webnovel

The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia)

WARNING! 18+ Mature Content (Kekerasan, pelecehan, alur rumit) Di bawah cahaya rembulan, sebuah kota berdiri di dalam bayang-bayang gengster yang kerap kali berbuat onar dan meresahkan masyarakat. Gengster-gengster beranggotakan pria-pria kuat yang mahir bertarung. Tidak disangka mereka adalah anak-anak muda yang gila uang dan kekuasaan. Kota itu adalah arena bertarung bagi mereka. Emma Hilland pindah seorang diri ke sebuah kota bermil-mil jauhnya dari rumah dimana ia dibesarkan sebagai tuan putri. Karena sebuah masalah, ia memutuskan pergi dan melanjutkan studi kuliahnya di kota ini. Kali ini ia akan mencoba untuk menjadi gadis normal. Namun yang namanya api, diletakan dimanapun pasti akan membakar sekelilingnya juga. Ini adalah kisah bagaimana kelompok The Black Swan terbentuk di Kota Handway. Dibalik kaki-kaki indah yang melompat di tengah hamparan bunga, terdapat duri-duri beracun yang mematikan. Namun apakah hati seekor angsa dapat ditakhlukan? **** Mohon berikan support (Power stone, Komen, Review) kalau kalian suka ceritanya ya!! Trimakasih & Selamat membaca!! \^^/ Karya Lydia_Siu di Webnovel : - The Prince Of The East Sea (Tamat) - The Black Swan Behind (Tamat) Banyak quotes, visual, dan info menarik di sosial media author! Yuk difollow! Instagram : @author_lydia_siu FB Page : author Kalong_ungu / Lydia_Siu Twitter : @kalong_ungu

Lydia_Siu · Urban
Not enough ratings
439 Chs

Apakah Ini Teman?

Emma melangkah masuk ke dalam kelas. Sejak pertama kali masuk kampus ini, ia jadi mematenkan tempat duduknya, yaitu di samping Roger. Secara naluriah, Emma jadi ingin melindungi pria terbully itu. Meskipun ia lakukan secara diam-diam, dan tidak banyak juga yang dapat ia perbuat pada pria dengan iris biru cerah tersebut. Tapi setidaknya ia bisa memasang mata jika Roger mulai dijajah oleh bocah-bocah pembully.

Sambil meletakkan tas ransel hitam kulitnya, Emma melirik tempat duduk Roger. Sejak dua hari lalu, pria itu absen, tidak ada kabar. Emma jadi berpikiran yang tidak-tidak. Jangan-jangan dia dipukuli seperti waktu itu?

"Emma..." Sapa seorang pria berambut jabrik sambil menghampiri meja gadis itu.

Emma mendesah malas di dalam hati, namun menoleh sambil mengulas senyum palsu.

"Kau selalu datang pagi-pagi, ya?" Tanya pria bernama Brian itu. Basa basi memuakkan.

Emma mengangguk sekali. Ia mengambil bukunya, berlagak hendak belajar. Berharap hal itu akan mengusir Brian pergi. Namun bukannya pergi, temannya si Lary malah ikut nimbrung.

"Sialan!" Desah Emma dalam hati.

"Selamat pagi Emma." Sapa Lary.

"Pagi." Sahut Emma asal.

"Emma, musim gugur begini, anak-anak suka jalan malam-malam. Kau mau ikut? Kami ada tempat bagus. Aku dengar, kau baru pindah ke kota Handway." Lary duduk di kursi depan Emma dengan gaya cowboy.

"Maaf, aku tidak suka keluar malam-malam." Tolak Emma langsung. Namun masih dengan sikap manis.

"Yah.. Sekali saja, Emma. Tenang saja, ada banyak anak perempuan lain yang ikut. Pasti seru sekali." Brian tau, gadis seperti Emma itu biasanya takut diajak laki-laki pergi kalau dia satu-satunya perempuan di dalam gerombolan.

"Roger!" Kedua mata Emma membulat saat menyadari pria yang selalu jalan menunduk itu tengah melangkah masuk ke dalam kelas.

Roger yang mendengar namanya dipanggil, lantas mendongak ke arah Emma yang terlihat bersemangat dengan kahadiran dirinya. Sayang sekali, Emma dikelilingi oleh dua pira bar-bar yang kerap membully Roger di dalam kelas. Ia tidak menjawab, namun kembali menunduk sambil meneruskan langkah ke tempat duduknya.

Brian dan Lary saling melirik. Mereka sangat tidak senang melihat Roger si pecundang mendapat perhatian gadis secantik dan sekeren Emma. Kalau gadis itu tidak ada, mungkin mereka akan menyeret Roger ke kamar mandi dan memasukkan kepalanya ke lubang kloset.

"Selamat pagi, Roger. Kemarin kau kemana?" Tanya Emma. Sengaja memutar tubuhnya untuk memunggungi Lary dan Brian.

"Di rumah." Jawab Roger dengan suara hampir tidak terdengar.

Tiba-tiba Lary sudah berpindah ke samping Roger dan merangkul pundak pria itu dengan kasar. "Roger! Kau kemana saja? Kami merindukanmu!"

Emma mengerutkan keningnya. Sementara Roger mati-matian menahan tubuhnya yang sudah mau bergetar ketakutan. Entah masalah apa lagi yang akan ia hadapi. Ia beharap gadis secantik Emma tidak usah dekat-dekat dengannya lagi. Karena ia justru akan membawa masalah besar bagi Roger dan membuat hidupnya semakin tersiksa. Namun nampaknya Emma tidak mengerti sama sekali.

"Nanti malam, anak-anak mau main ke jalan Jen Marrie. Kau ikut ya!" Ucap Brian. Roger langsung menatapnya nanar. Demi Dewa Neptun! Dia tidak pernah sekali pun diajak jalan bareng sama teman kampus. Badai apa lagi yang akan datang?!

"Gimana? Mau, kan?" Brian menyecar.

"Loh? Kenapa ditanya lagi? Roger pasti mau dan pasti datang. Tidak mungkin dia menolak ajakan kita. Kita kan orangnya asyik, Roger pasti senang jalan bareng kita." Lary mengencangkan rangkulannya. Memberi isyarat agar Roger menurut. Dan ancaman itu berhasil. Roger yang malang terpaksa memilih mengangguk dari pada lehernya cedera.

"Nah! Begitu dong!" Seru Brian senang. Lalu ia menatap Emma. "Kau bisa ikut, kan Emma? Roger saja ikut. Masa kau tidak?"

Emma menggeram dalam hati. Bajingan-bajingan ini sengaja mengajak Roger agar dirinya mau ikut. Sepertinya mereka sadar kalau Emma menaruh perhatian kepada Roger. Tapi yang membuat Emma makin kesal adalah, mereka berhasil. Emma tau apa yang akan mereka lakukan kepada pria malang itu jika dirinya tidak ada. Jadi mau tidak mau, Emma harus ikut untuk melindunginya.

"Tapi tidak sampai terlalu larut ya.." Sahut Emma.

"YESS!! Tenang saja Emma.. Kita anak baik-baik, kok." Sahut Brian.

***

Malam tiba dengan cepat. Emma keluar dari dalam pagar rumahnya dengan jeans biru, dalaman turttle neck krem rajut cerah, dibalut mantel tipis berwarna moca pucat. Ia menghela panjang, lalu berjalan kaki menuju halte bus yang berada di jalan utama.

Gadis itu meniup kedua tangannya yang direkatkan di depan mulut "Kenapa aku ada disini? kedinginan seperti ini?" gerutunya sendiri. Masih tidak menyangka dirinya bisa sebaik itu untuk berinisiatif menjaga seorang pria terbully.

Bus besar berwarna biru dengan gambar iklan komersial di badannya datang. Emma bangkit berdiri sambil mengusap-usap kedua lengannya karena rasa dingin membuatnya mulai menggigil. Nampaknya musim dingin hampir tiba. Mungkin tidak lama lagi salju akan turun. Emma melangkah di lorong bus dengan beberapa mata menyorot dirinya seakan ia adalah seorang model tersohor yang sedang berjalan di atas panggung cat walk.

Merasa tidak nyaman? Sudah pasti. Rasanya Emma tidak pernah terbiasa mendapat tatapan kelaparan dari buaya-buaya buas itu. Ingin rasanya ia mencungkil mata mereka keluar.. Atau setidaknya memelototi mereka balik. Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang dapat ia lakukan di tempat ini. Di dunia barunya.

Dengan hati kesal, Emma duduk di kursi penumpang. Sengaja ia mengambil bangku dua orang yang salah satunya sudah ditempati oleh seorang nenek yang tengah tertidur. Ia bisa memprediksi apa yang akan ia alami jika terdapat bangku kosong di sampingnya. Bus melaju, melewati empat halte hingga terdengar suara komputer wanita yang mengatakan 'Halte Jen Marrie'. Disanalah Emma harus turun.

Sesuai janji, semua orang akan berkumpul di depan mini market yang berada paling dekat dengan halte Jen Marrie. Dengan menggengam tali tas selempangnya, Emma melangkah menuju mini market tersebut. Yang ternyata.. sepi. Teman-temanya masih belum datang. Kecuali Roger.

Emma tersenyum spontan ketika melihat sosok laki-laki berambut coklat cerah dengan mata birunya yang terhalang sebuah kaca mata berbingkai hitam tebal. Ia mengenakan jeans biru dengan jaket kebesaran berwarna hitam. Gayanya memang culun. Emma akui itu.

"Hei!" Sapa Emma. "Yang lain belum datang?"

Roger terlihat agak terkejut. "Mereka belum datang." jawabnya sambil menundukkan kepala lagi.

"Hemm.." Emma menelisik wajah Roger. "Kau pakai kacamata?"

Roger mendesah 'Sialan' di dalam hati. Ia berharap Emma tidak melihat pipinya yang langsung merona akibat malu. Segera dipalingkannya wajah dengan bercak-bercak coklat di bagian pipinya itu ke arah lain. Tangannya tidak kuasa refleks menyentuh kacamata yang dibahas Emma. "A.. Aku tidak bisa melihat dengan baik di malam hari."

"Ohhh.." Emma mengangguk-angguk. Mendiang mama nya juga seperti itu.

Sunyi menyelingi pembicaraan super singkat mereka. Hingga Emma melirik kedua tangan Roger yang sudah memerah dengan kuku-kuku kebiruan yang agak bergetar.

"Kau sudah lama menunggu, ya?" tebak gadis itu.

Roger mengangguk sekali "Tidak terlalu lama. Aku takut terlambat."

"Terlambat apanya.. Aku saja datang terlalu cepat sepulu menit."

"Hey!" Kedua orang itu langsung menengok ke belakang, dimana seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu kaca mini market.

"Masuklah ke dalam. Dingin sekali di luar. Apalagi kau.." ia menunjuk Roger. "Siapa yang kau tunggu? Apa jari kakimu tidak beku, berdiri satu jam disana?"

Emma langsung menatap Roger dengan wajah tidak percaya. Gila! Satu jam dia menunggu? Apa laki-laki ini seketakutan itu?

"Ka.. Kami tidak apa-apa. Terimakasih atas tawarannya." Tolak Emma dengan sopan.

Emma melirik Roger lagi, menyadari bahwa laki-laki itu nampak malu karena sudah ketuan telah menunggu satu jam. Bahkan laki-laki itu berusaha menenangkan hatinya sendiri, berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa Emma sudah cukup melihat bukti-bukti seberapa pengecut dirinya.

"Hah.. Kau seperti pamanku. Kalau janjian, selalu datang jauh terlalu cepat. Kalian tipe orang yang lebih baik menunggu daripada ditunggu. Kadang dunia memang membutuhkan orang seperti itu sih.." Ucap Emma. Roger langsung menatapnya dengan kedua mata melebar. Gadis itu hanya mengangkat kedua pundaknya dengan tampang acuh.

"Ah! itu mereka." Emma menunjuk ke arah timur.

"Emma!" Brian berlari menghampirinya. Dengan jaket kulit hitam dan celana hitam ketat mengkilap, khas anak band rock. "Maaf menunggu lama."

Lima orang lainnya mengekori Brian. Terdapat tiga pria dan dua wanita. Dua pria lainnya cukup Emma kenal. Mereka adalah Lary dan Donny, anak sejurusannya. Masing-masing merangkul pasangan mereka. Yang.. Salah satunya sangat Emma kenal.

Poppy! Dia salah satu gerombolan mereka?