webnovel

Dilema

Carlos  keluar dari dalam rumahnya, dengan membawa rangsel berukuran sedang, ada beberapa pakaian di dalamnya.

Hari ini Carlos akan pergi ke London. Dia sudah mendapatkan alamat rumah Alice dari Bella.

"Alice, aku akan memperjuangkan cintaku, Alice," bicaranya dengan senyuman penuh keyakinan.

Dia mulai melangkah, tapi ada seseorang yang memanggilnya.

"Carlos!" teriak seorang wanita setengah tua.

"Nyonya Ella?" Carlos menghentikan langkahnya.

"Carlos, tolong jangan pergi dulu, Carlos!" Wanita itu berusaha untuk menghentikan Carlos.

"Ada apa, Nyonya?"

"Carlos! Caroline! Caroline!" Wanita itu terlihat panik.

"Tenangkan dirimu, Nyonya! Ceritakan kepadaku pelan-pelan,"

Carlos pun mengeluarkan botol air mineral dari rangselnya.

"Minum dulu supaya tenang, Nyonya,"  ucap Carlos.

Si wanita meraih botol itu dan meminumnya, setelah merasa tenang barulah, wanita itu bercerita.

"Caroline tiba-tiba pingsan, dan sekarang dia malah mengigau menyebut-nyebut namamu, Carlos!" jelasnya.

"Apa?!" Carlos tampak syok mendengarnya.

"Ayolah, Carlos! Tolong  temui dia!" Wanita setengah tua itu menarik paksa tangan Carlos.

"Ba-baik, Nyonya!"

Carlos ditarik ke rumahnya, untuk menemui Caroline yang sedang sakit.

Caroline tergeletak di atas ranjang, dengan kain basah di atas kening.

"Carlos, Carlos ... aku mohon jangan tinggalkan aku, Carlos ...."  Dia terus mengigau.

Carlos segera menghampiri.

"Carol, kamu kenapa?" Carlos meraba kening gadis itu.

"Ah, kau demam tinggi?!" Carlos kembali berdiri dan menatap Ella yang sedang menangis panik di sampingnya.

"Nyonya Ella, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit!?"

"Carlos, aku hanya di rumah sendirian bersamanya, mana mungkin aku bisa membawanya ke rumah sakit!" jawab Ella.

"Yasudah ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang!" sergah Carlos.

"Tidak perlu! Saya sudah menelepon pamannya yang seorang dokter, dan sekarang dia sedang dalam perjalanan kemari!" ujar Ella.

"Benarkah?!" Carlos pun kembali duduk dan mencoba menyadarkan Caroline.

"Caroline, kau dengar aku tidak? Ayo bangun, Carol, ini aku Carlos!" bicara Carlos sambil mengelus rambutnya, dan pria itu juga berulang kali mengganti kompresan di kening Caroline.

"Kenapa kau bisa sakit begini, sih? Kenapa pula tidak menelponku?" gumam Carlos.

Caroline masih tidak sadarkan diri, dia Masih memejamkan mata dengan mulut yang meracau.

Tak berselang lama, pria paruh baya datang menghampiri mereka.

Dia adalah Alvin, paman dari Caroline, atau yang akrab dipanggil Dr. Alvin.

"Permisi, bisa menyingkir sebentar, aku akan memeriksa keadaannya!" ujar pria itu, Carlos pun langsung berdiri lalu menyingkir.

Dan dengan segera Alvin memeriksa keadaan Caroline.

Sementara Carlos dan Ella menunggunya di luar.

"Untung saja, Nyonya, sedang berada di apartment, coba kalau tidak? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Caroline selanjutnya," ucap Carlos.

"Kebetulan, sudah dari kemarin saya berada di sini, Caroline bilang kalau sedang tidak enak badan, jadi saya langsung kemari." jelas Ella.

'Sejak kemarin Caroline sudah tidak enak badan? Tapi kenapa dia tak memberitahuku? Dan kenapa dia malah memberitahu ibunya? Padahal rumah ibunya sangat jauh, apa dia marah kepadaku, ya?' bicara Carlos di dalam hati.

Kemudian  Dr. Alvin keluar dari kamar Caroline.

Ella dan Carlos segera berdiri.

"Alvin, bagaimana keadaan putriku?" tanya Ella.

"Dia tidak apa-apa, hanya mengalami deman dan sedikit tekanan darah tinggi, aku rasa anak ini sedang banyak pikiran," ucap Alvin, "biarkan dia istirahat Ella, dan setelah itu coba kau tanya pelan-pelan tentang apa yang membebani pikirannya," ujar Alvin.

Mendengar penjelasan Alvin membuat Carlos merasa bersalah, dia yakin jika Caroline sakit karena memikirkannya.

Memang sejak awal dia menentang keputusan Carlos untuk menemui Alice, meski pada akhirnya dia mengizinkan Carlos untuk menemuinya. Carlos tahu jika keputusan itu diambil Caroline karena terpaksa.

Menyadari hal ini, Carlos mengurungkan niatnya untuk pergi ke London. Rasanya terlalu kejam kalau meninggalkan Caroline disaat sakit begini.

Carlos bergegas masuk ke dalam kamar untuk menemui Caroline.

Gadis itu juga sudah tersadar, tapi masih berbaring di atas ranjang dengan lemah.

"Carol! Apa kau baik-baik saja?" tanya Carlos.

"Kau, tidak jadi pergi?" Caroline bertanya balik.

"Tidak," Carlos duduk di samping ranjang.

"Kenapa kau tidak bilang jika kemarin badanmu tidak enak?" tanya Carlos seraya mengelus kening Carol.

"... kenapa aku harus bilang kepadamu? Aku ini, 'kan bukan  siap-siapamu?" jawab Caroline dengan wajah masam.

Carlos terdiam sesaat, entah harus bagaikan dia menanggapinya?

Dia sudah melukai hati Caroline.

Jelas-jelas gadis ini sangat mencintainya, tetapi dia malah ingin menemui mantan istrinya.

Carlos dibuat dilema, di sisi lain dia ingin bertemu dengan Alice, tapi di sisi lain pula dia tidak bisa meninggalkan Caroline.

***

Di ruang bawah tanah, Sea kembali membawakan sekeranjang buah untuk para mayat-mayat itu.

"Halo semuanya, selamat sore," Sea menyapa mereka.

Dia meletakkan keranjang buah itu di atas meja, lalu menghampiri Archer.

"Selamat sore, Tuan Archer, kau baru bangun ya?" Sea tersenyum ramah.

"Hay, Gadis Gila! Kau membiarkanku di sini dengan luka di sekujur tubuhku!"  bentak Archer.

"Jangan marah-marah, Tuan, saya akan mengobati luka Anda," Sea meraih kotak obat.

"Luka-luka ini memang harus segera diobati, kalau tidak maka akan bertambah parah, dan kemungkinan buruknya akan membusuk dan belatungan," Sea meraih kapas dan membasahinya dengan cairan alkohol.

"AKH!" Archer meringis kesakitan.

"Memang agak perih sedikit," Sea malah mengguyur luka itu dengan satu botol alkohol langsung.

"AKH! KAU SUDAH GILA, YA!" teriak Archer dengan tubuh yang menggeliat.

Sea membanting botol itu dengan raut wajah marah.

"Berani sekali Anda berbicara dengan nada tinggi di hadapanku?! Apa Anda, sudah bosan hidup?!"  ancamnya.

"Oleh karena itu tolong lepaskan aku, Sea! Apa tujuanmu menyekapku di sini?! Memangnya apa salahku?!" tanya Archer.

Plak!

Sea menampar wajah Archer.

"Kau masih bertanya apa salahmu!" hardik Sea.

"Memangnya apa salahku?! Aku tidak berbuat salah kepadamu?! Bahkan aku juga baru mengenalmu!"  Archer menujukkan kemarahannya, tapi sayang dia tak dapat berbuat apa-apa, tangan dan kakinya masih terikat, ditambah lagi seluruh luka-luka yang ada di sekujur tubuh membuatnya semakin sulit bergerak.

Archer tidak tahu harus sampai kapan dia berada di tempat ini, bahkan harapannya untuk bisa keluar juga sangat tipis. Yang ada dalam bayangan pria berusaha 35 tahun ini hanyalah kematian.

"Tuan, apa Anda, ingin segera sembuh?" bisik Sea.

Ucapan itu dengan nada meledek, dan membuat Archer yang sedang kesakitan semakin geram.

'Cih!' Archer meludah di wajah Sea.

"Dasar Iblis! Lepaskan aku!" makinya.

Sea menyeringai sambil menghapus cairan saliva di wajahnya.

"Baiklah, perlawananmu membuatku yakin untuk membunuhmu sekarang," Sea mendekatkan wajahnya, "Tuan Archer!" Gadis itu kembali menyerangai.

To be continued