Tampak seorang warga baru saja terdorong jatuh ke tanah. Para penduduk lain menahan raga pelaku pendorongan demi melerai kedua belah pihak. Tapi ketahuan dari gelagat penduduk yang lain, mereka lebih berpihak kepada orang yang didorong daripada yang mendorong.
Ketiga perempuan berlarian keluar tenda. Alicia melihat wajah marah milik lelaki yang barusan mendorong seorang warga. Wajah tersebut milik Wisesa.
Belum puas Wisesa dengan orang tadi, ia ingin melayangkan pukulan ke mereka yang menarik-narik bajunya. Namun, niat itu diredam oleh bentakkan Kiran, yang membuat semua penduduk menoleh.
"Hentikan! Kalian kenapa, sih? Ini sudah malam, dan kita baru saja diserang oleh penjarah!" Kiran membentak dalam bahasa Yawa.
Salah seorang warga membalasnya dengan lidah Yawa pula, "Kiran, kamu tidak dengar kata ketua bandit tadi? Dia diutus dari Alas Purwo! Dan Wisesa ini adalah putra mahkota kerajaan, bisa jadi dia bersekongkol dengan kelompok bandit tadi untuk mengalihkan perhatian Semar dan menyerang Tumaritis!"
"Belum lagi kemunculan Barong lepas tadi. Itu semua karena karma Kasunanan Alas Purwo, kita semua pun ikut dikutuk dewa-dewa! Inilah ultimatum mereka!" sahut warga yang lain, dibalas seruan segenap penunggu desa.
"Anjing-anjing Tumaritis tolol!" Wisesa membuka suara pula dalam bahasa Yawa. "Aku saja hampir dibunuh oleh keluargaku sendiri! Mengapa aku harus repot menjadi mata-mata yang melayani orang yang menyiksaku? Kau harusnya lebih pintar karena kau itu orang. Hanya karena aku lahir di kerajaan bukan berarti aku bagian dari kerajaan! Aku mendukung pamanku, dasar anjing!"
Tiap kata anjing terlontar dari bibir Wisesa, tingkat kemarahan penduduk yang tersinggung naik satu kali lipat. Kini mereka juga ikut mengepal tangan dan bersiap mengeroyok Wisesa seorang. Permohonan Kiran dan para perempuan lain pun tak dihiriaukan. Segenap warga bersiap membantai lelaki muda itu hidup-hidup!
"𝘚𝘜𝘎𝘌𝘕𝘎 𝘋𝘈𝘓𝘜, RAKYAT TERCINTA! BOLEH GESER SEDIKIT?"
Suara nyaring Lurah Semar menyambangi setiap orang. Warga-warga yang berkerumun melompat kaget ketika sang kepala desa muncul di tengah-tengah mereka! Kepalan-kepalan tangan itu mulai enggan.
"Sanak Keluarga … kamu dengar Adik Kiran, bukan? Mengapa kalian berseteru mengenai prasangka buruk yang kalian buat sendiri?"
"Tapi Wisesa adalah adalah satu-satunya anak asuhmu yang tak turut melindungi desa," balas seorang warga. "Kemana dirinya saat Tumaritis diserang? Pastilah dia bersembunyi sambil menunggu kami semua dibantai!"
"Benar, aku bersembunyi di bokong ibumu!" Wisesa malah menceletuk kasar sehingga amukan massa kembali berapi-api. Untung Semar masih dapat memisahkan mereka. Dia memelintir telinga Wisesa sembari menahan para warga dengan telapak tangannya. Wisesa dibawa menjauh. Dirinya hanya merengut keras namun tak ada satupun tanda-tanda pemberontakan terhadap Semar; berbeda waktu dia berbincang ria dengan para penduduk tadi.
"Kamu tunggu di sini!" perintah Semar.
"Pak Tua, aku ini tak melakukan apapun—"
"Tunggu di sini, atau kena kentut!" nada Ki Semar naik satu oktaf.
Wisesa hanya memasang muka masam.
Ketua desa itu berjalan kembali mendekat warga-warganya. "Menurut kalian, adilkah menyalahkan seorang Alas Purwo atas kemunculan binatang buas itu, sedangkan dia pun tak tahu menahu akan Barong?"
Mendengar pertanyaan Ki Semar, rakyat Langkarta mengatupkan bibir mereka. Adapun salah seorang menyenggol yang lain agar menjawab—atau menyalahkannya karena menyulut perselisihan.
Ki Semar pun melanjutkan, "Sanak Keluarga, Wisesa tidak mengirim bandit Panca Gedheng masuk ke Tumaritis. Ia juga tidak memporak-porandakan kereta logistik sehingga membuat saya terpaksa ke sana. Jika pernyataan saya ini sudah jelas, bisakah kita kembali ke tempat tidur masing-masing dan beristirahat?"
Agaknya seluruh warga masih belum puas akan jawaban Ki Semar. Mungkin saja mereka sengaja mencari-cari kesalahan karena kedengkian buta terhadap satu-satunya insan yang tidak disambut hangat, semata-mata karna dirinya anggota keluarga kasunanan.
"Ki Semar, hanya karena dia anak asuhmu, bukan berarti kamu harus melindunginya sepanjang waktu seperti anak manja! Lihat anak-anakmu lain, berbeda jauh dengannya!" Warga-warga membalas pernyataan Semar. Sorakan persetujuan itu makin riuh.
"Tentu saja tidak, saudara sekalian! Tata perilakunya memang harus diperbaiki." Ki Semar menoleh ke anak asuhnya yang mengenakan blangkon kuning. "Tapi dia anak sama seperti yang lain, selalu bisa diandalkan di saat saya butuh. Ia sama baiknya di mata saya dengan Gareng, Petruk, dan Bagong."
"Kalau begitu, kami masih butuh penjelasan terhadap Wisesa mengapa dia tidak hadir saat Panca Gendheng menyerang desa, jika dia mencintai desa ini?"
"Ih, gede rasa kali, kalian! Siapa bilang aku mencintai liang lahat para fasik seperti di sini?" Wisesa menukas geram.
Tanpa gubrisan yang berarti, Semar mengalihkan tiap delikan mata yang marah ke wajah kakek tua itu. "Wisesa tidak hadir karena … aku mengirimnya sebagai informan terkait pihak musuh ke Pulomas!"
Penduduk setempat saling menatap satu sama lain. "Benarkah demikian, Wisesa?" tanya rakyat Tumaritis.
"Tidak. Aku menjelma menjadi Barong yang memakan keempat bandit tadi, seperti yang kalian katakan." Wisesa mencemooh rakyat Langkarta sembari mencondongkan badan ke depan dan berkacak pinggang. "Sayang, oh sayang, aku tak bisa memakan kalian semua karena Pak Tua Semar mencegahku melakukannya!"
"Sudahlah, jangan dengarkan pemuda ini. Hari ini sudah terlampau berat. Ayo semua beranjak dan pulang!" Ki Semar menghimbau mereka kembali ke sarang masing-masing. Sang kakek pun turut mengusir Wisesa dengan tangannya—yang mana diterima oleh Wisesa dengan senang hati. Baru saja ketenangan ia raih, pekikan perempuan memanggil namanya, membuat telinga pemuda tersebut nyeri kembali. Tidak peduli jika suara Alicia begitu lembut, baginya itu adalah suara gesekan garpu ke atas permukaan piring. Sesaat Wisesa berharap tuli agar jangan ada apapun yang masuk ke telinga membuatnya sakit kepala.
"W-Wisesa, tunggu!" seru Alicia.
Bibir Wisesa berdecak menyambut panggilan sang gadis. "Kau lagi. Mengapa kau kerap memanggilku? Kau menaksirku, kah?"
Tidak mengherankan sebagai anak keturunan ningrat, kemampuan berbicara bahasa umum Wisesa begitu fasih dari yang lain. Tapi apa yang dikatakannya barusan membuat Alicia jengah setengah mati. "A-apa? Apa-apaan balasanmu barusan? Aku baru memanggilmu dua kali!"
"Ya sudah, kenapa?"
Agar pemuda berkulit sawo matang tadi tidak meledak-ledak lagi, Alicia mencoba memilih padanan kalimat yang menyejukkan hati, jelas, dan tanpa rasa menghakimi. Sulit untuk melakukannya jika dilakukan secara spontan. Kilatan mata Wisesa membuat sang gadis gugup.
"Jika kamu paham yang aku katakan selama ini, berarti kamu tahu aku sebenarnya sedang mencari sesuatu," kata Alicia. "Sebuah bola sihir biru. bola itu harusnya tetap bersamaku ketika aku pingsan ataupun saat aku sadar. Bola itu milikku …."
"Nona Rambut Merah. Jumlah waktu yang diberikan dewa kepadaku sama terbatasnya denganmu. Jelaskan intinya saja!"
"Apakah kau mengambil bola itu dariku?"
Semar mengerutkan dahi ketika melihat mereka berdua bicara. Wisesa masih tak bergeming. Kali ini dia sengaja membuat diri tuli. Pasti itu!
Entah apakah ia merasa cara berbicaranya salah atau apapun, Alicia berimbuh, "Bolaku hilang! Tidak ada yang tahu dimana bolaku berada! Aku sudah mencarinya di ladang aku pingsan dan hasilnya nihil. Namun seorang petani berkata bahwa kamu sempat datang dari arah diriku pingsan sambil membawa karung dedak—"
"Oh, aku mengerti. Kau menuduhku sama seperti para warga tadi, bukan?"
Alicia terhenti. Mulutnya yang masih menganga perlahan mengatup. "Maaf jika itu menyinggungmu, aku sudah tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku membutuhkan bola itu. Jika kamu memang melihat apalagi mengambilnya, katakan sesuatu kepadaku!"
Wisesa mengangguk-anggukan kepala. Badannya kini benar-benar berbalik ke arah sang gadis sepenuhnya. Ia mendekati Alicia dengan santai sambil berlagak pilon. Alicia sudah menduga bahwa ia mungkin akan menyangkalnya.
"Iya, nona. Aku yang mencurinya." Jawaban Wisesa sempat membelalakan kedua netra gadis berkacamata. "Sama seperti aku menjadi seekor Barong dan menakuti seluruh desa, atau mungkin ketika aku melancarkan konspirasi untuk mengambil alih desa Tumaritis kembali ke Alas Purwo. Semua bentuk maksiat di muka bumi ini adalah perbuatanku. Umat manusia menderita karena aku ada. Apakah itu jawaban yang Nona cari?"
"T-tidak …."
"Ya. Kupikir begitu." Wisesa bergegas meninggalkan Alicia begitu saja.
"Aku belum selesai! Itu bukan jawaban yang kucari! Aku membutuhkan jawaban yang serius, sekarang!"
Alicia hendak mengejar Wiseas ke arah gerbang, tapi Ki Semar mencegat pundak sang gadis agar mencegahnya maju.
"Nona Alicia, sudahlah. Hari sudah malam," tutur Semar.
"Tapi aku butuh jawaban darinya sekarang!"
"Tidak ada gunanya, Nona Alicia. Dia pasti akan bermain-main denganmu!" Ki Semar meluruskan tangannya, membuat Alicia ikut terdorong ke belakang. "Maafkan saya, nona, tapi dia sudah banyak dituduh dalam satu malam. Biarkan dia sendiri. Kamu bisa melanjutkan pencarian Orb besok."
Jawaban Ki Semar tidak memuaskan rasa penasaran sang gadis. Malahan, menumbuhkan perangai kekecewaan di mukanya. Kedua alisnya pelan-pelan menekuk tajam. Rengut wajah mulai terbentuk. Suara Alicia naik satu oktaf. "Tuan hendak membuatku merasa bersalah karena menuduhnya seperti yang lain?"
"Bukan begitu, Nona …."
"Aku hanya perlu jawaban yang serius! Bagaimana aku hendak mencari Orb kalau seluruh alam semesta pun tak mau membagikan apapun kepadaku?"
Wisesa rupanya sudah menghilang dalam malam tepat ketika dirinya melewati gerbang pintu. Alicia pun merajuk, membalikkan badannya pula sambil mengerang marah. Tirai di tenda klinik menjadi korban amarahnya seraya dia menyerbu ke dalam. Tidak merasa enak, Kiran ingin menyatakan penyesalan kepada Ki Semar, yang langsung ditepis oleh senyuman sang lurah. Kiran bergegas memberi kenyamanan pada Alicia yang malang.
Waktu terus berjalan hingga hampir tengah malam. Semua telah tidur di masing-masing kasur. Ada yang di rumah, ada yang di klinik, ada pula di ubin pendopo Ki Semar. Lain halnya dengan Alicia yang berselimut; ia meringkuk di kursi, mengawasi Cahyaningrum yang terbaring di ranjang klinik. Kiran dan yang lainnya sudah kembali ke tempat bernaung, menunggu mentari memanggil mereka lagi.
Suasana klinik sudah sewajarnya sepi. Hanya derik jangkrik beradu dengan kuak katak yang memecah hening agar dunia tak benar-benar mati. Alicia masih tak dapat memejamkan matanya. Antara dirinya tidak mendapatkan posisi tidur yang nyaman, atau pikiranya masih berkalut akan Orb kesayangannya. Senandung malam tiba-tiba bertambah satu instrumen lagi—bunyi tapak kaki yang berat mendekati kamar klinik. Ketika tirai pembatas bergeser, tampaklah Ki Semar dengan tangan menopang pada pinggang belakangnya.
Melihat Alicia yang meringkuk di kursi, ia menghaturkan napas lega. "Syukurlah Nona Alicia di sini. Istri saya tidak menemukanmu di kamar. Ia mencarimu kemana-mana."
Semar menghampiri sang gadis dan mengambil kursi di sebelahnya. "Mengapa kamu masih di sini larut malam? Cahyaningrum baik-baik saja di sini. Ayo kembali ke rumah."
Mata Alicia menatap orang tua itu sesaat sebelum melihat tembok. "Aku tidak apa-apa tidur di sini, Ki Semar," Alicia bergumam.
"Tidak, tidak mungkin kamu tidak apa-apa di sini," jawab Semar. "Kamu tidak terbiasa beristirahat seperti demikian seumur hidupmu, saya bisa melihatnya. Lagipula tidak baik tidur begitu."
Alicia masih kaku lidah untuk sementara waktu. Ki Semar dengan kesabaran sepanjang garis lintang bumi hanya menatap tenda hijau tua yang diterangi pelita di langit-langit. "Aku … tadi sudah kurang ajar dengan Ki Semar," sang gadis akhirnya kembali bertutur. "Dan Aku sempat mengambil beberapa tanaman langka milikmu untuk dijadikan senjata tanpa ijin. Setelah semua yang Tuan perbuat kepadaku sampai sekarang. mungkin aku tidur di luar saja."
Ingin tawa Ki Semar membludak. Namun jika dia tertawa terbahak-bahak, itu tidak baik untuk kesehatan para pasien. Bukan hanya karena suara nyaringnya menjadi polusi suara, kentut susulannya yang terkenal juga akan menjadi polusi udara. Tentu dia tidak mau mengubah tenda klinik sebagai kamar eksekusi gas.
"Apanya yang lucu?" Alicia bertanya lagi dengan muka agak cemberut.
"Saya tertawa karena ungkapan penyesalanmu," jawab Semar. "Oh, Nona, kalau nyawa saya harus dikorbankan oleh mu agar rakyat desa selamat, saya pun tak segan! Jangan pernah merasa bersalah, Nona, baik karena mencuri tanamanku, ataupun berlaku kasar kepada saya tadi. Maaf jika aku membuatmu kesal. Pastilah kamu semak hati karena perangkat sihirmu belum ketemu juga. Kamu tadi bercakap-cakap dengan Wisesa, kan? Mengapa kamu mencurigainya?"
Alicia pun menceritakan pengalamannya mencari Orb bersama ketiga siswa Kanastren. Dari mencari ke seluruh ladang tanpa hasil, sampai kesaksian dari petani setempat bahwa Wisesa dicurigai mengambil Orb dan meninggalkan sang gadis begitu saja. Ki Semar pun mengangguk mengerti.
"Saya akan berbicara baik-baik dengannya besok pagi. Kupastikan dia akan berkata jujur," ujar Semar. Dia beranjak kembali dari bangku dan membelai rambut Alicia sesaat. "Sudah, ayo kembali ke rumah. Nyamuk di Lojitengara senang menghisap darah orang luar. Cahyaningrum akan baik-baik saja di sini."
"Apa itu artinya aku boleh ikut ke rumah Wisesa?"
"Saya tidak menyebutkan apapun tentang mengajakmu ke sana."
Alicia melayangkan senyuman dan tertawa kecil. Ia pun menyusul Ki Semar.
Kasur rumah memang selamanya nikmat, itu tidak bisa dibantah. Alicia dapat meregangkan tubuhnya setelah tertekan seharian, dengan rasa kantuk sudah membayang-bayangi sang gadis. Namun ia masih menahan diri menatap langit-langit. Kelesahnya itu agaknya belum sepenuhnya pudar. Dia membutuhkan suatu pikiran atau ide untuk menenangkan dirinya sesaat ke alam mimpi. Mata rabun Alicia makin menatap tajam tembok di atasnya. Wajahnya sudah menemukan tekad. Ia sudah punya sesuatu yang akan membantunya tertidur.
***
Seperti biasa, Ki Semar berjalan di kala embun masih membasahi tanah. Matahari masih mengantuk walaupun lusinan ayam jantan sudah meneriakinya berkali-kali—bahkan saat hari masih terlampau gelap. Hal ini pula yang Alicia juga sudah terbangun secara otomatis layaknya mesin otomaton. Suara ayam adalah alarm alaminya saat di kota kecil Trinketshore.
Beruntung Ki Semar belum berjalan jauh, Alicia masih bisa mengaplikasikan buah pikirnya tadi malam—mengendap-ngendap di belakang Pak Tua sampai menemukan rumah Wisesa. Beberapa warga juga sudah memulai aktivitas saat subuh, sehingga memudahkan sang gadis untuk berbaur.
Ki Semar terus berjalan di jalanan besar di luar gerbang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke hutan di sebelah kiri. Alicia sudah memperhatikan dari semak-semak, Semar menyuruk-nyuruk ke arah hutan seberang. Ternyata memang ada semacam jalur setapak tersembunyi oleh ilalang liar yang akan tampak jika dilihat lekat-lekat.
Alicia terus menjaga jarak dan suara langkahnya agar Ki Semar tidak menaruh curiga. Semakin keduanya masuk ke hutan, bunyi-bunyi binatang perlahan ditepis oleh suara derasan air.
𝘈𝘪𝘳 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘶𝘯! pikir Alicia.
Alicia akhirnya dapat melihat sebuah gubuk reyot di tengah pepohonan tinggi. Suara air masih mengudara dekat rumah kecil itu, walau wujud sungai ataupun air terjun tak tampak. Mungkin letaknya ada dibalik pepohonan yang lebih lebat tak jauh dari gubuk tersebut.
Ki Semar sudah memasuki gubuk sementara Alicia menunggu di belakang pohon. Tak lama kemudian, orang tua tersebut keluar dengan gelagat bingung. Sepertinya ia tidak menemukan anak asuh keempatnya di dalam rumah. Ki Semar pun berjalan ke arah pepohonan lebat, berpikir barangkali Wisesa sedang bertelanjang di sungai.
Kini giliran Alicia bergegas masuk ke rumah. Gubuk kayu tersebut memang tak menawarkan banyak hal untuk dijelajahi. Di depan pintu hanyalah ruang kosong dengan kursi—barangkali ruang tamu untuk menjamu siapapun yang berniat datang—dan ruang tidur di sisi kiri. Ruang tidur Wisesa pun sederhana pula: Tempat tidurnya hanya berupa alas beranyam rotan dan bantal. Lalu ada sebuah lemari dan laci.
Alicia memeriksa lemari. Ia hanya melihat kumpulan pakaian ala kadarnya khas rakyat Yawa, tapi ia mendapatkan beberapa potret foto kusam dan beberapa buku dalam tulisan Yawa. Alicia berasumsi bahwa salah satu dari dua anak berwajah bahagia dalam setiap foto adalah si Wisesa sendiri, dan orang-orang tambahan didalamnya adalah keluarga Wisesa—bagian dari Kasunanan Alas Purwo. Wisesa memang tampak bahagia di foto ini, lantas apa yang membuatnya judes seperti sekarang?
Tidak menemukan sesuatu yang penting, Alicia beralih ke lemari dengan tiga pintu. Dia menemukan karung berisi bunga, wewangian, tulang hewan, kendi-kendi kecil dari tanah liat, dan sebagainya—perlengkapan umum untuk seni mistis perdukunan. Penglihatan Alicia terpancang pada sebuah kotak peti besar pada pintu laci paling bawah. Dirinya dapat mendengar sesautu familiar di dalam peti tersebut. Segera Alicia merampas dan membuka kotak itu. Suara sang gadis tersekat. Orb terbaring dalam bantalan merah pada peti. Alicia hampir lupa bernafas.
"Orb!" Alicia bergumam girang.
𝘈𝘭𝘪𝘤𝘪𝘢! 𝘋𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘣𝘢𝘪𝘬-𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘴𝘢𝘫𝘢? terdengar alunan bunyi Orb yang membawa euforia pada gadis berkacamata.
"Aku baik-baik saja—bodoh amat, bagaimana denganmu?"
𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘣𝘰𝘭𝘢, 𝘈𝘭𝘪𝘤𝘪𝘢. 𝘔𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘬 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘢𝘩𝘭𝘪𝘢𝘯𝘬𝘶.
"Bola aneh! Masih sempat saja bercanda!" Alicia mengambil globe Arcane hangat dan memeluknya erat-erat di dada. "Aku sangat mengkhawatirkanmu, meski kamu hanya sebuah bola."
Saking senangnya, sang gadis menjadi lupa dunia. Suara indah bukanlah kicauan burung atau suara feminim sang gadis, melainkan alunan bunyi yang terpancar lewat tarian energi Arcane. Betapa Alicia tidak menyadari bahwa seseorang berdiri tepat di belakang pintu kamar.
Orang itu menegurnya pelan, "Apa yang kau lakukan di kamarku?" []