BRAK!!!
Suara gebrakan pintu terdengar menggelegar di telinga Alda, membuat perempuan yang tengah hamil tua itu sedikit tersentak dengan aksi yang dilakukan oleh mertuanya. Ia berusaha untuk berdiri karena posisi sebelumnya ia berada di sofa, menghapus air mata yang terus saja mengalir di pipinya. Ya bayangkan saja, siapa yang tidak menangis jika seperti ini kejadiannya? Siapa yang tidak bersedih jika baru saja ditinggalkan oleh orang yang sangat ia sayangi sekali.
Sesak di dada karena sudah tak bisa lagi berjumpa, itu pastinya yang saat ini sedang Alda rasakan. Alda sudah tak tahu lagi bagaimana nanti kehidupannya yang sudah menjanda seperti ini.
"Gara-gara kamu anak saya jadi meninggal! Gara-gara kamu saya jadi sudah tidak punya penerus lagi! Kamu itu sebenarnya yang merencanakan ini semua, kan? Sejak awal saya enggak pernah suka sama kamu! Saya enggak mau restui hubungan kalian, tapi karena anak saya terlihat sangat menyedihkan saat saya memberikan jarak untuk kalian, saya jadi merestui hubungan kalian. Dan kamu tau hal apa yang paling saya sesali di dalam hidup ini? Memberikan restu itu ke kamu! Dugaan saya sedari awal benar kalau kamu hanya seorang pembawa sial saja!"
Huh, sabar Alda. Alda tidak boleh melakukan apa-apa. Alda harus mengerti bagaimana situasinya saat ini. Pasti ibu mertuanya itu tengah trauma yang luar biasa. Kehilangan putra semata wayangnya, siapa yang tidak sedih? Alda tak boleh membawa ini semua dengan emosi. Tak akan ada habisnya jika Alda melakukan hal serupa. Ia hanya tinggal diam saja dan mendengarkan semua keluh kesah yang disampaikan oleh sang mertua.
"Mah! Kamu ini apa-apaan sih malah ke sini? Malah ganggu Alda yang lagi pengen sendirian. Inget, Mah, yang kehilangan Desvin bukan cuman kamu aja! Alda juga pastinya terpuruk dan kehilangan sama kayak kamu! Tapi dia enggak melakukan hal macam-macam. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri, bukan malah menyalahkan sana sini. Bukan gini caranya kalau kamu lagi sedih, Mah. Bukan gini caranya kalau kamu menderita dan merasa kehilangan."
Bramastya yang semula berasal dari dapur langsung menyusul istrinya dengan ceramahan yang ia lontarkan. Pria tersebut tentunya merasa tak enak hati dengan sang menantu yang saat ini tengah berbadan dua itu. Tak enak hati lantaran istrinya sudah berlaku semena-mena. Padahal tentunya Bramastya sendiri tahu jika Alda pun kehilangan dan merasa terpuruk dengan keadaan ini semua.
"Enggak, Mas! Ini semua tuh gara-gara dia! Karena cewek sialan ini, kita harus kehilangan anak kita, Mas! Karena cewek sialan dan bayinya ini, kita jadi harus liat mayat anak kita sendiri. Aku enggak bakalan terima sampai kapan pun, Mas. Enggak bakalan terima. Dia itu buat anak kita sengsara selama di dunia. Terus sekarang dia buat anak kita meninggal. Desvin kesayanganku."
Nampaknya hal ini sudah tidak bisa ditolerir lagi, Najma terlihat gila bukannya bersedih. Terlihat sangat depresi dengan apa yang wanita paruh baya tersebut lakukan saat ini. Alda tentunya tak bisa menerima jika hanya berdiam saja, bukan? Ia harus segera bertindak. Semua orang boleh menghinanya, tetapi tidak boleh menghina anaknya.
"Apa, Mah? Apa yang mamah bilang tadi? Aku bikin anak mamah sengsara? Enggak salah? Aku bikin dia celaka karena aku pembawa sial? Bukannya itu mamah? Bukan aku! Apalagi bayiku ini! Mas Desvin jadi bahagia karena hidup sama aku, Mah! Sebelumnya dia enggak pernah sebahagia itu karena merasa terkekang terus dengan apa yang mamah ajarkan di dalam hidup dia! Aku dari awal udah ingetin Mas Desvin buat enggak pergi ke luar kota, mamah masih ingat dengan jelas pasti kejadiannya kayak gimana. Tapi mamah yang ngotot buat kasih izin suami aku! Di sini siapa yang pembawa sial? Mamah! Bukan aku! Aku enggak melakukan apa-apa yang merugikan siapa pun."
PLAK!!!
"MENANTU DURHAKA KAMU YA! BERANI BANGET KAMU KAYAK GINI KE MERTUA KAMU SENDIRI!" pelik Najma penuh emosi. Sungguh, ia sama sekali tak berekspektasi seperti ini jika menantunya akan membalikkan apa yang ia katakan. Hatinya tentu saja terluka dan tergores mendengarkan itu semua. Tak terima jika sebagai seorang ibu ia dikatakan pembawa sial untuk anaknya sendiri.
Hei, memangnya Alda ini siapa? Alda bukanlah siapa-siapa. Ia baru mengenal Desvin beberapa tahun belakangan, berbeda dengan dirinya yang sudah menjadi seorang ibu sejak dua puluh enam tahun lalu. Ia yang berjuang banyak untuk putranya. Ia yang tahu bagaimana yang terbaik untuk putranya.
"Menantu brengsek memang ya kamu! Pergi kamu dari sini! Jangan pernah datang kembali lagi ke sini! Ini rumah anak saya, anak saya yang berjuang mati-matian buat beli rumah ini. Saya kenal dia sejak dia lahir. Saya yang selalu ada dengan dia, jadi kamu tidak berhak untuk mendapatkan apa pun dari yang dia miliki. Ini semua milik saya nantinya!"
Oke fine. Tak masalah jika memang ibu mertuanya mengharapkan hal seperti itu. Bagi Alda, ia masih bisa bekerja keras. Untuk anaknya? Ia juga masih memiliki tenaga yang berlimpah. Apa pun akan ia lakukan nantinya demi sang anak. Toh sebelum menikah dengan Desvin, Alda memang tak memiliki apa-apa. Tak masalah jika di saat Desvin pergi, Alda pergi tanpa membawa apa-apa juga. Ini semua adalah pemberian dari Desvin yang berharga. Namun nampaknya Najma jauh lebih menginginkan itu semua.
"Oke kalau itu yang mamah mau, Alda enggak keberatan. Ini semua emang punya Mas Desvin, bukan punyaku apalagi punya anakku ini. Mungkin emang mamah yang jauh lebih beruntung bisa mendapatkan ini semua. Aku enggak masalah, Mah. Aku enggak gila harta. Aku aja yang pergi."
Dengan senyuman yang dipaksakan, Alda langsung saja mengenakan sweater yang tergeletak di kasurnya. Wanita tersebut memandang secara seksama. Kasur di mana beberapa hari lalu masih dipenuhi dengan elok dirinya dan sang suami. Kasur yang menjadi saksi bisu pernikahannya selama ini. Kasur yang membuahkan sosok janin di rahimnya ini. Kasur antara dirinya dan juga Desvin.
Tanpa berlama-lama lagi, Alda langsung mengambil ponsel yang tergeletak di nakas, meletakkan ponsel tersebut di saku dengan baik. Ini ponsel pemberian Desvin sebelum menikah. Ponsel yang banyak kenangan. Desvin memberikan ini khusus untuknya. Jadi, Alda berhak membawa ponsel ini, kan?
"Good bye semua kenangan indah bersama Mas Desvin. Kamu tetap yang terindah, Mas. Kamu tetap akan selalu ada di hatiku."
Memang mungkin sedari awal Alda dan Desvin yang terlalu memaksa keadaannya. Mereka sebetulnya tidak cocok namun mereka nekat untuk bersama. Sedari awal memang Najma tak setuju dengan ini semua, dan ujungnya tetap tidak setuju juga, bukan?
Huh … tak apa. Sudahlah. Mungkin memang sudah seperti ini jalannya.
Alda langsung menyodorkan tangannya, menyalami secara lembut satu persatu sosok mertuanya. Mertua yang bisa dibilang cukup baik selama ini. Bisa menggantikan sosok kedua orang tua Alda.
"Alda pamit, Mah, Pah. Kalian baik-baik di sini."
"Jangan pergi, Da."