webnovel

Waktu habis...

"Robot Acio punya ruang kosong di perut dan dadanya, cukup untuk taruh satu kantung darah disana. Lehernya gue bikin agak kecil, tapi bisa gue tutupin dengan baik pakai kulit manusia beneran yang di dalamnya ada daging kucing yang gue bunuh. Gue udah tau kalau si robot bakal dibunuh sama impostor, dan impostor pasti ngincar perut dan lehernya. Dan liat, tetap sasaran."

Penjelasan Acio membuat Galaksi pusing sekaligus syok. Apa katanya tadi? Kulit manusia?!

"Gue psikopat, kalau kalian lupa," kata Acio kembali menodongkan pistolnya. "Agak lucu sih seorang psikopat menyebut dirinya psikopat. Oh, atau perlu gue buktiin sekali lagi? Eh... dua kali?"

"Serem anjir," gumam Galaksi takut.

"Kalian masih inget huruf D dan biru? Itu gue. Huruf D dari nama gue, darah yang ada itu darah gue, dan biru dari arti nama gue. Nalendra, batu safir biru, kalung gue."

"Gue belum paham maksud lo berbeda dari yang lain," ucap Yetfa berusaha menggali info lebih dalam lagi.

"Gue psikopat, gue ini jenius, gue bisa ciptain ruang, game, robot, sistem, dan semua peralatan disini. Gue bisa bayar orang untuk bawa kalian kesini. Dan jangan lupakan ide cemerlang gue untuk balas dendam ke kalian. Satu lagi, gue [bipolar]."

"Kenapa lo mau balas dendam ke kita?"

DORR!!

"MASIH TANYA KENAPA?! TADI LO DENGER KAN?! TELINGA LO BERFUNGSI GAK SIH?!" Bentak Acio emosi.

Yetfa gemetar, meneguk salivanya kasar. Peluru itu baru saja melewati telinganya, sangat terasa karena angin yang diciptakan membuat rambutnya sedikit bergerak.

Galaksi merinding, dia tidak mau asal bicara seperti sebelumnya. Acio tidak main-main, pemuda itu bisa membunuh mereka berdua dalam sekejap.

Nafas Acio memburu, menunjuk-nunjuk mayat Nares dengan pistolnya. "Kalau kalian berpikir Kak Nares ada hubungannya sama ini, gue tekankan sekali lagi, dia. gak. tau. apa. apa."

Galaksi kaget. Kok Acio tahu apa yang dia pikirkan?!

"Tapi lo bohongin kakak lo sendiri, Acio," ucap Yetfa setenang mungkin. "Kak Nares ceritain semuanya ke kita, dia bilang lo punya permintaan ke dia untuk hidup sampai akhir, kan? Apa lo gak merasa bersalah?"

Acio diam.

"Lo pasti liat lewat cctv dan denger semuanya. Kak Nares marah setelah tau lo diumumin... meninggal. Dia bisa aja bunuh Kak Gendra kalau Tama gak tahan dia, bahkan dia berusaha mati-matian untuk gak nangis di depan kita. Dia sayang sama lo, Acio."

Galaksi mengusap matanya, merasa tersentuh dengan perkataan Yetfa. Sementara itu, Acio hanya diam menatap Yetfa.

Ini adiknya siapa sih? Yang nangis siapa, yang diam siapa.

"Lo bikin Kak Nares gagal raih impiannya, lo bikin yang lain kehilangan masa depannya. Gak seharusnya begini..."

Acio mendecih. "Mereka pantas mati, gue muak liat ekspresi gak bersalah mereka. Mereka gak peduli, mereka bohong, mereka bersikap seolah-olah gak terjadi apapun."

"Lo bukan Tuhan yang bisa ngatur kematian seseorang."

Perkataan Yetfa barusan, membuat tamparan keras di hati seorang Nalendra Acacio. Seperti ada panah yang menancap di hatinya, sakit...

"Lo siapa berani nentuin hukuman yang pantas buat mereka. Mereka belum siap mati, Acio. Mereka punya keluarga yang harus di jaga, mereka punya cita-cita dan keinginan. Mereka—"

"DIAM! MULUT LO MAU GUE BOLONGIN SEKARANG HAH?!" Teriak Acio lebih emosi dari sebelumnya.

"Kak Acio... gue minta maaf," ucap Galaksi bersungguh-sungguh, sampai berlutut ke lantai.

"Dia sadar, dia salah. Dia menyesal karena melihat orang sebelah mata, seharusnya dia tidak asal bicara dan memikirkan perasaan orang lain.

Tak apa jika terlambat, yang terpenting dia bisa mengungkapkannya.

"Gak ada gunanya lo begini," lirih Yetfa. "Setelah ini, apa yang bakal lo dapetin? Perasaan puas? Senang? Gak sama sekali, lo bakal dicari polisi."

"Terus? Ada masalah?" Tanya Acio dengan wajah tanpa dosa. "Ini hidup gue, suka-suka gue mau gimana. Lo berisik, mending mati aja."

Galaksi panik, celingak-celinguk mencari celah untuk lari sekaligus memikirkan dimana pintu keluarnya. Tidak mungkin mereka ada di sini jika tidak ada pintu.

"Pintu nomor satu ada di medbay, pintu nomor dua ada di kantin, dan pintu nomor tiga tepat di belakang kalian," jawab Acio seolah-olah bisa membaca pikiran Galaksi.

Keduanya berbalik badan, membulatkan mata begitu melihatnya. Tawaran Nares, mendadak terlintas kembali di kepala, tawaran yang mereka tolak mentah-mentah karena dianggap terlalu gila.

"[Siapa yang mau masuk ke tempat pembuangan mayatnya? Siapa tau itu jalan keluarnya, kan?]"

Penyesalan selalu datang di akhir, seperti yang orang katakan.

"Waktu habis, ucapin selamat tinggal kepada dunia."

Acio menyeringai lebar, melambaikan tangan kirinya penuh kemenangan.

DORR!!

DORR!!

Tinggal epilog nih, ada yang mau disampaikan kepada Nalendra Acacio tercinta? :D

naughtyspaceecreators' thoughts