragu.

Kemudian aku teringat sesuatu "Apa dia adalah salah satu temanku yang kau bicarakan itu Wolf?"

"Begitulah Leon. Seharusnya jika kau adalah temannya, jangan pernah melupakan wajahnya meski kau tidak ingat namanya."

Jawaban Wolf membuatku ingat kalau ada seseorang yang berharga bagiku dihutan ini. Aku berpikir keras untuk mengingat nama dan wajahnya, tapi tetap saja tidak bisa mengingatnya.

Setelah sekian lama akhirnya perempuan yang kutolong tadi sadar. Kuhampiri dia sambil membawa beberapa potong roti yang kuambil dari dalam batang pohon dan sebotol air mineral yang kuminta dari Wolf.

Awalnya kupikir roti itu sudah lama berada disana ternyata aku sudah salah.

Perempuan itu duduk bersandar dibawah pohon yang lumayan besar sambil mengawasi sekitarnya. Dia terkejut saat melihatku menghampirinya, sampai-sampai hampir memukulku. Kutenangkan dia dengan penuh senyuman, lalu duduk disebelahnya.

Sebelum aku memberikan roti yang kubawa, dia berkata padaku "Apa itu untukku?" Katanya sambil memelas.

"Tentu saja." jawabku "Tapi kau harus memberitahu namamu padaku!"

"Namaku Ellise." Jawabnya sambil melirik roti yang ada ditanganku.

Kuberikan roti itu padanya sambil berkata, "Ini ambillah! Sepertinya kau sangat menginginkannya"

"Terima kasih banyak. Kau baik sekali" kata Ellise sambil mengambil roti yang kuberikan padanya.

Ini mengejutkan, dia bahkan tidak menanyakan namaku. Kupandangi Ellise yang sedang memakan rotinya. Aku terkesan, walaupun terlihat sangat lapar, cara ia makan sangat manis sampai-sampai aku tidak berhenti memandanginya.

Dia berhenti makan sejenak sambil melirikku lalu berkata, "Apa kau juga lapar?"

Aku menjadi gugup saat Ellise bertanya begitu padaku. Kupalingkan wajahku darinya lalu menjawab, "Mmm, tidak begitu... maksudku... emm... anu.. aku tidak lapar saat ini." entah kenapa jawabanku sangat kacau, benar-benar memalukan. Mungkin seharusnya aku tidak memandanginya tadi.

Ellise tersenyum hangat sembari berkata, "Maaf tadi aku lupa menanyakan namamu."

Sudah kuduga dia memang lupa untuk menanyakan hal yang sangat sederhana padaku. Aku terdiam selama beberapa saat.

Ellise melanjutkan perkataannya, "Apa boleh aku tahu namamu?" tanyanya sedikit pelan.

"Boleh saja" jawabku sambil tersenyum. " Namaku Leonal. Ingat baik-baik ya! Ellise"

Ellise terlihat sedang memikirkan sesuatu sampai akhirnya dia berguman, "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu disuatu tempat. Tapi dimana?"

Aku heran kenapa ada Seseorang yang baru saja kukenal mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar namaku entah dimana. Karena sekali lagi aku tidak bisa mengalahkan rasa penasaranku, aku akhirnya bertanya padanya, "Benarkah itu?"

"Maafkan aku telah berkata seolah-olah aku pernah mendengar namamu disuatu tempat." Jawab Ellise dengan wajah yang memerah. "Mungkin saja itu adalah orang lain yang secara kebetulan dia punya nama percis seperti namamu."

Ah, itu benar. Tidak herankan kalau mempunyai nama yang mirip didunia ini. aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena begitu malu menanyakan hal yang aneh pada Ellise. Seharusnya aku berpikir panjang sebelum bertanya pada orang lain.

Disaat yang tidak tepat, Wolf berlari kearah aku dan Vany dengan panik sambil berteriak, "Gawat.... gawat.... keadaan darurat Leonal....."

Aku berdiri memberhentikan Wolf dan mencoba menenangkannya. "Tenanglah Wolf! Coba ceritakan padaku apa yang sedang terjadi?" kataku dengan sedikit cemas akan keadaan Wolf yang biasanya tenang menjadi panik seperti ini.

Wolf sangat ngos-ngosan dan panik lalu berkata padaku "Gawat kita berhasil menemukan teman-teman kita sekarang." Jawabnya sambil memasang senyum mengejek yang terlihat jelas diwajahnya.

"Seharusnya aku menendangmu saja Wolf sialan." Kataku jengkel.

Beberapa saat kemudian Wolf bersikap santai seperti biasanya, "Baiklah. Karena hari sudah menjelang malam dan cewek yang kau tolong itu sudah sadar maka, ayo kita temui mereka sekarang." Katanya.

"Jadi dengan kata lain kau belum menemui mereka semua Wolf?" tanyaku.

Wolf tertawa pelan, "Kau memang ahli dalam menebak ya Leon." Jawabnya dengan sangat bangga.

Sepertinya jika semakin lama seperti ini maka sesekali mungkin harus kuberi pelajaran berharga yang takkan dia lupakan.