webnovel

The Twelve Class

Langkah lebarnya mengantar Dilan pada ujung koridor. Rasa ingin sekali menghantamkan satu tinjuan pada wajah Martin. Namun, Dilan ingat prinsipnya untuk tidak terlibat dalam masalah apapun. Bukan tak mampu. Hanya tak ingin. Ia ingin menepati janjinya kepada almarhum sang Ayah. Lulus tanpa tindakkan yang mencoreng nama baiknya.

Dilan kini telah berdiri di hadapan Martin. Kedua pemuda itu saling melayangkan tatapan tidak bersahabat. Dilan merogoh saku kanan jaketnya. Ia mengeluarkan dua gulungan kertas yang telah digulung sedemikian kecil.

"Ini," ucap Dilan seraya menyodorkan kertas itu. "Aku tidak ingin berlama-lama menyimpannya."

Martin terdiam. Tangannya terbuka dan menerima gulungan kertas itu berpindah tangan. "Kenapa tidak Kakakmu yang mengantar ini?" tanya pemuda itu.

"Tanyakan saja padanya."

Martin sempat terdiam mendengar jawaban dingin Dilan, namun kemudian berkata, "Baiklah. Kau boleh pergi."

Dilan tidak lekas beranjak. Kakinya seakan tertahan di tempat. Pandangannya ia alihkan pada Nolan yang masih tersungkur di bawah sana. Mata sipit itu mencari celah di antara kaca matanya untuk bisa melihat Dilan. Si jaket merah menyadarinya. Ia membalas tatapan menyedihkan milik Nolan. Sayangnya, permintaan tolong itu diabaikan. Dilan hanya melirik mantan sahabatnya tanpa melakukan apapun.

"Apa kau ingin menolongnya? Menyelamatkannya dari pembuli sepertiku? Apa yang kau lihat, Dilan?" Martin berkata dengan kaki yang mendekat ke arah Dilan. Ia menyadari keterpakuan itu.

Tidak ingin membuang waktu. Dilan kembali mengangkat pandangannya pada Martin. "Petugas kebersihan akan segera datang. Cepat bereskan urusanmu sebelum ada saksi yang melihat tindakanmu pagi ini." Jawab Dilan. Sebuah peringatan.

Dilan pun akhirnya beranjak dari sana. Ia tidak ingin membiarkan Martin kembali membuka mulutnya, ia pergi lebih dulu sebelum mendengar ucapan pembuli itu. Langkah cepatnya terjalin menyusuri koridor sebelum akhirnya hilang dari pandangan Martin.

***

Dua belas A. Danis baru saja tiba di kelasnya. Kursinya berada di deretan keempat dari samping, nomer ketiga dari depan. Tasnya ia kaitkan pada punggung kursi.

"Look at! The smartest student in the world just arrived! Her name is Danis!" seorang gadis bersweater merah muda mengangkat ponselnya ke atas. Kamera depannya ia arahkan pada wajah cantiknya dan teman di sebelahnya. Gadis itu sedang melakukan siaran langsung di salah satu akun sosial medianya.

Cindy. Gadis terpopuler di sekolah. Akun instagramnya telah mendapat jutaan followers. Gadis berambut pirang itu selalu tampil trendy dan modis. Teman sebangku Danis.

"Danis! Say hi! Say hi to my followers!" ajak Cindy.

Danis melirik ponsel teman sebangkunya. Tanpa pikir panjang, gadis itu menekan tombol merah yang seketika mengakhiri siaran langsung Cindy.

"Danis! What the hell?!" umpat Cindy.

"Kau tahu aku butuh ketengan saat belajar, bukan? Ada ujian minggu ini, jika aku tidak belajar lalu bagaimana kau akan mendapat kunci jawabannya?" pertanyaan Danis membuat Cindy menurunkan amarahnya. Wajahnya yang kesal seketika melemas pasrah.

Danis kembali melanjutkan, "Tapi aku tidak keberatan jika kau tidak ingin menerima kunci jawaban dariku lagi. Aku bisa membuang namamu dari daftar." Danis menutup kalimatnya dengan memasang headset pada telinga.

"Tidak, tidak, tidak! Kunci jawaban itu sangat penting bagiku. Aku mohon Danis … jangan buang aku dari daftarmu …" Cindy memeluk lengan teman sebelahnya sambil merengek manja. Gadis itu memohon pada Danis.

Tidak ingin menanggapi. Danis membiarkan teman sebangkunya melakukan hal itu sampai dirinya sendiri yang akan merasa bosan, sedangkan dia hanya akan fokus pada buku di atas meja. Belajar.

***

"Aku hamil."

Seorang gadis menyodorkan sebuah test pack pada kekasihnya. Dua garis biru itu bukti nyata bahwa siswi kelas dua belas itu sedang mengandung.

"Kau yakin? Apa kau sudah mengeceknya ke dokter?" tanya pemuda di hadapannya.

"Ke dokter? Apa maksudmu ke dokter?" gadis itu melihat heran pada kekasihnya. Membawa masalah seperti ini ke dokter hanya akan memperparah keadaan.

Sepasang kekasih itu sedang berada di atap sekolah. Tidak ada siapapun selain mereka. Tempat dimana barang rusak tersimpan tidak akan mebuat para siswa tertarik untuk pergi ke atas sana. Kecuali mereka yang ingin menyimpan rahasia.

"Aku sudah mengeceknya sebanyak tiga kali dan hasilnya selalu sama." Gadis itu kembali berucap.

Kekasihnya nampak tidak percaya. Kedua tangannya ia angkat agar bisa memegang kepalanya yang tiba-tiba pening. Bulu halus pada ketiaknya terekspos karena baju basket tanpa lengan yang ia pakai.

Jeffery Smith. Jeff adalah panggilannya. Salah satu anggota tim basket SMA Westtown yang telah memenangkan berbagai turnamen. Wajah Kanada sang ayah diwarisi kepadanya dan sang Kakak. Jeffery memiliki saudara kembar perempuan. Pemuda blasteran itu menjadi idola para siswi di sekolah. Shera adalah kekasihnya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kau akan bertanggung jawab, kan?" gadis itu bertanya ragu.

Belum sempat Jeffery membuka mulut, ponselnya tiba-tiba berdering dari tas selempang yang tersangkut di bahunya. Ia lekas merogoh ponselnya. Menempelkannya ke telinga.

"Halo … ya … tidak …, baiklah, aku akan segera ke sana!" tutup Jeff. Pemuda itu kembali menaruh ponselnya ke tempat semula. Pandangannya ia arahkan pada Shera.

Dengan ragu, Jeff mencoba untuk menatap mata kekasihnya. Selama ini ia menghindari tatapan itu. Tangan Shera diraihnya dengan lembut. Digenggamnya erat.

"Aku berjanji akan memperbaiki semuanya. Tapi kita harus memastikannya lebih dulu, setelah itu baru kita bisa memutuskan apa yang sebaiknya kita lakukan." Ucapan Jeff membuat Shera mengangguk setuju.

Pemuda itu menarik Shera dalam dekapannya. Membiarkan gadis itu tenang dalam kehangatan tubuh Jeff. Walau hanya untuk beberapa saat sebelum pemuda itu melepaskan pelukannya.

"Aku harus pergi sekarang. Ada turnamen hari ini," ucap Jeff.

"Hm."

"Kau baik-baik saja, kan?"

Shera terdiam agak lama sebelum mengangguk dengan tersenyum tipis.

"Baiklah, kalau begitu. Sampai bertemu nanti." Jeff melangkahkan kakinya setelah kalimat terakhir.

Pemuda itu pun pergi meninggalkan kekasihnya seorang diri. Shera menghempas nafas beratnya. Respon Jeff seakan memperlihatkan semuanya. Ketidak tulusan. Gadis itu menatap kosong dari ketinggian tempatnya berdiri. Membayangkan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi di bawah sana.

***

Loker nomor 312. Seorang gadis berwajah blasteran baru saja membuka lokernya. Beberapa foto tertempel estetik di balik pintu loker itu. Belinda Smith. Gadis itu lebih dikenal dengan sebutan Belin. Jeffery adalah saudara kembarnya.

Belin sedang sibuk membereskan beberapa buku ketika seorang pemuda datang menghampirinya.

"Hai, beautiful," bisik pemuda itu di telinga Belin, tangannya bergerak memegang pinggang Belin dari belakang.

"Stop, Juan. Kita di sekolah." Jawab Belin tanpa berbalik, fokus pada buku-bukunya di dalam loker.

Pemuda bernama Juan itu memutar bola matanya. Ia menggeser tubuhnya dan menyandarkan punggung pada loker koridor. Juan adalah kekasih Belin, mereka telah berkencan selama satu tahun.

"Aku sangat merindukanmu." Ucap Juan.

"Ayolah, Juan, kita baru saja bertemu kemarin." Belin menjawab sambil menutup pintu lokernya.

Mini ransel berwarna maron itu dirinya pakai di pundak. Tubuhnya berbalik dan berjalan menuju kelas. Juan spontan menyamai langkah kekasihnya.

"Kau ada rencana malam ini?" tanya Juan.

"Aku akan sangat sibuk malam ini."

"Bagaimana dengan besok?"

Belin menghentikan langkahnya. Nafas berat terhembus dengan mata yang terpejam. Tubuhnya bergeser untuk bisa melihat wajah Juan. Tangan kanannya ia taruh di atas bahu sang kekasih.

"Selalu aku yang menentukan kencan kita, bukan?" tanya Belin mencoba ramah.

Juan mengangguk.

"So …, tetaplah seperti itu. Always me." Belin tersenyum.

"Baiklah."

Ucapan Juan membuat Belin mengelus pipi kekasihnya seraya berkata, "Good." Gadis itu tersenyum.

Langkah mereka kembali terjalin di koridor.

"Perhatian!"

Namun, sesuatu yang lain justru membuat mereka kembali berhenti melangkah. Suara mikrofon yang menyala. Terdengang melalui pengeras suara yang terpasang di sudut-sudut koridor.

"Diberitahukan kepada semua siswa-siswi SMA Westtown untuk segera berkumpul di ruang aula. Sekarang!"

Suara lantang milik seorang wanita terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Kalimat perintah yang ditujukan untuk para penghuni SMA Westtown.

"Apa lagi sekarang?" keluh Belin.

Bersambung …