webnovel

Part 1

Keiyona melirik arlojinya sekilas. Jarum jam baru menunjukkan angka 7 malam dan ia juga baru saja tiba di kediamannya yang merupakan perumahan elite bagi orang-orang yang memiliki sejumlah uang untuk menetap disana.

Sesaat Keiyona memarkirkan mobilnya di garasi mobil, ia dapat melihat seorang wanita paruh baya tampak berlari kecil ke arahnya. Ia mengernyitkan keningnya melihat hal itu pada malam hari ini.

"Astaga, nona kemana saja?!" tanyanya dengan ekspresi panik yang terlihat dengan sangat jelas.

Keiyona semakin tidak bisa menebak apa yang terjadi. Tidak biasanya pelayan di rumahnya itu terlihat panik seperti ini kalau bukan karena suatu hal.

"Ada apa?" tanya Keiyona yang tidak suka berbasa-basi.

Pelayan itu langsung melambaikan tangannya, memberi isyarat agar Keiyona bisa lebih dekat padanya. Keiyona pun menurut dan sebuah kalimat yang terlontar dari bisikan kecil itu membuat Keiyona mulai memahami situasinya saat ini.

"Tuan dan nyonya ada di dalam, nona."

Sebuah kalimat yang membuat Keiyona merasa sangat kesal mendengarnya.

"Mereka tahu kalau nona tidak masuk sekolah selama seminggu ini. Tuan tampak marah besar, nona. Sebaiknya nona tidak perlu masuk ke dalam. Saya bisa membantu nona untuk melewati ini." kata pelayannya yang memang sudah sejak dulu bekerja bersama mereka.

Bahkan sebermasalah apa pun Keiyona, hanya wanita paruh baya itulah yang membantunya keluar dari masalah itu sendiri. Di saat tidak ada yang mempedulikannya, wanita itu selalu datang sebagai penyelamatnya. Contohnya seperti saat ini.

"Tidak perlu, mbok. Aku bisa hadapi sendiri." kata Keiyona yang langsung melangkah dengan langkah berani memasuki area rumahnya yang terasa mencekam.

BUGH!

Sebuah bogeman mentah langsung menghajar pipi kanan Keiyona kala ia berdiri tepat di hadapan sang ayah yang menunjukkan ekspresi kemarahannya. Keiyona tidak menangis. Ia hanya meringis kecil merasakan aliran darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya.

"Anak tidak tahu diri!"

PRANG!

Tidak lupa sebuah vas bunga di atas meja menjadi korbannya. Pecahan kaca yang berserakan di lantai membuat Keiyona benar-benar merasa jijik dengan dua orang tua yang ada di hadapannya saat ini.

"Apa yang otak bodohmu itu pikirkan?! Kau pikir hidupmu hanya untuk menghabiskan uang kami?!" teriak sang ayah yang sedari tadi tidak berhenti mencerca Keiyona yang memang lebih memilih bungkam.

"Dia memang sengaja, pa. Mama sudah berapa kali terganggu dengan telepon dari sekolahnya yang melaporkan tentang kenakalannya. Mama bahkan harus sampai mengganti handphone karena ulah menjijikkannya itu." ujar sang ibu yang semakin membuat Keiyona mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

"Lebih menjijikkan mana sama kalian berdua yang tidak pernah sekali pun ingin mengetahui apa yang aku rasakan selama ini?!" teriak Keiyona yang tidak mampu menahan diri lagi.

"Tidak usah membantah, Keiyona!"

"Aku capek pa! Apa kalian pikir hidupku baik-baik saja? Aku bahkan tidak pernah sekali pun mendapatkan hakku sebagai seorang anak."

"Jangan mengelak, Kei. Kau menerima semua uang itu. Munafik sekali." celetuk ibunya yang membuat Keiyona merasa semakin jijik.

"Aku tidak butuh uang! Apa tidak bisa sekali saja kita bertiga menjadi keluarga yang seutuhnya? Layaknya keluarga yang saling menyayangi?" kata Keiyona dengan wajah yang sudah memerah sempurna, menahan semua emosi yang ia rasakan saat ini.

Selama ini Keiyona memilih untuk diam. Ia berpura-pura kuat seakan ia baik-baik saja. Namun, Keiyona tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia menginginkan kasih sayang kedua orang tuanya, dari pada uang yang selalu ia terima dari mereka. Pulang 3 bulan sekali dan hanya menetap 2 hari di rumah? Apakah itu yang di namakan orang tua? Tidak, bahkan sejak dulu hal itu selalu terjadi. Bahkan terkadang 3 bulan sekali pun mereka bisa tidak pulang sama sekali.

"Tidak perlu bermimpi, Kei. Baiklah, kalau kau tidak membutuhkan uang. Mulai sekarang kami tidak akan mengirimimu lagi, bagaimana?" kata ibunya lagi yang semakin membuat Keiyona frustasi.

"Fuck you!"

PLAK!

Lagi, ia merasakan perih di pipi kanannya melalui tamparan sang ayah. Rasa sakit dan kebas kembali menghantamnya. Hatinya semakin teriris ketika suara tawaan sang ibu meledak begitu saja.

Sial, sebaiknya ia tetap diam saja.

"Jangan pernah sekali pun kau meneriakkan kata itu lagi pada mamamu! Sekarang masuk ke dalam kamar dan pikirkan kesalahanmu." kata ayahnya lagi yang membuat Keiyona tak kuasa menahan air matanya yang sudah berada di sudut matanya.

She's not my mom, shit.

Tes.

Sial, kenapa ia harus menangis di depan kedua orang tuanya saat ini?!

"Kalau pun kalian tidak menganggapku sebagai anak, setidaknya berikan aku uang sebanyak-banyaknya sialan!" teriak Keiyona lagi sembari menangis, lalu ia berlari keluar dari rumah besar milik kedua orang tuanya.

Tidak ada gunanya juga Keiyona tetap berada di dalam rumah yang lebih cocok disebut sebagai penjara baginya. Memang sudah seharusnya Keiyona tidak mempedulikan hal seperti kasih sayang mereka yang tidak pernah sekali pun ia dapatkan. Keiyona sangat bodoh malah mengharapkan hal itu. Mulai sekarang, Keiyona berjanji pada dirinya sendiri ia tidak akan mengharapkan itu lagi. Keiyona tidak akan meminta hal menjijikkan itu lagi, tidak akan pernah.

Seperti yang di katakan oleh ibunya, Keiyona lebih membutuhkan uang dari pada mereka berdua. Sekarang, Keiyona mengakui hal itu juga. Setidaknya dengan uang, ia bisa membeli apa saja yang Keiyona inginkan. Dengan lembaran kertas itu, Keiyona bisa merasa bahagia walaupun hanya sesaat.

"Nona Kei!" pekik pelayan wanita itu lagi yang langsung menghampiri Keiyona.

Keiyona tidak mempedulikan wanita itu. Ia terus berjalan keluar, mengambil mobilnya dan pergi meninggalkan pekarangan rumahnya yang luas.

Pelayan itu pun merasa prihatin terhadap anak majikannya yang sudah ia asuh sejak dulu. Memang sikap kedua orang tuanya yang kasar memberikan dampak pada anak mereka yang juga sama kerasnya. Kenakalan Keiyona di sekolahan juga dampak dari apa yang telah di perbuat oleh kedua orang tuanya. Kalau pun mereka tidak bisa menyempatkan diri untuk menjenguk Keiyona, setidaknya mereka bisa mengabari Keiyona setiap hari untuk menyemangatinya. Namun nyatanya tidak sama sekali. Bahkan di saat Keiyona pernah iseng menghubungi mereka, keduanya tidak mengangkatnya. Menghubungi balik saja pun tidak.

Jadi memang tidak ada lagi yang di harapkan selain uang.

"Kasihan sekali kamu, Kei."

***