Renji yang sedang duduk di sofa ruang kerjanya, melipat kedua tangan di depan dada menatap Azami yang duduk diseberangnya dengan sorot mata tajam.
"Jadi, bisa jelaskan mengapa selama satu bulan ini kau tidak pernah menghubungi ku sama sekali?"
Azami yang sudah menduga jika dirinya akan di interogasi oleh Renji, menghela nafasnya panjang. Beruntung sekali Yuri yang saat ini sedang bermain bersama kedua anak Renji dan juga sang istri.
"Maaf paman selama satu bulan ini aku tidak menghubungi mu sama sekali. Sebenarnya satu hari setelah kami sampai di Yokohama, kami mengalami insiden perampokan dan semua barang yang kami bawa di rampok hingga tidak bersisah."
Kedua bola mata Renji membulat terkejut. "Apa kata mu?! Kau mengalami perampokan??! Apa ada orang-orang yang membantu kalian saat kejadian itu terjadi?!"
Azami menganggukan kepalanya pelan. "Ya, kami ditolong oleh beberapa orang yang berada di sekitar sana. Dan setelah kejadian itu sampai saat ini kami tinggal dirumah seorang pemilik kafe. Aku juga bekerja di kafenya untuk membayar ganti rugi biaya yang sudah dirinya keluarkan untuk mengurusku dan Yuri."
"Berapa?"
Azami mengerutkan dahinya heran. "Berapa, apa paman?"
Renji menghela nafasnya. "Berapa total biaya yang harus kau ganti? Biar aku yang akan membayarnya, Kamu hanya perlu fokus untuk belajar menganai dunia bisnis."
"Tidak perlu paman. Lagi pula aku sama sekal tidak keberatan jika harus bekerja di kafe dan tinggal dirumahnya." Sanggah Azami yang tidak ingin merepotkan Renji.
Azami dapat mendengar Renji menghela nafasnya panjang. "Kalau begitu biarkan aku memberikan mu uag untuk kau tinggal disana."
"Itu tidak perlu juga paman. Gaji yang di berikan oleh pemilik kafe itu cukup untuk aku dan Yuri."
Renji mengerutkan dahinya heran. "Azami-kun, mengapa kau selalu menolak bantuan dari ku?"
Azami mengusap tengkuknya pelan. "Aku hanya tidak ingin merepotkan paman. Aku dan Yuri bisa menjaga diri kami."
"Baiklah jika menurutmu seperti itu. Jika suatu saat kau memerlukan bantuan, jangan sungkan untuk meminta pertolongan kepada ku, Azami-kun."
Azami menganggukan kepalanya cepat. "Pasti paman."
Renji beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah amplop cokelat yang tersimpan didalam lacinya.
"Aku tahu kau belum berhasil menemukan rumah rekan ayah mu bukan? Saat aku merapihkan ruang kerja ayah mu di kantor dan juga dirumah, aku menemukan beberapa berkas lain yang mungkin dapat membantu mu menemukan rekan ayah mu."
Azami mengambil alih amplop cokelat yang di berikan oleh Renji dan membukanya.
Didalam amlop itu terdapat beberapa foto dan beberapa dokumen yang belum pernah dirinya lihat.
Azami tertarik untuk melihat beberapa foto lama yang berada di dalam amplop tersebut.
Sebuah kerutan tercetak di dahi Azami saat melihat sebuah foto yang berisikan seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki tengah bergandengan tangan tersenyum kearah kamera.
"Paman, anak perempuan yang berada di foto ini terlihat sangat tidak asing." Ucap Azami yang membuat Renji merasa penasaran lalu berjalan menghampiri Azami.
Setelah menghampiri Azami, Renji terdiam sesaat memperhatikan foto yang dipegang Azami sebelum dirinya tergelak geli.
"Apa kau lupa dengn wajah mu sendiri Azami-kun?"
Azami semakin mengerutkan keningnya heran mendengar pertanyaan Renji. "Maksud mu paman?"
Renji masih tergelak geli. "Ini adalah dirimu saat berusia tiga tahun Azami-kun. Saat itu ibu mu yang melihat kamu sangat imut dengan model rambut panjang pun gencar sekali memakaikan mu pakaian perempuan. Lalu saat kau akan memasuki sekolah dasar, barulah ibu mu memotong pendek rambutmu dan membelikan mu pakaian anak laki-laki pada umumya."
"Lalu anak laki-laki disebelah ku ini siapa?" Tanya Azami lagi yang kali ini menunjuk foto anak laki-laki.
"Untuk itu aku kurang tahu, seperti nya itu anak dari salah satu rekan bisnis ayah mu. Coba kau lihat di belakangnya, apakah ada keterangan lainnya." Jawab Renji yang langsung membuat Azami membalikan foto tersebut, namun tidak terdapat tulisan apa-apa.
Renji yang mengetahui tidak ada keterangan apapun langsung mengambil foto lain yang berisikan foto Azami saat kecil dan anak laki-laki tersebut.
Pergerakan tangan Renji terhenti saat dirinya melihat sebuah foto yang berisikan Yusuke, Aoi dan Azami yang masih kecil bersama dengan beberapa orang lain yang tidak dirinya ketahui termasuk anak laki-laki yang sedari tadi memiliki momen foto bersama dengan Azami.
Renji menyipitkan matanya melihat tulisan yang terlihat samar-samar di bawah foto tersebut.
'Yokohama, 1999 Semoga hubungan bisnis kita dapat terjalin seperti hubungan keluarga.'
Renji membulatkan matanya terkejut dan dengan cepat membalik foto tersebut, berharap memiliki keterangan lain disana, namun sangat disayangkan. Di balik foto tersebut tidak memiliki keterangan apapun.
"Azami-kun, sepertinya ini bisa mejadi salah satu petunjuk untuk mu." Ucap Renji, membuat Azami yang sedang membaca dokumen-dokumen didalam amplop cokelat langsung menolehkan kepalanya kearah Renji.
"Meski di foto ini tidak terdapat keterangan lain, sepertinya wajah-wajah orang yang berada didalam foto ini dapat menjadi petunjuk mu. Atau mungkin kau pernah melihat bangunan rumah seperti ini di Yokohama?"
Azami mengerutkan dahinya heran. Dirinya sama sekali tidak mengenali wajah orang-orang yang berada di dalam foto itu, kecuali Ayah dan Ibu nya.
"Aku belum sempat berkeliling lebih jauh. Jadi aku belum pernah melihat bangunan rumah seperti itu disana."
Renji menghela nafasnya. "Lebih baik foto ini kau bawa bersamamu. Agar saat kembali kesana kau dapat mencarinya."
Azami menganggukan kepalanya lalu menerima foto itu dan di letekan diatas lembaran foto-foto lain.
"Oh paman. Aku hampir lupa tujuan utama ku datang untuk menemui mu."
Renji menolehkan kepalanya kearah Azami."Biar ku tebak, kau pasti ingin menanyakan tentang apa yang sedang marak di beritakan terkait perusahaan keluarga mu, bukan?"
Azami kembali menganggukan kepalanya. "Benar, apa yang diberitakan itu benar? Mengenai jadwal para artis yang mengalami perubahan, lalu mengenai jasad ayah dan ibu yang sudah di ketemukan?"
Renji terdiam sesaat. "Ya, berita itu benar Azami-kun. Jadwal para artis yang mengalami perubahan, lalu juga mengenai jasad ayah dan ibu mu yang sudah ditemukan dan dilakukan acara pemakaman ulang."
"Untuk perubahan jadwal para artis, aku akan memperlihatkannya pada mu. Aku sudah meminta salinanannya pada sekretaris ayah mu tanpa sepengatahuan paman mu."
Tatapan mata Azami terus mengikuti Renji yang saat ini berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah dokumen.
"Kau bisa melihatnya langsung. Aku meminta salinan ini untuk terus memantau. Jika ada sesuatu hal yang benar-benar aneh, maka aku akan langsung memberitahu mu secepatnya."
Azami pun menerima dokumen yang diberikan oleh Renji. Dokumen yang berisikan data mengenai para Idol, model, aktor dan aktris yang berada dibawah naungan A&Y Group. Perusahaan bergerak di dunia hiburan yang sudah ayahnya dirikan. A&Y Group termasuk perusahaan tiga besar di dunia hiburan. A&Y Grup mempunyai model, idol. Aktor dan aktris yang sangat profesional sekaligus berbakat.
Itu mengapa yang menyebabkan Azami sedikit merasa ragu untuk mengambil alih perusahaan yang sudah didirikan oleh mendiang ayahnya. Meski dirinya secara diam-diam selalu bertanya dan mendapatkan penjelasan langsung dari mendiang sang ayah mengenai pergerakan dan kinerja di sebuah perusahaan hiburan.
Azami mengerutkan dahinya heran membaca dokumen yang diberikan Renji tadi. Dokumen yang berisi perbandingan jadwal para artis yang disusun oleh ayah nya dan yang baru disusun oleh pamannya.
"Joe dan Ayumi bukankah mereka masih memiliki kerjasama dengan perusahaan majalah di London? Mengapa dijadwal ini mereka beraktivitas lebih banyak di Jepang? Seharusnya di bulan ini mereka melakukan pemotretan lagi bukan?" Tanya Azami melihat kejanggalan pada jadwal yang dibuat oleh pamannya.
"Itulah yang membuat aku, Joe dan Ayumi heran. Jika mereka berdua dalam waktu enam bulan ini tidak melakukan pemotretan lagi disana, maka kontrak kerjasama yang kita miliki akan di batalkan dan juga akan ada denda yang harus kita bayar." Jawab Renji menatap Azami serius.
"Mioko-san juga, mengapa acara jumpa fans nya di batalkan? Bukankah setiap dia mengeluarkan album baru selalu diadakan acara jumpa fans untuk meningkatkan jumlah pembelian albumnya?" Tany Azami lagi yang sudah tidak habis fikir dengan jalan pemikiran pamannya. Mengapa sebagian besar jadwal yang sudah disusun oleh ayahnya dirubah begitu saja. Bahkan Azami sudah dapat membayangkan berapa banyak uang yang akan perusahaan keluarkan untuk perubahan jadwal ini.
"Boyluv adalah boygroup rookie. Mengapa tingkat promosi mereka lebih rendah? Seharusnya merekalah yang paling ditingkatkan untuk promosinya."
"Bukankah Hana-neesan tidak menyukai film horor? Mengapa dia menjalani casting untuk film horor terbaru?? Apa yang ada di dalam fikiran paman Ken saat membuat jadwal ini semua??"
Azami memejamkan matanya erat, lalu menghela nafas panjang. Reji yang melihat Azami terlihat begitu tertekan pun menuangkan teh diatas cangkir milik Azami lalu menyodorkannya dihadapan Azami.
"Tenang Azami. Lebih baik kau minum terlebih dulu."
Dengan sedikit menahan emosi, Azami meletakan kembali dokumen yang dibacanya tadi keatas meja lalu menerima cangkir teh yang diulurkan oleh Renji dan meminumnya.
"Paman, apa aku boleh meminta semua kontak perusahaan yang bekerja sama dengan kita? Lalu aku juga ingin meminta kontak para manajer semua artis kita."
Renji yang mendengar perkataan Azami mengulaskan seringai di wajahnya. "Tentu saja. Apa kau ingin melakukan aksi gerilya, Azami-kun?"
Azami menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan. Ini belum saatnya aku ikut campur dengan apa yang sudah direncanakan oleh pama Ken. Aku ingin melihat dirinya merasakan akibat yang sudah dia perbuat karena mengubah sebagian besar jadwal perusahaan."
"Dan juga, jika memang menurut paman keadaan perusahaan sudah sangat genting. Aku ingin paman menyebarkan berita tentang aku, apapun. Hanya aku saja, Yuri jangan. Dia masih terlalu kecil."
Renji dengan begitu bersemangat menganggukan kepalanya. "Baiklah, aku pasti akan melakukan itu dengan sangat baik. Kau tidak perlu khawatir."
Kini Azami melirikan matanya pada jam dinding yang berada di ruang kerja Renji. "Baiklah paman, kalau begitu aku dan Yuri pulang sekarang. Kami memiliki janji dengan salah seorang karyawan kafe yang mengajak kami kesini untuk bertemu kembali di depan stasiun jam lima."
Renji ikut menolehkan kepalanya untuk melihat kearah jam dinding. "Kau masih memiliki waktu lebih, Azami-kun. Mengapa tidak tinggal lebih lama lagi disini?"
Azami menggelengkan kepalanya sambil beranjak dari duduknya. "Aku tidak ingin dia curiga. Maka dari itu aku akan menghubunginya jika urusan ku sudah selesai."
"Baiklah, jika itu maumu. Dokumen ini nanti akan aku kirimkan soft filenya bersama data-data yang kamu minta tadi."
Azami mengulaskan senyum kecil diwajahnya. "Terimakasih banyak paman. Maaf jika aku sudah merepotkan mu."
"Jika kau selalu berkata seperti itu, maka aku tidak akan segan untuk memukul mu suatu saat nanti jika kau berbicara seperti itu lagi." Decak Renji memberi ancaman pada Azami yang direspon dengan gelak tawa geli.
"Azami-kun, apa kau dan Yu-chan sudah akan pergi?" Tanya seorang perempuan paruh baya yang masih nampak cantik dengan sebuah apron menempel ditubuhnya.
"Ya, bibi Makoto. Lain kali kami akan main lebih lama lagi." Jawab Azami berjalan menghampiri Yuri yang sedang menonton televisi bersama anak-anak Renji.
"Aku membuatkan beberapa makanan kecil untuk kalian bawa pulang. Kalian jangan lupa makan dan jangan lupa beristirahat." Ujar Makoto sambil menyodorkan sebuah bungkusan berukuran cukup besar pada Azami.
"Terimakasih banyak bibi. Kau tidak perlu repot-repot membutakan kami makanan kecil." Balas Azami yang merasa tidak enak karena sudah membuat Makoto dan Renji repot membawakan makanan untuk dirinya dan Yuri.
Seulas senyum tercetak diwajah Makoto. "Kalian sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Jadi kalian tidak perlu merasa sungkan."
Azami balas mengulaskan senyum diwajahnya. "Terimakasih bibi. Kalau begitu aku dan Yuri pulang dulu."
Azami dan Yuri membungkukan badan mereka kepada Renji dan Makoto.
"Hati-hati kalian. Jangan sungkan untuk menghubungi kami." Ujar Makoto yang mengantar kepergian Azami dan Yuri, bersama dengan Renji sampai depan pintu rumah.
"Baik bibi, paman. Kami pergi dulu."
Setelahnya Azami dan Yuri pun berjalan meninggalkan rumah Renji.
"Niichan, apa kita benar-benar tidak akan pulang kerumah kita?" Tanya Yuri takut-takut tanpa menolehkan kepalanya kearah Azami.
Azami yang melihat Yuri bertanya tanpa melihat kearahnya pun menghela nafas panjang. Lalu dieratkannya genggaman tangannya pada jari-jemari kecil milik Yuri.
"Saat ini belum saatnya kita untuk pulang kerumah, Yu-chan. Nanti akan ada saatnya kita bisa pulang dan tinggal kembali dirumah milik keluarga kita." Jawab Azami yang sontak langsung membuat Yuri menolehkan kepala kearahnya dengan sorot mata berkaca-kaca.
"Benarkah itu Niichan? Kita bisa tinggal dirumah kita lagi??!"
Azami menganggukan kepalanya pasti. "Tentu saja! Untuk saat ini kita akan tinggal dirumah Juza-san. Kau tidak masalah bukan jika kita tinggal di rumah Juza-san?"
Yuri dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku sangat senang tinggal dirumah Juza-san. Semua paman baik kepada ku, aku jadi tidak bosan saat niichan pergi bekerja di kafe."
Azami kembali mengulaskan senyum diwajahnya. "Syukurlah jika kau suka tinggal di rumah Juza-san. Mereka pasti akan senang melihat kita pulang membawa banyak makanan."
"Pasti! Apa lagi masakan bibi Makoto sangat enak!"
Azami menyetujui apa yang dikatakan oleh Yuri. "Ya kau benar. Kurasa kita harus segera pulang dengan Goshi-san!"
"Ayo kita pulang bersama Goshi-san!"
Azami terkekeh mendengar seruan gembira Yuri. Kini Azami dan Yuri pun bergegas berjalan menuju stasiun kereta api, dimana mereka berdua dapat melihat Goshi yang suda berdiri bersandar pada dinding dengan kedua tangannya yang penuh dengan kantung belanja.
"Hei! Kalian seperti bersenang-senang juga ya!" Seru Goshi yang melihat Azami datang membawa kantung berukuran cukup besar.
Azami menganggukan kepalanya pelan. "Ya, kami mengunjungi salah satu rumah saudara dan ini ada oleh-oleh dari mereka."
Kedua bola mata Goshi berbinar mendengar perkataan Azami. "Kalau begitu ayo kita pulang sekarang! Mereka semua pasti akan senang melihat kita pulang membawa banyak makanan!"
Yuri dengan bersemangat ikut menganggukan kepalanya. "Paman Goshi benar! Ayo kita pulang!"
Azami hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Goshi dan Yuri yang kini sudah berjalan lebih dulu memasuki stasiun kereta api meninggalkan dirinya.
***
Sesampainya Azami, Goshi dan Yuri didepan gerbang rumah yang tidak tertutup, kedua bola mata mereka bertiga membulat terkejut melihat kekacauan yang terjadi di halaman rumah.
Tiga buah mobil yang penuh dengan retakan dikaca dan juga baret di badan mobil, terparkir asal di halaman rumah.
Goshi dan Azami kini saling bertatapan satu sama lain.
"Apa yang sudah terjadi selama kita pergi?!"