webnovel

The Blue

Iki punya mata biru. Itu unik, dan menggemaskan. Namun itu semua tak lantas membuat semua yang diinginkannya terkabul. Iki malah disuruh jauh dari Bunda ketika dirinya merasa semua mulai terasa nyaman. Apa yang bisa Iki lakukan selama di pesantren saat dirinya merasa jika berada di sana adalah sebuah siksaan? Iki benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghentikan perintah bunda, terlebih ketika menyuruhnya untuk menetap di pesantren sebagai percobaan selama 30 hari. Keputusan Iki di akhir sudah bulat, lantas sebuah cerita dari seorang sahabat yang dipaparkan langsung pada Iki akan mampu mengubah keputusannya, atau tidak sama sekali? ** Terima kasih. SUDAH TAMAT. Disclaimer : Castortwelvy no copy paste.

Castortwelvy · Realistic
Not enough ratings
10 Chs

Keputusan Iki

*Chapter 9*

"Assalamu'alaikum, Bunda."

"Walaikumsallam. Iki gimana kabarnya? Baik-baik aja, kan?" tanya bunda dengan nada tenang, tapi mengalirkan semangat yang bisa Iki rasakan dari tempatnya terduduk. Dedaunan kersen seolah menemani obrolannya dengan bunda.

Iki tidak sedang duduk di saung apung, dia menyendiri di suatu tempat. Tepat di samping perpustakaan. Di mana pepohonan kelapa tumbuh subur, berjejer dari ujung kakinya sampai ke ujung pesawahan.

"Kabar baik, Bund. Iki sehat-sehat aja. Bunda bagimana kabar?"

"Baik. Jadi gimana keputusannya? Ini sudah satu bulan?" tanya bunda.

"Ehm, yaa jemput Iki setelah ashar, Bunda," jawab Iki dengan nada pelan, tenang dan nyaris sedang berusaha menstabilkan suaranya. Bunda yang mendengar hal itu sempat terdiam, kemudian mengiakan. Dia akan datang dengan ayah.

Percakapan terjadi panjang lebar, membicarakan banyak hal. Tak ada siapa pun yang dapat mendengarnya. Iki sengaja mencari lokasi itu agar dia bisa lebih tenang mengutarakan apa yang sedang dirasakannya.

Sehari setelah ujian, beberapa santri mulai bersiap.

Iki meminta izin keluar kamar ketika Cikal mengajaknya ke suatu tempat. Awalnya bocah itu terlihat sedih ketika mendengar penolakan Iki, tapi setelah dijelaskan, akhirnya Cikal mengerti dan membiarkan Iki sendiri dulu.

Cikal pikir, dia masih punya waktu sampai sore nanti. Acara yang sudah dia persiapkan akan berlangsung sore sebelum Iki pulang.

Iki menarik napas panjang setelah menutup sambungan telepon dengan bunda. Menahannya sejenak, membiarkan dadanya membusung, kemudian diembuskan perlahan. Mengikis rasa sesak yang menumpuk di dada.

Dia menatap pada akar kelapa yang menyembul keluar dari tanah, meniliknya sejenak, lantas mendongak mengikuti batang yang terus menjulang ke angkasa.

"Iki?" tanya ustaz Aji ketika dia sampai di belakangnya tanpa diketahui. Nyaris saja Iki melompat karena kaget. Dia menepuk dadanya pelan, kemudian menjawab ustaz Aji dengan ramah. Menaruh ponsel yang dia dapatkan dari ustaza Imas ke belakang saku celananya.

"Iya, Ustaz." Iki menggeser pantatnya ke sebelah kanan, memberi celah untuk ustaz Aji duduk pada batang pohon kelapa yang mati. Menyadari apa yang sedang Iki lakukan, ustaz Aji lantas mulai mengambil langkah, memangkas jarak antara keduanya.

"Iki belum pulang?" tanya ustaz Aji sembari duduk. Lelaki berwajah Arab itu menepuk bagian batang, membersihkannya dari kotoran, lantas mulai duduk sambil ditatap oleh Iki dengan wajah sendu.

"Iki sudah packing tapi belum berangkat. Nunggu bunda." Iki mencoba tersenyum ketika manik birunya bertatapan langsung dengan kedua mata teduh milik ustaz Aji.

"Apa yang sedang Iki pikirkan, hmm? Beberapa hari ini Iki kelihatan enggak ceria." Ustaz Aji tidak menanggapi jawaban Iki, malah memberi pertanyaan baru yang membuat Iki sedikit tersentak. Dia berpikir jika tingkahnya akhir-akhir ini telalu mencolok sehingga ustaz Aji mengetahuinya.

Sebelum menjawab, anak itu menarik napas panjang.

"Iki lagi galau, Ustaz."

"Uh, galau? Kenapa, nih? Tumbenan." Ustaz Aji tertawa renyah. Dia baru kali ini melihat Iki murung. Ketika anak itu bilang jika dirinya tengah galau, hal itu cukup menggelitiknya. Ustaz tidak sanggup menahan tawanya.

"Iki dilema, Ustaz."

"Astagfirullah. Bukan hanya galau, anak ini dilema juga. Sebenarnya, ada apa, sih? Coba cerita sama ustaz." Lelaki itu mengangkat telapak tangannya yang tengah menggengam tasbih ke atas kepala berpeci Iki. Menggosoknya pelan, sambil tersenyum ramah.

"Iki bingung sama pilihan, Ustaz. Hari ini Iki akan pulang. Harusnya Iki senang karena setelah tiga puluh hari nunggu, Iki bisa keluar dari pesantren sesuai dengan perjanjian sama Bunda. Tapi ...." Iki menggigit bibir bawahnya lebih keras.

Ustaz tidak mengatakan apa pun. Dia memberi kesempatan anak didiknya untuk mengeluarkan semua unek-unek yang berputar di kepalanya sejak beberapa hari ini. Sekarang, ustaz Aji paham apa yang membuat Iki murung.

"Iki mulai betah berada di pesantren. Iki berpikir jika kehidupan Iki lebih baik berada di sini." Dia menunduk, memintal ujung koko birunya, kemudian menarik napas panjang.

"Apa yang bikin Iki sulit memilih?"

"Iki cuma ngerasa belum bisa apa-apa kalau harus ninggalin pesantren. Entah karena apa, tapi Iki pikir janji harus ditepati." Iki mengangkat pandangannya ke arah pepohonan kelapa yang bergoyang tertiup angin.

"Janji harus ditunaikan, tapi dalam hal yang baik, positif. Kalau semisal Iki berjanji berbuat dosa, dan Iki mengingkarinya, justru Iki baru aja melakukan kebaikan. Jadi, janji apa yang Iki mau tunaikan?"

"Iki janji buktiin sama bunda kalau pesantren enggak cocok sama Iki. Tapi ...."

"Iki lihat pohon kelapa yang ada di sini sampai ke ujung sana?" tanya ustaz seolah mengalihkan pembicaraan, tapi dia sedang berusaha menyambungkan satu ujung ke ujung lain agar menjadi satu ikatan yang bertemu di tengah-tengah. Iki menarik tatapannya ke arah yang ustaz tunjuk.

"Kenapa, Ustaz?"

"Iki coba pikirkan, apa yang bisa pohon kelapa hasilkan selain buahnya yang bisa dimakan?"

Anak itu terlihat berpikir, menilik ujung akar, batang, daun, sampai celah-celah yang ada di antara buah dan bunga. Iki memiringkan kepalanya ke kanan, menyunggingkan senyum ketika manik birunya menangkap sesuatu yang tak asing di ingatan.

"Ah, Iki pernah bikin ketupat dari daun kelapa sama Cikal," jawab anak itu senang seakan hal itulah jawaban paling menakjubkan yang bisa dibuatnya. Iki menatap ustaz dengan manik berbinar.

"Iya, terus apa lagi?"

Iki terdiam, berpikir, menaruh tangannya di dagu sambil menatapi batang kelapa. Tak lama dia menggeleng karena tidak tahu apa yang harus dia jawab.

"Apa, Ustaz?"

"Iki tahu, kalau pohon kelapa itu pohon yang serbaguna?" tanyanya sambil menepuk pundak Iki pelan. Iki menggeleng.

"Selain ketupat dan kelapa yang bisa diolah,  pohon kelapa juga bisa dimanfaatkan mulai dari akar, batang, bahkan sampai ke ujung daunnya."

Iki menggeleng tak mengerti, kemudian dilanjut oleh ustaz sambil mengajak Iki berdiri, menggiringnya melewati beberapa pohon yang masih bergoyang tertiup angin. Menerpa daun dan kulit pipi mereka dengan lembut.

"Seperti manusia, pohon kelapa membutuhkan proses yang panjang untuk bisa menjadi bermanfaat untuk makhluk lain. Semua enggak terjadi begitu saja. Kelapa butuh menjadi tunas yang kecil dan rapuh. Bahkan rawan untuk dihancurkan. Namun, setelah besar? Dia bisa menjadi pohon yang memiliki banyak kegunaan."

Iki masih menggeleng tidak mengerti.

"Sebelum Iki menjadi manusia yang berguna bagi orang lain, Iki harus melewati masa-masa tunas. Masa yang rapuh, dan rentan untuk dihancurkan. Semua itu akan berjalan cukup lama sampai akhirnya Iki bisa berdiri tegap dengan semua kemampuan yang bisa berguna bagi orang lain." Ustaz mengusap kepala Iki yang manggut-manggut dengan mata biru berbinar. Seolah baru mendengar hal menakjubkan.

Meski begitu, Iki tak lama-lama terkesan karena benang merah dari masalahnya belum menemukan titik terang. Dia kembali menggeleng tak mengerti.

"Hubungannya sama Iki?"

"Iki masih bisa menepati janji Iki. Semua tergantung Iki, keputusan ada di sini," ucap ustaz sembari menunjuk dada sebelah kiri anak itu. Iki meringis geli, kemudian mencoba bertahan sampai akhirnya ustaz menarik lagi tangannya.

"Semua orang punya proses hidup. Pilihan apa pun punya risiko. Iki bisa menentukan apa yang akan dipilih, selama ...." Ustaz menahan ucapannya, membuat Iki menunggu dengan wajah menggemaskan. Dia penasaran. "Selama Iki enggak menyesali keputusan itu. Tentukan. Karena proses harus dilewati."

Iki tertegun. Bibirnya bergetar, membuat matanya remang dan panas. Iki hampir menangis, kemudian memeluk ustaz dengan erat sambil menangis sesenggukan.

**

Cikal tidak terlihat di mana pun, padahal waktunya semakin menyusut. Iki harus segera menemukannya sebelum bunda datang. Dia tak mau pergi meninggalkan pesantren sebelum melakukan perpisahan dengan sahabatnya.

Sambil melangkah gontai, dia menilik ke segala arah, berharap dari lantai dua dirinya bisa menemukan Cikal. Pandangannya lebih luas dari ketinggian. Namun sampai dia tiba di depan pintu, Cikal belum juga ditemukan.

Kamarnya tampak sepi. Pintunya pun dikunci, itu artinya tidak ada orang di dalam. Dia menarik napas panjang, membuka kunci dan mengembuskan napas sambil melangkah masuk.

Padahal ini adalah saat terakhirnya, tapi Cikal tidak ada di sana untuk menemaninya pulang. Apa Cikal marah karena Iki memilih untuk meninggalkan pesantren ketimbang harus menentap?

Saat kakinya menyentuh keramik, saat itulah dia sadar jika kamarnya gelap. Iki meraba udara dalam gulita, berhati-hati, takut kalau kakinya akan menendang ujung meja dan itu akan sangat menyakitkan.

Seolah sudah hafal, dia melangkah menuju saklar dalam remang kegelapan. Iki menyentuh dua tombol dan menyentuhnya bersamaan. Matanya menangkap rentetan cahaya yang masuk ke netranya. Sekejap semua terasa menyakitkan. Silau.

Iki terkesiap ketika melihat sebuah kertas tertempel di samping saklar. Seingatnya, di sana tidak ada label apa pun selama ini. Dengan pelan dia menarik kertas itu dan membacanya.

Kamu nemuin kertas ini, berarti baru aja nyalain lampu. Dasar penakut.

Iki, kamu jalan ke arah ranjangku, dan temukan sesuatu.

Iki membaca kertas itu dengan mata menyipit. Siapa yang menulis? Ah, pasti Cikal, dan apa yang akan dia temukan?  Tak membuang waktu, dia mulai memelesat menuju ranjang milik Cikal. Dia menemukan lagi secarik kertas yang sudah penuh dengan catatan.

Jahat emang. Kamu tega ninggalin aku. Haha. Tapi enggak apa, aku kuat. Oh, yaa abis baca tulisan ini, kamu ke meja belajar dong!

Iki tersenyum membaca surat tersebut. Ah, mulai menarik. Dia mengambil langkah menuju meja belajar. Otaknya mulai penasaran tentang permainan apa yang akan dibuat oleh Cikal untuknya.

Iki sampai di meja belajar dan menemukan sebuah buku catatan milik Cikal. Sampulnya cokelat polos. Dia ingat, itu buku yang digunakan saat ceramah kemarin.

Kalau kamu sampai di buku ini, artinya kamu ikutin aturan. Bagus. Kamu kan anak baik. Sayangnya, di sini enggak ada apa-apa. Aku cuma mau kasih tahu sama kamu, kalau selama perjalanan ke kamar, pasti enggak sadar kalau di lantai akan banyak tanda panah. Cek, deh!

Iki tertawa. Dia sama sekali tidak sadar akan hal itu, dan permainan ini semakin menarik untuknya. Dadanya terasa hangat, berdegub kencang. Buru-buru dia menutup buku cokelat itu dan memelesat ke luar kamar, memeriksa anak panah yang Cikal sebutkan tadi.

Benar saja, dari ujung pintu masuk, ada beberapa anak panah warna hijau tersusun ke sebuah pintu masuk yang sangat Iki kenal. Kamar milik Zamil. Dia segera memelesat ke depan pintu, lantas berdiri di depan sebuah kertas baru.

Ketuk pintu dulu, biar sopan!

Kali ini tulisannya berbeda. Iki tahu betul bagaimana tulisan Cikal, rapi dan terlihat lebih kecil, berbeda dengan yang tertulis di kertas yang baru saja dia pungut. Besar, berantakan.

Iki tersenyum lagi sebelum mengetuk pintu.

"Ih, apa, sih ini. Iki dikerjain sama mereka."

Dia meremas kertas itu dan mengetuk pintu tiga kali. Tak lama, gagang pintu bergerak, terbuka dan seorang anak lelaki membawa sebuah karton warna hijau gelap berdiri sambil tersenyum. Cikal berdiri di depan Iki.

"Hai, Cikal," sapa Iki, kemudian matanya tertuju pada karton utuh di pegangan Cikal. Sempat akan mengucap, tapi dengan cepat Cikal menggeleng dan menaruh satu telunjuk di bibirnya sendiri. Menyuruh Iki untuk diam. Tak mau banyak membantah, anak itu mengangguk, menunggu hal apa yang akan terjadi.

Cikal menarik karton pertama. Tidak ada apa pun di sana, mungkin sebagai pembuka sebelum hal lain berlangsung. Tepat seperti dugaan Iki, setelah karton pertama terlepas, karton kedua dengan tulisan muncul.

Iki

Karton kedua dilepas.

Ada begitu banyak hal yang pengin aku sampaikan. Tapi aku bukan orang yang bisa berbicara manis secara langsung.

Karton selanjutnya dilepas.

Terima kasih karena sudah menjadi sosok yang menyenangkan. Kamu hebat, tapi enggak sehebat aku. Kamu juga menggemaskan, tapi enggak bisa ngalahin aku.

Iki tersenyum ketika membacanya, dia mengangguk, memberi isyarat jika karton selanjutnya siap dibuka. Menyadari kode yang Iki berikan, Cikal melepas karton selanjutnya.

Kami senang kamu sudah menjadi bagian dari pesantren ini. Kami, Tiga Matahari mengucapkan selamat jalan Mohammad Rifki Nur Aziz. Semoga kita bisa bertemu di lain waktu. Kamu tetap ....

Iki mengernyit ketika kalimatnya terputus. Dia menoleh ke arah dua orang yang mulai keluar dari kegelapan, Indra membawa setumpuk nasi kuning, dan Zamil membawa tiga kotak yang sudah dibungkus dengan kertas kado.

Iki terkejut, bibirnya bergetar. Kedua matanya terasa panas.

Cikal menarik karton terakhir.

Kamu tetap sahabat kami dan akan selalu seperti itu selamanya. Iki, santri terbaik yang pernah dimiliki Al-choeriyah. Selamat jalan, Iki. Cinta dari kami.

Iki sukses menangis ketika lidahnya menuntaskan kalimat terakhir. Lututnya terasa lemas dan terjatuh di ambang pintu. Dia menudukkan kepala sambil menangis sesenggukan.

Cikal dan dua temannya segera meraih Iki, merangkul, dan membawanya ke kamar, mendudukkannya di ranjang. Indra menyalakan lampu. Ruangan itu sudah didekor dengan indah. Nama Iki ditulis menyerupai kaligrafi, diselimuti berbagai ukuran kupu-kupu.

Kupu-kupu indah yang baru saja bermetamorfisis dan siap pergi meninggalkan batang tempatnya berjuang.

"Iki ... Iki ... ah, makasih semua. Iki enggak bisa ngomong apa-apa buat semua ini." Dia memeluk Cikal yang ada di sampingnya. Tak lama Zamil dan Indra saling tatap dan ikut berpelukan.

"Kami sayang kamu, Iki."

Acara mengharukan itu berlangsung seiring dengan isak tangis yang tak kunjung reda. Beberapa saat mereka terlarut dalam kesedihan yang bercampur dengan rasa bahagia.

Cikal menyerahkan kado pada Iki, disusul Indra dan Zamil.

"Kami cuma bisa ngasih ini buat kamu."

"Semoga bermanfaat," sambung Zamil. Indra hanya mengangguk menyetujui.

Iki menggeleng, seolah mengatakan jika semua yang sudah mereka kerjakan lebih dari cukup. Dia sangat senang, bahkan tak mampu berhenti menangis saking senangnya. Iki menumpuk kado itu di paha dan mulai membukanya satu per satu.

Kado pertama dari Cikal, isinya sebuah sorban merah. Iki menoleh cepat dengan tatapan menggemaskan, seakan meminta penjelasan tentang kado yang diberikan untuknya. Bukankah Cikal pernah bilang jika sorban itu favoritnya?

Dengan menggeleng dia menjawab, diikuti senyum yang mengembang di bibir.

Kado kedua dan ketiga berisi koko dan peci. Mereka bertiga hanya bisa memberikan benda sederhana itu untuk Iki. Karena dengan itulah Iki bisa selalu dekat dengan Tuhan. Menjadi perlengkapan ibadah yang akan terus membawa Iki menjadi lebih baik.

Bukankah sahabat sejati adalah mereka yang terus menuntut pada kebaikan?

Iki mengangguk senang, kemudian memeluk mereka bertiga sekaligus.

**

Lembayung senja menyelinap di antara kokohnya bangunan yang tersusun rapi pada kawasan yang telah menorehkan banyak kenangan untuk sosok mungil menggemaskan. Menyinari tiap inci wajah yang kini terdiam dengan penampilan luar biasa memesona.

Iki memegang kopernya dengan tangan kanan. Sambil memejam, Iki mencoba meyakinkan semuanya saat ini juga. Jika ada keraguan sedikit saja, maka dia akan menyesal, dan itu bukan yang diinginkan ustaz ketika Iki memutuskan pilihan.

Ambil apa pun, asalkan tak menyesali keputusannya. Iki masih ingat itu. Dia kemudian mengembuskan napas perlahan, mencoba tenang saat kedua manik birunya mendapati dua sosok yang sedang berjalan ke arahnya.

Di bawah mentari yang perlahan menghilang di antara bangunan, Iki berdiri sambil tersenyum. Manik birunya kontras dengan baju koko putih yang baru saja Zamil berikan. Sorban merah terlilit di lehernya penuh aura berwibawa. Melengkapi penampilan memesonanya, Iki menambahkan peci kotak warna senada koko yang bertengger di kepalanya.

"Assalamu'alaikum," ucap dua orang yang baru saja sampai di depannya. Iki tak segera menghambur ke arah mereka, dia mematung lama, seakan membiarkan penampilannya menjadi sorotan utama yang harus mereka komentari.

"Walaikumsallam," jawabnya setelah lama diam, diikuti senyum lepas, tulus dan menggemaskan.

"Bunda, Ayah," lanjut Iki, menatap bergantian. Dua orang itu mengangkat alis bersamaan. Ada yang aneh dengan anak mereka. Biasanya, ketika Iki dalam keadaan rindu, dia akan melompat, dan memeluk ke arah mereka berdua dengan tangis yang tak bisa dibendung.

Namun kali ini jelas berbeda. Iki sama sekali tidak terlihat akan melakukan tanda-tanda itu.

Cikal berdiri di belakang Iki, dan dua temannya gasak-gusuk di belakangnya. Membicarkan sosok bule yang berdiri di hadapan Iki. Mereka benar-benar takjub dengan ketampanan ayah Iki.

Iki tidak tahu harus memulainya dari mana. Dadanya terasa berguncang, tidak sabar dengan apa yang terlintas di otaknya. Namun, tetap saja mulutnya tidak pandai memulai percakapan itu dengan baik.

"Sudah siap pulang?" tanya ayah. Iki malah tersenyum.

Cikal di belakang menggigit bibir bawah, memintal ujung bajunya sambil menunduk. Dia tak siap harus berpisah dengan Iki.

"Kenalin, Bunda, Ayah, ini Cikal. Dia teman sekamar Iki selama di pesantren." Iki membalik badan, menyentuh dua pundak Cikal dan mendorong lelaki itu ke depan, saking terkejutnya, dia sampai tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Cikal tidak menyangka jika Iki akan mengenalkannya pada kedua orangtuanya.

"Dan ini dua sahabat Iki yang enggak kalah baik, Zamil dan Indra." Iki mengulurkan tangan kanannya, menunjuk dua insan yang masih gasak-gusuk canggung kepada ayah dan bunda. Mereka cekikikan sambil mengangguk sopan.

"Sebelum pulang, kita bicara dulu sama ustaz, ya?" kata Bunda. Iki menggeleng. Dia menahan dua orang itu dengan tangan kanan yang menjulur ke depan.

"Ustaz bentar lagi ke sini. Bunda sama Ayah enggak usah repot-repot ke sana."

Tepat saat ucapan Iki berhenti, sosok lelaki dengan pakaian serba putih berjalan ke arah mereka. Iki berdiri di depan aula, bersama orang-orang yang dia sayangi. Saking sayangnya, Iki sampai tidak rela jika dia harus memilih salah satunya.

Makanya, ketika ustaz sampai dan menanyakan keputusan Iki, dia langsung mengangguk mantap. Iki telah memutuskan sesuatu dan itu adalah hal yang takkan pernah dia sesali seumur hidupnya.

Iki menarik koper ke belakang, berjalan dua langkah mendekati ayah dan bunda, tak memedulikan Cikal yang kini makin tertunduk lesu. Dia menggulung lengannya sampai sikut.

"Bunda, Ayah, Iki mau bilang sesuatu." Dia merangkul dua orang itu bersamaan, memaksa ayah dan bunda berjongkok agar bisa Iki rengkuh sekali sapuan tangan kecilnya.

Dia berbisik pelan, penuh perasaan.

"Bunda, Ayah, Iki minta izin dan restu dari kalian. Biarkan Iki jauh dari kalian untuk berjuang di jalan Allah. Biarkan Iki jauh dari kalian untuk mengangkat harkat dan martabat kaliat. Biarkan Iki menjadi anak yang berbakti kepada kalian."

Iki masih berbisik dengan suara bergetar. Tak sanggup melanjutkan semuanya, tapi tetap dia paksakan saat itu juga.

Bunda dan ayah yang mendengar kalimat itu tercengang, mereka melotot. Cikal dan dua temannya tidak tahu apa yang baru saja Iki katakan pada orangtuanya. Mereka mematung dengan wajah penasaran.

Saking terkejut dan bahagianya, bunda sampai tak kuasa menahan tangis, matanya berlinang, menitikan air mata. Tangannya yang lembut menyentuh rambut Iki, menariknya masuk dalam rengkuhan serta isak tangis yang mulai mengambil alih suasana.

Bunda terisak, tak mau melepas pelukannya dari Iki yang kini ikut menangis.

Mengerti apa yang sedang terjadi, ustaz hanya tersenyum bangga pada Iki.

"Masyaalloh. Alhamdulillah. Ya Alloh, Iki." Bunda memeluk Iki, seakan tak ingin melepas putra sematawayangnya saking senang.

Iki menarik napas panjang setelah bunda melepaskan pelukannya. Dia sama sekali tidak menyangka jika keputusannya akan seperti ini akhirnya. Rasanya plong dan lebih tenang dari sebelumnya.

"Ayah, izinkan Iki tinggal di sini lebih lama lagi," ucap Iki dengan nada keras, sengaja mengulang perkataanya. Kali ini membiarkan tiga sahabatnya mendengar secara langsung. Setelah anggukan dari lelaki berhidung mancung itu, tiga temannya melongo tak percaya.

Cikal mematung dengan tangan kaku mengepal. Kupingnya tidak sedang gangguan, kan?

Zamil dan Indra saling tatap. Mereka mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Iki tidak sedang bercanda, kan?

Sambil bergetar, Cikal berjalan ke arah Iki.

"Ki," katanya, suaranya nyaris tersekat, tak mampu mengucapkan itu saking lemas dan tak percaya dengan semuanya.

"Iki mau jadi anak pesantren. Shi ... shi ... shi."

"Hah? Iki becanda?" tanya dua anak di belakangnya.

"Enggak. Iki serius."

Iki mengacungkan kedua tangannya ke langit, kemudian menarik napas sepanjang yang dia bisa, meraup udara untuk melepaskan suara paling kencang yang bisa Iki keluarkan. Dia ingin mengumumkan pada dunia jika dirinya baru saja memutuskan ingin menetap di pondok pesantren.

"IKI MAU JADI SANTRI!" teriaknya, disusul dengan tiga teman yang berhamburan memeluknya dari berbagai arah.

"SHI ... SHI ... SHI."

TAMAT!