webnovel

The Closer

Setelah kepulangannya dari rumah sakit, Maya Diandra merasakan ada sesuatu yang salah telah terjadi di sekitarnya. Tidak sekali dua kali ia merasakan tatapan menusuk yang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya. Awalnya ia hanya menganggap itu lelucon. Namun, siapa sangka jika dari hari ke hari tidak hanya tatapan yang menusuk ia dapat, tapi juga teror yang semakin menggila dan mulai membahayakan nyawanya. Apa yang harus dilakukan Maya? Mampukah ia bertahan menghadapi teror dari orang yang bahkan sama sekali tidak dikenalnya?

Winart12 · Urban
Not enough ratings
5 Chs

Penguntit

Setelah sepekan ia seperti tahanan rumah oleh Ken dan Nora, Maya akhirnya diizinkan keluar dari rumah.

Maya sudah berkali-kali meminta Nora untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, namun sahabatnya itu selalu menolak dengan alasan Maya belum sepenuhnya pulih.

Maya harus menelan rasa kecewanya bulat-bulat, ia kini sedang berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Nora cukup sibuk hari ini di restorannya, ia tidak punya waktu menemani Maya jalan-jalan, adapun Ken, laki-laki itu sedang ada kuliah hari ini.

Maya benar-benar bosan di rumah, ia merapatkan sweternya ketika ia telah sampai di taman, mengedarkan pandangannya ke segala arah dan menemukan sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon.

Maya mendudukkan dirinya di sana, ia menghela napas panjang.

Dalam sepekan, ia sama sekali tidak mengingat apapun tentang dirinya, ingatannya itu seolah dikunci rapat-rapat, ia kehilangan kunci untuk membukanya.

Suasana taman di sore hari ini cukup ramai, angin sepoi-sepoi membuat suasana terasa nyaman, ada beberapa lansia duduk-duduk di bangku panjang dan terlibat obrolan hangat, ada anak-anak yang bersorak-sorai sedang bermain dengan fasilitas yang disediakan oleh taman.

Maya sesaat merasa tenang, suasana seperti inilah yang diperlukannya untuk memulihkan ingatannya.

Ia melihat sekeliling lagi, matanya jatuh pada sosok berpakaian hitam yang sedang duduk menyilangkan kakinya di bawah pohon, tidak jelas apakah itu laki-laki atau perempuan, ia terlihat seolah sedang menatap tajam Maya dari kejauhan.

Maya berusaha mengabaikan itu, ia tetap duduk dan melihat-lihat lagi seluruh aktivitas orang-orang yang ada di taman.

Tiga puluh menit telah berlalu, sosok berpakaian hitam itu masih menatapnya. Maya mulai merasa risih dan terganggu, ia mencoba beranjak ke bangku lain, sosok itu masih tetap menatapnya.

Jantung Maya tiba-tiba berdebar tanpa alasan, entah kenapa ia merasa sosok berpakian hitam itu tidak memiliki niat yang baik.

Maya menarik napas, mencoba berpikiran positif, mungkn saja orang itu adalah salah satu orang tua anak-anak yang ada di taman ini. Tapi rasanya mustahil, orang itu terlihat sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Maya dari waktu ke waktu.

Apa dia si pengirim kotak hitam itu?

Maya menelan ludah, tiba-tiba ia merasa gugup, ia merasakan firasat buruk jika ia berlama-lama di taman ini. Gadis itu bangkit dan melangkah perlahan-lahan, ia sesekali menengok ke belakang.

"Astaga," ucap Maya dengan nada tertahan, sosok itu mulai mengikutinya tanpa ragu. "Siapa sebenarnya dia?"

Maya mempercepat langkahnya, jantungnya semakin berpacu kencang, ia berjalan di trotoar yang ramai dilalui pejalan kaki dengan langkah terseok, keringat dingin mengalir di punggungnya, ia merasakan punggungnya terbakar karena pandangam menusuk yang diarahkan oleh sosok berpakaian hitam tersebut.

Ini terlalu mengerikan!

Maya merasakan napasnya terengah-engah, ia menengok lagi ke belakang, sosok berpakaian hitam itu masih mengikutinya, langkahnya mantap dan tegas menuju Maya.

'Apa yang dia mau pada diriku?'

"Akh!" Maya memekik pelan, karena ia tidak melihat ke depan, ia tanpa sengaja menabrak seseorang, gadis itu terjatuh ke tanah dengan gemetaran.

"Nona, kau baik-baik saja?" tanya orang yang ditabrak Maya, ia memperhatikan jika mata sang gadis itu sama sekali tidak fokus.

"Tolong aku!" Maya memegang lengan laki-laki itu dengan gemetar, wajahnya pucat pasi, matanya yang berkaca-kaca itu melirik ke belakang.

Sosok berpakaian hitam itu masih ada di sana, berdiri di samping halte, bertingkah seakan dia sedang menunggu kedatangan bus.

Laki-laki yang ditabraknya tadi ikut mengikuti arah pandang gadis itu, ia mengangguk paham. "Ayo ikuti aku."

Maya merasakan tangannya ditarik lembut, ia dituntun oleh laki-laki asing itu menuju kafe terdekat.

Sosok berpakaian hitam itu tidak lagi mengikutinya, Maya menghela napas lega. Ia mendongak dan menatap orang yang ditabraknya, pipinya langsung memerah.

Sosok di depannya ini memakai kemeja berwarna hitam, rambutnya ditata rapi, raut wajahnya tegas dan tampan, mungkin umurnya sekitar dua puluh tujuh, ia tersenyum dengan lembut ke arah Maya.

"Minumlah dulu," ucap laki-laki itu, suaranya terdengar pelan tapi menenangkan. "Namaku Dominic Cooper."

"Um, terima kasih Tuan Dominic … aku Maya."

Maya tersenyum canggung, ia menyentuh gelas berisi teh yang telah disajikan pelauyan di depannya, merasa malu dengan penampilannya yang saat ini tidak begitu baik.

"Apa yang terjadi padamu tadi? Kau terlihat begitu ketakutan." Dominic kembali berkata dengan suaranya yang lembut.

Suasana kafe yang mereka datangi saat ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa muda-mudi di pojok ruangan yang bergosip ria, selebihnya hanya para pelayan yang duduk-duduk santai menunggu pesanan.

"Itu … aku … aku hanya merasa ada yang mengawasiku akhir-akhir ini," ungkap Maya, ia tidak ingin menutup-nutupi masalahnya pada orang yang telah menyelamatkannya.

"Sepertinya dia penguntit."

Dominic terkekeh pelan, ia meletakkan gelasnya di meja. "Kau bisa mampir kemari jika merasa seperti itu lagi, ini adalah kafeku."

Maya mengedarkan pandangannya, pantas jika orang ini terlihat begitu rapi dan pembawaannya sangat ramah, ternyata dia adalah pemilik kafe ini, ia melihat di depan kaca ada sebuah kertas yang bertuliskan lowongan pekerjaan sebagai pelayan paruh waktu.

Maya tersenyum, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benaknya. "Tuan …."

"Kau bisa memanggilku Domi saja, kata tuan itu terdengar aneh," potong Dominic lagi.

"Oke Dominic …." Maya tersenyum lebar.

"Kalau aku mengajukan lamaran sebagai pelayan di sini, apakah kau mau menerimaku?"

Dominic tertawa.

Maya menggaruk belakang kepalanya dengan pelan, ia tidak kekurangan uang sebenarnya, tapi ia merasa ia harus lebih banyak bertemu orang-orang agar ingatannya cepat pulih, ia juga bosan di rumah tidak melakukan apa-apa selain menonton televisi.

"Boleh." Dominic masih memasang senyum di wajahnya. "kau benar-benar gadis yang menarik."

Maya tersipu, ia melihat Dominic melambaikan tangannya, seorang pelayan datang dengan cepat lalu kembali ke meja dan kembali lagi sambil membawa selembar kertas dan pulpen.

"Kau bisa mengisi formulirnya dulu," ucap Dominic dengan ramah.

Maya dengan senyum lebar langsung mengambil pulpen dan mengisi formulir yang diserahkan Dominic, suasana hatinya terasa jauh lebih baik daripada tadi.

Dengan bekerja di kafe, ia tidak akan khawatir penguntit itu datang, asalkan ia di tengah orang banyak Maya yakin penguntit ituvakan menyerah dengan sendirinya.

"Ini ...." Maya menyerahkan formulir pada Dominic, laki-laki itu mengangguk.

"Kau bisa bekerja besok, bertanyalah pada Sarah jika ada sesuatu yang tidak kau mengerti."

"Baik!"

Maya benar-benar merasa bersemangat dibandingkan sepekan terakhir, ia bekerja di kafe, ia memiliki bos yang tampan, rasanya semuanya berjalan begitu baik hari ini.

Tanpa Maya sadari, sesosok laki-laki berpakaian hitam tengah berdiri tak jauh dari mereka, ia menyeringai.