Senin berikutnya -yang artinya mereka sudah menyelesaikan misi tantangan itu, semuanya normal seperti biasanya. Tae menjemput Tee dengan mobilnya dan berangkat bersama ke sekolah. Ternyata di sekolah muncul lagi gosip tentang petualangan mereka di bar waktu itu dan komvlok-nya lagi ada foto yang memperlihatkan sikap posesif Tae saat tangannya sedang memeluk pinggang Tee. Tae sebenarnya tidak mempermasalahkan foto itu tetapi lebih kepada orang yang mengambil foto mereka secara diam-diam. Buat apa coba mereka sampai bela-belain menjadi paparazzi di setiap kegiatan mereka?
Di sisi lain, tanggapan Tee hanya mengangkat bahu dan saat beberapa orang yang datang menanyakan kebenaran dari gosip itu, dia hanya berkata "ya, terus? Lu cembokur?".
Hari itu berjalan normal dan mereka nongkrong sepulang sekolah seperti biasa di rumah Tee. Tetapi ada yang aneh kalau menurut Tae, dia merasa kalau Tee seharian ini tidak gak sedikitpun menatap wajahnya. Dia memang bersikap biasa saja, tetapi juga tidak mau kontak mata dengannya. 'Mungkin karena tantangan itu, makanya Tee bad mood jadi aku kena imbas juga?!' Pikir Tae sambil mengerutkan bibirnya dan tidak lama dia mengangkat kepalanya dari meja makan dan meregangkan badannya.
"Kamu mau minum sesuatu?" Dia bertanya pada Tee.
"Hm? Uh, air mineral aja deh." Tee menjawab tanpa mendongak. Tae akhirnya pergi ke dapur dan kembali dengan sebotol air mineral dan kopi di kedua tangannya. Karena Tae sudah terbiasa bertandang ke rumah Tee, jadi dia sudah bebas dengan menganggap itu rumah keduanya. Dia memberikan air mineral itu ke Tee dan kembali duduk disamping Tee.
"Kamu kenapa? Baik-baik aja kan?"
"Bukannya kita udah janji bakal ngasih tau kalau sesuatu terjadi dan gak akan ada rahasia?" Tae bertanya frustasi karena seharian ini Tee bersikap beda padanya.
"Gak ada yang perlu diomongin" Tee menjawab sambil meletakkan kembali botol minuman ke atas meja dan menatap Tae.
"Gak ada apa apa?? Kamu becanda hah? Seharian ini kamu kayak yang beda sama aku, kamu kayak gak pengen deket sama aku!"
"Umm- engga."
"Apa maksud kamu bilang gak ada yang perlu diomongin? Ada banyak yang bisa kita obrolin. Tentang kemarin, tentang itu- tentang apa yang udah terjadi, tentang kita! Fuck! Tentang apa yang udah kita lakuin!" Tae berdiri, kelihatan sekali kalau dia sudah sangat marah. Awalnya dia tidak berencana untuk marah-marah seperti ini, tetapi emosinya mendadak keluar karena sikap Tee yang menghindar dari dia walaupun tidak terang-terangan.
"Kamu mau ngomongin itu!? Oke, ayo kita obrolin! Ngomong sekarang juga!" Tee membanting tangannya di atas meja sampai botol yang berada ditangannya terhempaskan di atas meja.
"Apa-apaan kita ini sekarang!?" Tae berteriak sambil melangkah lebih dekat ke Tee yang juga tidak berani mundur. "Apa yang kita lakuin!? Bertingkah kayak pasangan dari dulu waktu kita udah lulus sekolah sampe sekarang!? Kita ngebuat orang-orang bingung!"
"Kita itu teman! Sahabatan" Tee berteriak lagi dengan nada yang sama, menusukkan jarinya ke dada Tae.
"Oh ya? Ingat hari Jumat kemarin waktu aku bilang apa yang pengen aku lakuin ke kamu!? Kamu bilang 'Aku juga pengen' dan kamu juga malah gak nyoba buat ngedorong aku pergi! Kamu juga terlibat! Sama kayak waktu kita umur empat belas tahun! "
"Tae, kita mabuk! Apa kamu gak inget note yang aku tinggalkan? Aku udah bilang gak ada yang bakal berubah di antara kita karena kita cuman teman dekat!"
"Terus kenapa kita ngelakuin tantangan itu !? Bukankah kamu tahu bahwa hal sialan kayak gini bisa ngerusak pertemanan kita !?"
"Keluar dari rumahku, Tae! Keluar sekarang juga, atau aku bersumpah bakal nyebarin rumor menjijikan tentang kamu!" Tee berteriak keras. Untung saja orang tuanya sedang tidak ada dirumah, coba kalau ada, bisa panjang urusannya.
"Aku gak peduli apa yang bakal kamu lakuin! Aku cuman pengen tahu apa yang terjadi sama kita, Tee!" Tae berlutut, membuktikan bahwa dia bersedia memohon. "Tee, kamu tahu aku peduli sama kamu–"
"Aku bilang keluar." Tee menunjuk ke pintu. Tae melirik ke pintu di belakangnya dan bangkit, mengambil barang-barangnya dan menuju ke luar pintu tanpa sedikitpun memandangi Tee dari balik bahunya.
Tee menggosokkan sebelah lengannya dan memperbaiki alas meja makan yang tadi sempat berantakan kembali ke posisi semula, lalu meringkuk kembali ke kursi. Dalam hatinya juga mempertanyakan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu dia baru saja membuat Tae sakit hati. Emosinya bercampur-aduk. Sepertinya permasalahan ini tidak akan mungkin selesai dengan cepat. Dia mengusap wajahnya dan menutup matanya erat-erat, memastikan agar dia tidak menangis. Satu-satunya cara agar bisa menyelesaikan apa yang baru saja dia lakukan adalah meminta maaf pada Tae, dan itu belum bisa dia lakukan. Itu bukan hal yang biasa Tee lakuin. Tee gak pernah meminta maaf saat mereka berdua berkelahi atau hanya berargumen, karena selalu Tae yang akan membujuk Tee duluan.
Tae merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Dia baru saja merusak persahabatan mereka dan sekarang menjadi kacau karena dia tidak bisa menutup mulutnya dengan tidak mempertanyakan tentang itu semua. Mereka memang tidak seperti orang lain yang kebanyakan berteman dengan hubungan yang menguntungkan. Persahabatan mereka lebih dari itu. Dia merasa ingin menangis sendirian di bukit sambil melihat lampu-lampu kota aja.
Anggap dia berlebihan dan melankolis. Dia tidak peduli semua itu. Yang bisa membuatnya seperti ini hanyalah sahabatnya saja. Hampir di setiap saat dia akan merasa terpuruk dan sedih kalau sudah bertengkar dengan Tee. Dia merasa susah sekali untuk menopang badannya sendiri dengan kedua kakinya dan susah untuk bernapas. Tae tidak menyangka kalau ini akan terjadi. Apa persahabatan mereka selama tujuh tahun ini akan sia-sia saja? Hanya karena tantangan yang diberi oleh orang asing? Hanya karena perasaannya terhadap Tee yang melebihi dari hubungan persahabatan?