webnovel

The Blood

"Ingin menjelaskan sesuatu?" tanya Kale.

Dilan tak bergeming. Ia mengabaikan pertanyaan Kale. Kakinya melangkah menuju kursi setelah berusa berdiri tegak. Amplop itu ia masukan ke dalam tas.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan." Dilan akhirnya bersuara. Ucapan itu keluar sebelum ia meninggalkan kelas.

Respon Dilan membuat teman sekelasnya tidak habis pikir. Kale hanya bisa menggelengkan kepala melihat keanehan teman sekelasnya. Mereka akhirnya kembali pada aktifitas masing-masing. Pertunjukan sudah berakhir.

***

"Sial."

Dilan baru saja sampai di parkiran ketika mendapati ban sepedahnya dirusak. Tersayat. Bocor. Tanpa berpikir pun ia sudah tahu siapa pelakunya. Martin sialan. Umpat Dilan dalam hati.

Foto itu bukan miliknya. Dilan tidak akan bertindak bodoh melakukan hal yang akan merugikan dirinya sendiri. Tentu jika ia melakukan hal itu nasib Kakaknya pun akan terancam. Itulah alasan mengapa Dilan terkejut setelah melihat foto yang Martin berikan.

Dilan mengeluarkan kunci gemboknya. Berjongkok dan melepaskan rantai itu dari ban sepedah. Nolan datang ketika ia sedang fokus melepas rantai.

"Martin yang melakukannya." Ucap Nolan sambil melepas kunci sepedahnya.

Dilan mendongak pada Nolan yang berdiri di sampingnya. "Dari mana kau tahu bahwa Martin yang melakukan ini?"

"Aku melihatnya saat menyayat ban sepedahmu dengan belati." Jawab Nolan.

Dilan menghela nafas. "Kau benar." Ucapnya seraya bangkit berdiri.

"Dan luka itu?" Nolan menunjuk luka darah di samping bibir Dilan.

"Aku tidak perlu menjawabnya, bukan?"

Nolan mengangguk. "Hanya dia yang bebas memukul tanpa di hukum."

Dilan mengangkat bahunya mengiyakan kalimat itu. Nolan merogoh saku celananya.

"Ini," ia menyodorkan sebuah plester luka. "Kau akan butuh ini." Lanjut Nolan.

Dilan terdiam sejenak melihat Nolan dan plesternya bergantian. Bukan dirinya. Namun justru Nolanlah yang lebih butuh plester itu. Wajahnya memiliki lebih bayak luka dari pada yang Dilan dapat.

"Terima kasih." Dilan menerima plester itu setelah melakukan pertimbangan.

"Aku duluan."

Nolan menaiki sepedahnya dan mulai mengayuh pedal itu. Ia meninggalkan Dilan yang kini terpaku melihatnya menjauh.

Dilan kembali melihat pada plester di telapak tangannya yang terbuka. Ia menggulung jemarinya dan memasukan plester itu ke dalam saku jaket. Sepedahnya tidak bisa dinaiki. Alhasil, ia hanya bisa berjalan sambil menuntun sepedahnya.

***

Danis meletakkan beberapa buku tebal yang dibawanya ke dalam loker. Ia kembali menutup lokernya setelah rapi. Gadis itu pun mulai beranjak pergi meninggalkan koridor. Koridor yang biasanya ramai oleh siswa yang lalu-lalang kini telah kosong. Hanya ada Danis seorang. Suara langkah sepatunya terdengar jelas di sepanjang koridor. Namun … suara aneh yang bukan berasal dari sepatunya mencuri perhatian Danis.

Suara itu berasal dari ruang UKS. Rasa penasran membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan mendekat pada ruang kesehatan. Ia mencoba melihat ke dalam melalui celah pintu yang teramat sedikit terbuka.

Terkejut. Tidak percaya. Danis menutup mulutnya sendiri dengan tangan setelah melihat apa yang sedang terjadi. Tidak salah lihat. Walau ruang pandangnya terbatas, tapi hal itu nampak sangat jelas.

Seorang siswa lelaki dan guru perempuannya sedang melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak pantas untuk dijelaskan. Parahnya lagi, Danis mengenal keduanya. Ia terpaku dan membeku. Tidak pecaya dengan apa yang sedang dilihatnya.

"Danis!"

Panggilan itu membuat tubuh kakunya merespon dengan cepat. Danis langsung berbalik melihat kepada siapa yang memanggil namanya. Cindy.

Cindy berjalan ke arahnya. Tidak boleh, Cindy tidah boleh melihat apa yang baru saja dirinya lihat. Danis langsung melangkah pergi mendatangi Cindy. Tidak sadar bahwa mereka yang berada di dalam sana menyadari keberadaannya.

"Apa yang sedang kau—"

"Kita bicara di luar saja. Ayo, cepat!" Danis memutus kalimat Cindy sambil menarik tangan gadis itu ke arah sebaliknya.

Bingung. Itulah ekspresi wajah Cindy ketika melihat Danis bertingkah seperti itu. Aneh.

***

Pukul 22: 49. Nomor 67. Rumah tua dengan tanaman tidak terawat di halaman. Dilan baru saja sampai di rumah. Sehabis pulang sekolah ia tidak pernah langsung pulang. Pemuda itu akan mampir di sebuah kafe milik seorang kenalan. Bekerja part time sebagai waiter. Baru dua bulan ia memperoleh pekerjaan itu. Lelah bukan karena aktifitasnya, tapi karena interaksinya dengan para pelanggan. Berinteraksi dengan manusia jauh lebih melelahkan.

Dilan menaruh sepedahnya di garasi.

"Kenapa Rehan tidak menyalakan lampu garasinya?" bisik pemuda itu sambil melihat lampu garasi yang tidak menyala.

Ia berjalalan menaiki mini tangga untuk sampai di teras. Langkahnya terhenti setelah melihat pintu rumah yang terbuka. Pandangannya berkeliling melihat sekitar. Ragu. Tidak biasanya pintu terbuka.

Dilan akhirnya masuk dengan perlahan. Ia menyalakann saklar lampu rumahnya. Terkejut. Cap lumpur dari jejak sepatu memenuhi lantainya. Matanya semakin terbuka lebar setelah melihat bercak darah ada di mana-mana. Bahkan cairan merah itu mengotori dinding rumah.

Tegang. Takut. Cemas. Dilan terus berjalan hingga ke dapur.

"Rehan?!" seru pemuda itu setelah melihat Kakanya terduduk di lantai, bersandar pada wastafel.

Dilan lekas berlari menghampirinya.

Rehan terluka. Wajah pucat. Kedua telapak tangannya penuh dengan noda merah. Perut kirinya mengeluarkan darah segar.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau berdarah?" Dilan panik. Ia bersimpuh di samping Kakaknya.

"Aghh … polisi menembakku …" jawab Rehan menahan sakit.

"Apa? Bagaimana bisa?"

"Jangan banyak bertanya … cepat ambil kotak p3k di sana …" pinta Rehan.

"Tidak, kau harus ke rumah sakit. Aku akan menelpon ambulan!" ucap Dilan sambil mengeluarkan ponselnya.

"Jangan … mereka akan menangkapku …" Rehan memegang tangan Dilan.

Ucapan Rehan mengurungkan niatnya. Dilan menutup ponselnya. Mencoba tenang dan fokus menyelamatkan sang Kakak.

"Ayo, kita pindah ke sofa." Dilan membantu Kakaknya berdiri.

Sambil menahan darah yang terus keluar, Rehan berjalan sempoyongan menuju sofa dibantu adiknya. Dilan langsung membaringkan sang Kakak ke atas sofa. Lekas ia mengambil kotak p3k dari dalam laci.

"Pelurunya tidak dalam … hanya menyayat bagian pinggir perutku …" ucap Rehan.

"Aku harus mengeluarkannya."

"Emh …"

Bukan amatir. Dilan tahu caranya. Almarhum Ibunya adalah seorang dokter bedah. Ia sering membaca buku-buku sang Ibu. Tentang bagaimana menjahit luka sayatan atau mengeluarkan sebuah peluru dari tubuh seseorang. Kotak p3k yang mereka punya lebih lengkap dari yang orang lain punya.

Dilan membuka baju Rehan. Membersihakan darahnya terlebih dahulu. Pelahan dan teliti. Dilan mengeluarkan peluru itu dari tubuh sang Kakak. Mengobati lukanya dan kemudian menutupnya dengan perban.

"Kau harus tetap ke rumah sakit nanti." Ucap Dilan.

"Hm. Terima kasih." Rehan menjawab pelan.

Dilan mulai membereskan bekas kekacauannya. Beberapa alat medis itu ia bersihkan dan memasukannya kembali ke dalam kotak p3k.

"Dilan …" Kakaknya bersuara.

Dilan tidak ingin menjawab.

Rehan kembali melanjutkan. "Aku meninggalkan mobilku di perumahan The Valley. Polisi memergoki kami ketika sedang bertransaksi. Aku langsung berlari ke hutan saat mereka mengejarku. Mereka menembakku ketika aku hampir meloloskan diri, tapi aku masih bisa berlari dan akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong. Dan mereka kehilangan jejakku, aku bisa kembali ke rumah ketika mereka sudah pergi. Namun .... aku membutuhkan bantuanmu lagi, Dilan …" jelas sang Kakak.

"Apa?" Dilan merespon.

"Ambil mobilku sebelum polisi yang menemukannya. Dan … ada satu paket lagi yang belum sempat aku antar ..." Rehan ragu untuk meneruskan kalimatnya setelah melihat wajah sang Adik.

Raut wajah Dilan berubah seketika. Tersadar. Rasa cemasnya hilang dan terganti oleh perasaan yang lain. Marah.

Dilan bangkit berdiri. Melihat tangannya sendiri penuh dengan darah membuat ia lekas berjalan menuju wastafel cuci piring. Alasan tepat untuk pergi dari hadapan sang Kakak.

Rehan paham betul atas ketidaksukaan sang adik tentang pekerjaannya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri. Tidak punya pilihan.

"Aku mohon, Dilan. Hanya kau yang bisa membantuku …" Rehan kembali memohon.

Dilan memutar keran dan membiarkan air deras itu menyapu bersih semua darah dari kedua telapak tangannya. Digosok-gosok berulang kali. Secara keras dan kasar. Walau darahnya telah hilang, tapi tangannya tetap menggosok. Semakin cepat.

"Sial!" umpat Dilan dengan kedua tangan yang ikut menggebrak sisi wastafel.

Pemuda itu menangis. Bersuara. Wajahnya ia tutup dengan sebelah tangan.

"Maafkan aku, Dilan …" Rehan berucap lirih.

Bersambung …