webnovel

BEATING HEARTS, MIXED FEELINGS

Hari itu memasuki gemerlap malam. Candra datang menawarkan sang Baskara untuk turun dan beristirahat. Gemilang kuning rembulan yang cukup besar menampakkan siluet balok-balok bangunan di atas gunung. Malam itu angin berdesir halus, mendesir ratusan bendera kertas warna-warni yang tersusun di tali-tali sepanjang kompleks gedung. Asap wewangian di tiap jalan turut dibawa oleh tarian angin. Sebuah kompleks biara yang dapat menghasilkan cahayanya sendiri berkat lampu-lampu lentera yang mengawasi setiap jalan, membuatnya tampak seperti sebuah kota kecil di puncak ancala.

Di halaman teras yang berada di tengah biara terkecil di puncak—biara pusat dan yang utama—yang diapit oleh biara yang lain, berkumpulah sejumlah orang berpakaian sederhana. Sebagian besar mereka adalah para rahib, kecuali sepasang lelaki dan perempuan dengan sedikit hiasan zirah, mereka adalah para penyihir tempur. Semuanya sedang menunggu salah seorang biarawan muda berkacamata yang duduk bersila di tengah mereka, tengah menerawang sesuatu. Kedua tangannya menjulur dengan telapaknya dilekuk di depan, sedang mengutak-atik lingkaran-lingkran serta komponen-komponen sihir jingga yang berputar-putar. Tiap kali jemarinya menyentuh satu karakter sihir, karakter tersebut bersinar dan bergerak mengikuti kemauan tuannya. Sang rahib muda ini kelihatan cakap menggerak-gerakan inkripsi sihir tanpa melihat sama sekali—bola matanya terbuka lebar sementara selaput pelanginya tenggelam di balik kelopak.

Sesekali tangannya bergetar. Sesekali dirinya diserang ayan. Tak lama ia terperanjat sendiri, mengagetkan yang lain.

"Bagaimana, Tenshin? Apakah mantra penanda tuan Ito berhasil? Kau bisa menemukan anak itu?" lelaki penyihir perang berpakaian kain cokelat muda tanpa lengan melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Penanda …." Anak bernama Tenshin masih tersekat kesadaran penuhnya. Sungguh, ia seperti orang yang rohnya baru saja kembali ke badannya setelah perjalanan panjang lintas benua. "Oh, ma-ma-mantra penanda tuan Ito? M-mantra tersebut bekerja! A-aku … aku menemukannya! G-g-gad-dis itu."

"Mengapa bicaramu gagap begitu?"

Temannya melihat wajah Tenshin semerah kepiting kukus. Semakin merona wajahnya ketika ditanya demikian.

"G-gadis itu …."

Suasana perlahan lengang. Tenshin tak memberikan pernyataan susulan.

Sang teman mencoba menarik ruhnya yang akan minggat lagi. "Hei, halo! Ada orang di sana?"

Tenshin masih setengah sadar, tapi caranya berbicara sungguh bersemangat. Dalam lamunanya ia kembali menjawab, "Oh Ko, kau tak percaya yang aku lihat. Rambut merah padamnya … Sepasang mata delima yang lembut … Wajah cemas menggemaskan … Perempuan lugu. Demi naga guntur, dia sungguh menawan, secantik perempuan elf!"

"Tenshin, kau tidak mengirim kesadaran astralmu jauh-jauh hanya untuk naksir dengan anak nubuatan itu, bukan?"

"Sepertinya ada yang sedang jatuh hati, nih!" ujar seorang penyihir perang perempuan. Wanita satu ini berkebangsaan Svarga yang berdiri di sebelah sahir berpakaian cokelat tadi yang dipanggil sebagai "Ko". Tenshin, yang sebelumnya termenung mulai mendelikkan matanya. Dirinya baru sadar ia baru saja menyatakan rasa sukanya di hadapan para rahib, dan bagi seorang pemalu sepertinya, itu sama saja menampakkan kemaluannya terang-terangan di khalayak massa! Ia sempat ingin berteriak sebelum tangannya dengan cepat menutup mulutnya. Tiada tempat yang pantas untuk menaruh mukanya sekarang.

"TIDAK, TIDAK, TIDAK! A-Aku tidak bermaksud… aku… ehhh… dia… tidak… AHHHH!"

"Hei semuanya, Tenshin akhirnya jatuh cinta!" seru Ko ke para rahib lain yang sebenarnya berada di dekat mereka.

Penyihir tempur wanita tadi juga menggoda temannya yang pemalu itu, "Katakan bagaimana rupanya!"

"HENTIKAN! HENTIKAN!"

"Dirimu diminta untuk mencari anak itu dan kau malah menguntitnya? Ouh, bocah nakal!"

Tenshin menggeleng sambil menggeram, ia menutup telinganya untuk menghindari uap keluar dari sana. Atmosfir yang tak biasa untuk sebuah biara. Mungkin saja pendekatan spiritual mereka lain dari yang lain.

"Hei, ada apa ribut-ribut?"

Huru-hara singkat tadi memancing seseorang keluar dari biara dengan pintu geser. Orang itu adalah "Yang Diyakini Sebagai Merlin", sang kepala biara kecil itu. Raut wajahnya datar, tapi delikan matanya masih tegas walau hampir terhalang dengan bulu mata yang lebat nan tegas pula.

"Kita menemukannya, Master!" sahut sahir perang lelaki.

"Dan Tenshin jatuh hati pada pandangan pertama, Master!" sahut si sahir perang perempuan.

"ADUH KALIAN—"

"Hmm, jadi Anak Keajaiban itu seorang perempuan." Merlin tertegun sesaat

"M-M-Master Merlin, A-aku tidak bermaksud m-menguntitnya karena–"

"Ohh, jadi kau selama ini memang sengaja mengulur-ngulur supaya kau bisa melihatnya terus menerus? Pantas saja ada yang aneh, tak mungkin perjalanan astral seperti itu memakan wakut setengah jam, apalagi untuk seorang ahli sepertimu!"

"G-GANIKA!"

"Itu kabar yang bagus," jawab sang kepala biara yang langsung menyertakan raut wajah yang cemerlang. "Jikalau kita mendapatkan gadis itu, kau bisa membuatnya nyaman berada di sini."

Wajah Tenshin si pemalu sedang menunjukkan tanda-tanda akan meledak. "Haa… eh… HAAAA! M-Master! Apa yang… MASTER! A-aku tidak mungkin b-b-berbuat hal demikian d-di sini!"

"Tentu saja bukan itu yang kumaksudkan, anak muda!" Merlin mendekatkan mukanya ke sang biarawan. Suaranya kian halus namun nadanya mencekam. "Dia akan dibawa kemari untuk mempersiapkan apa yang akan menjadi takdirnya kelak. Inipun berlaku juga untukmu. Mencegah kehancuran dunia lebih penting daripada percintaan duniawi sementara! Jangan sampai kau mengaburkan prioritasmu, kau mengerti, Tenshin?"

Tenshin menelan ludah. "B-b-bimbinganmu dimengerti, Master Merlin."

Ganika, dan Ko, dua sahir tempur tetap acuh tak acuh dan kerap mengusik Tenshin. Walaupun dididik pula oleh Merlin, mereka tidak di bawah pengawasan sang master sebagai bagian dari biara, sehingga mereka kerap berbuat sesukanya. Sedangkan Tenshin hanya bisa mengeluarkan suara kecanggungan yang kental ketika dirinya gugup atau malu berat. Mungkin kehidupan monastik bukanlah jalan hidup yang tepat untuknya.

Merlin kemudian berjalan di tengah mereka, dan membantu Tenshin untuk berdiri. "Bagaimanapun, kerja bagus, Tenshin. Sekarang, mari kita jemput anak terjanji itu."

Secercah pujian dan tepukan di pundak sedikit menenangkan hatinya, namun tak berlaku untuk rasa malu sang lelaki, yang selalu minder terhadap hampir segala hal.

"Master! S-sesuai perintahmu!"

Tenshin melontarkan tangannya lagi ke depan. Telapaknya saling bersentuhan membentuk segitiga, dan selesa di depannya mulai "retak" ….

***

Skycastle, lambang kemegahan sihir barat yang penuh gemilang kini luluh lantak akibat adu sihir faksi timur dan barat—faksi barat dengan seni mistis 𝘞𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥𝘳𝘺, sedangkan timur dengan prakter sihir 𝘚𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘺 ritus timur. Para wizard mengayun-ayunkan tongkat layaknya pedang, dan 𝘚𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 menghentakkan tubuh para penyihir barat itu dengan lingkaran sihir mereka bagaikan perisai ganda.

Di tengah-tengah perkelahian yang berantakkan, Haddock dan Bartholomew tampak piawai menggoyangkan tongkatnya. Dari menembakkan suar sampai mengguncang-guncangkan musuh ke sana kemari ibarat memainkan boneka tali. Beberapa 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 elit berkumpul di hadapan tiga serangkai—Alicia, Nadine, dan Gilmore—untuk menghadang sejumlah 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 yang hendak menculik sang empunya Sempena Ilahi. Walau hanya segelintir 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳, tenaga mereka tidak bisa dianggap remeh. Mereka begitu berkeras hati menghentakkan serangan sihir dan fisik yang kuat kepada kelompok 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 pelindung itu. Mereka yang jumlahnya kurang dari setengah jumlah 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 Magisterium tidak merasa tersudut sama sekali.

Untunglah para 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 yang keras kepala itu— tiga orang jumlahnya—ditarik oleh Haddock dengan mantra levitasi dari belakang, kemudian dihempaskan ke depan, menghantam 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 dan 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 lain yang sedang sibuk berjotos. Apa yang mereka harapkan? Mereka sedang di tengah baku hantam. Sudah wajar jika kawan meradak kawan terjadi secara tak sengaja!

"Sebagian dari kalian!" tunjuk Haddock kepada segelintir penyihir tadi. "Kawal Alicia dan teman-temanya. Cari jalan keluar lewat belakang. Cepat!"

"Tapi bagaimana kita bisa keluar?" Gilmore menyahut panik. Ia mengadahkan tangannya ke arah suatu sisi yang terdistorsi, yang seharusnya terdapat pintu di situ.

"Biar aku tangani!" Alicia mengeluarkan Orb dari ransel kecilnya. Ingatannya kembali dibawa ke masa lalu, sewaktu ibunya menceritakan dongeng sebelum tidur berupa serba-serbi sihir. Yang ia ketahui, sihir Pengendali Realita berakar dari penggunaan partikel Protos, tenaga Khaos, dengan praktik 𝘚𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘺 ritus barat. Hasil percobaan terlarang itu ialah sebuah mantra yang dapat mengubah suatu benda menjadi apapun yang ia inginkan, bahkan dari ketiadaan sekalipun. Pengendali Realita 𝘚𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘺 ritus timur adalah hal baru baginya. Sihirnya pun berbeda jauh. Ia tidak mengubah substansi suatu benda, melainkan mengutak-ngatik profil benda tersebut. Translasi, refleksi, rotasi, dan dilatasi. Sihir tersebut memanipulasi transformasi geometri dari material yang sudah ada, membagi-bagikannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk yang absud dan abstrak, mengacaukan indera manusia.

Akan tetapi jika apa yang ia pelajari adalah benar, keduanya memiliki kesamaan: Keduanya membutuhkan kuasa sihir Khaos agar dapat aktif.

Merlin mengintip mereka di tengah perkelahian. Ia dan kelompok rahibnya cukup membuat penyihir Magisterium kewalahan.

Merlin berjalan mendekat. Satu per satu 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 berlari menyerang dirinya. Ia dengan tenang dan lincah menghindar, menangkis, sampai menyerang balik dengan kepalan tangannya. Ya, di luar mantra Pengendali Realita tadi, sang kepala biarawan tampak tidak mengeluarkan sihirnya secara terang-terangan. Ia benar-benar menumbuk wajah para 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 dengan tangannya sendiri. Para 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 semakin dibuat terkejut ketika Merlin dengan entengnya menangkis tembakan sihir dengan tangannya pula. Dibayangan mereka, orang ini bukan sembarang orang!

Akan tetapi bagi Merlin, ia sebenarnya sedang bermurah hati. Ia tidak mau menunjukkan sihir ketika Pengendali Realita sudah cukup membuat musuhnya kalang kabut. Jika benar ini Merlin yang sama dengan Merlin ribuan tahun yang lalu, tiap-tiap mantra miliknya hasil belajar berabad-abad akan melangkahi rasionalitas penyihir terkuat masa kini!

Giliran sepasang 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 lain datang menghalanginya. Melihat koleganya babak belur olehnya, mereka tidak ingin terlalu agresif. Mereka punya akal. Kedua 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 tersebut, laki-laki dan perempuan, menggabungkan kekuatan mereka. Dari ujung tongkat mereka keluarlah arus listrik yang menyatu dengan yang lain, berkumpul, dan semakin besar seiring waktu membentuk segumpal bola listrik raksasa. Sensasi kesemutan sangat terasa di sekitarnya, termasuk Merlin, yang menahan langkahnya. Diam terkagum-kagum, ia tetap mematung ketika keduanya memekik.

"𝘍𝘶𝘭𝘮𝘪𝘯𝘦 𝘗𝘪𝘭𝘢!"

Bola listrik raksasa melesat menggerus tanah, atau apapun yang menghalanginya. Merlin cukup tertarik. Tertarik melihat perkembangan sihir 𝘞𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 sekarang ini. Terkesan? Masih jauh untuk itu.

Ketika bola listrik tersebut mengenai tubuh sang master, badannya seketika "pecah" berkeping-keping! Sejumlah kepingan berukuran sedang tersebut adalah beling-beling kaca sungguhan. Trik sihir lainnya dari sang master 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳. Tak mungkin 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 keparat itu mati begitu cepat!

Benar saja, selesa kosong antara Alicia dan para penyihir sontak terpecah-pecah. Di tengah kepingan beling yang berjatuhan, muncul sebuah tangan yang hendak mencengkram tengkuk sang gadis! Tangan itu tak lain tak bukan adalah milik Merlin sendiri!

"Aku mohon, jangan kabur, gadis muda! Kau harus ikut dengan kami." Bagian tubuh atas Merlin timbul dari carawala kosong.

"Lepaskan aku!" Alicia berbalik dan menghalunya dengan Orb. Merlin mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang dengan lekeh. Tak lama, ia dapat mencengkram kuat lengan Alicia! Nadine yang tak terima sontak menahan tangan kiri Merlin. Gilmore hendak melayangkan pukulan ke wajahnya sebelum sang 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 "memecahkan dirinya" lagi!

Ketiganya mencari-cari. Gilmore dapat mendengar suara beling kaca mendadak berjatuhan di belakangnya. Namun betapa Ilahi telah mengutuk Gilmore. Tangan milik kepala rahib ternyata sudah mengitari lehernya, kemudian dengan sekuat tenaga membanting si Besar jauh ke belakang! Gilmore membentur tembok—atau apapun yang ada di belakangnya—dan mengalami gegar otak.

"GILMORE!" teriak keduanya. Nadine mengamuk, tapi dirinya cukup tahu diri. Dia tak boleh kehilangan pandangannya akan Alicia. Merlin yang tengah bersiap merebut si empunya Sempena Ilahi tiba-tiba ditembak oleh Bartholomew. Ia dapat menangkis proyektil sihir tersebut, tapi serangan susulan kemudian datang dari para 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 lain secara bertubi-tubi. Alicia memberikan sentuhan akhir dengan letusan plasma Arcane, menghantam raga Merlin yang fokusnya terpecah belah! Merlin terlempar kembali ke tengah pertarungan.

Sekarang karena ancaman besar telah tersingkirkan untuk sementara, tujuan selanjutnya adalah membatalkan sihir Pengendali Realita yang menjebak mereka semua. Alicia tanpa basa-basi memulai sinkronisasi dan menetralisir sisi yang terkena pengaruh sihir Merlin. Asumsi sang gadis benar, sihir Pengendali Realita versi Merlin memang merupakan buah karya sihir hitam. Daya yang dikeluarkan cukup besar, sehingga untuk membatalkannya butuh tenaga yang besar pula. Proses pemurnian berlangsung cukup lambat. Setiap jangkauan menyakitkan itu adalah hujaman sejumlah pisau pada tubuh Alicia. Tapi itu bukanlah rasa yang baru lagi. Akhirnya setelah sekian waktu, Alicia hanya berhasil mengembalikan satu tatanan sisi tembok seperti semula—tembok yang tepat di depannya. Sisi bangunan yang lain masih bergerak dalam pola yang tidak jelas. Pada dinding yang kembali normal tersebut terdapat sepasang pintu. Ini kesempatan emas untuk kabur!

Para 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 yang ditugaskan Haddock tadi dengan sigap menggotong Gilmore malang yang setengah sadar. Bersama mereka berhasil memasuki ruangan di balik pintu tersebut dan menguncinya rapat-rapat. Bartholomew memanggil monster lemari buku dari lantai atas, turun dari balkon untuk menjaga pintu dengan mantra 𝘈𝘯𝘪𝘮𝘢-𝘥𝘢𝘵𝘰𝘳.

Ketiga pengawal Merlin melindungi tuannya sampai ia mulai siuman. Tak butuh lama baginya untuk siuman, Merlin terbangun sesaat setelah Alicia dan yang lain pergi. Ia pun mendeklarasikan perintah baru kepada para pengawalnya.

"Ko Zarni, Ganika, Tenshin!" katanya, "Kejar mereka. Bawa gadis itu, patahkan semua tulangnya bila perlu. Namun jangan sampai dia mati! Aku akan tetap menahan mereka di sini."

"Segera kami laksanakan, Master!" Mereka bertiga memberi hormat sembari memukul 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 yang akan menyerang mereka.

Mendadak, Haddock muncul di atas mereka. "Kena kalian! 𝘍𝘙𝘈𝘊𝘛𝘐𝘖𝘕𝘌𝘔 𝘛𝘖𝘕𝘐𝘛𝘙𝘜𝘈 𝘊𝘜𝘚𝘛𝘖𝘚!"

Sembari melompat, Haddock melesatkan sambaran petir dashyat ke mereka berempat. Merlin yang lebih cepat membentuk perisai sihir raksasa, melindungi ketiga "pengawalnya". Gelombang daya yang dashyat menggelegar ke seluruh ruangan, ketiga pengawal tadi terseret, walaupun mereka sejatinya tidak terluka.

"Apa lagi yang kalian tunggu? Pergi, sekarang!"

Ko Zarni, Garnika, dan Tenshin langsung menyelinap di tengah pertempuran. Merlin meladeni Haddock untuk melakukan adu sihir dengannya.

"Masih ada banyak 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 di depan kita, belum lagi Moster kayu itu!" seru Ko Zarni, 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 yang mengenakan pakaian kain coklat tak berlengan.

"Lantai atas!" sahut Tenshin, "Lantai atas cukup lengang. Aku bisa membuka portal di sana."

"Kau masih bisa melacak sang gadis dengan mantra milik paman Ito, bukan?"

"Tentu saja ia masih bisa. Masakan Tenshin membuang satu-satunya akses menuju perempuan yang ia taksir?" pengawal ketiga, Ganika si 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 perempuan Svarga menukas mereka.

Tenshin yang salah tingkah sontak terpeleset jatuh setelah mendengar ucapan teman perempuannya.

"G-G-GANIKA! B-BUKAN SAATNYA!" []