Suara motor trail sudah berhenti di depan rumah. "Erga.", ucapku dalam hati. "Ma, aku bernagkat dulu ya.", pamitku sebelum pergi. "Tumben udah langsung ready.", ejek Erga. "Enak aja, emang haru telat terus.", timpalku. Akhirnya, kami pun berangkat menuju ke wilayah gunung yang hanya mengikuti kemauan sahabatku satu ini.
Selama di perjalanan, kami pun bercerita, berdendang dan dalam lamunan dan pikirannya masing-masing. Sampai tiba-tiba terceletuklah mulutku ini bertanya. "Kamu kemarin kenapa, cuek amat sih?", tanyaku. "Oh, maaf kemarin itu aku sebel sama mamaku, kan dia ngga cocok sama omku yang punya acara kemarin, makanya minta tolong aku gantiin. Padahal kami berlima sebenarnya sudah punya acara sendiri. Arka sudah pengen banget nonton film bareng kita, eh dirusak acaranya sama si eyang.", ucapnya menjelaskan. "Oh, begitu.", jawabku. "Sabar sabar aja ya sama emakumu.", ledekku sambil tertawa dan menikmati perjalanan kembali.
Akhirnya, tiba juga di area gunung ini. Sayangnya mendung, kabut pada turun, jadi tidak terlalu afdol menikmatinya. Ya, lumayanlah refresh otak. "Ra, sini deh, ini istriku sama anak-anak pengen nyapa.", ucapnya sambil memperlihatkan istri dan anak-anaknya melalui video call. "Hallo kalian semua kesayanganku.", ucapku sambil melambaikan tangan. "Tante Siera kok pucet, dingin banget ya tante.", sahut Dirga tiba-tiba. "Iya, karena tante ngga kuat dingin, makanya cepet pucet. Hehehe.", jawabku menyudahi percakapan dan biarkan mereka berceloteh ria. Kapan lagi bisa menikmati gunung gini, gumamku. "Maaf, agak lama ya Ra.", ucap Erga tiba-tiba. "Iya, santai aja. Kayak sama siapa aja sih.", ucapku. "Hehehe, ya kali bosen.", celetuknya sambil bercanda. Sudah cukup menikmatinya, saatnya untuk pulang.
Gelap pun mulai datang, kabut terkadang juga menemani perjalanan pulang. Sampai-sampai ada yang aneh sama si Erga. Aku pegang leher dia, seraya langkah dalam Taekwondo melawan musuh. "Ga, kamu ngga apa-apa kan? Tanyaku, jangan ngantuk dong, kalau ngantuk mending berhenti dulu.", ucapku sambil memiting kepalanya. "Eh, iya ini mataku berat banget. Aku cari pos pemberhentian dulu, kamu juga sembari ikut nyari ya.", jawabnya sambil menahan kantuk. "Oke.", jawabku. Akhirnya tiba juga di pos pemberhentian.
"Ngantuk banget, nanti 30 menit lagi aku dibangunin ya.", pesannya kilat dengen mata tertutup dan tertidur di kursi taman pos tersebut. Untung aja dia ngantuk pas di jalan tadi dan semoga ngga denger ocehanku untuknya. Aku pun menunggunya sambil bermain ponsel.
Sampai 30 menit pun berlalu, badanku mulai kedinginan, hujan lembut datang sepoi-sepoi. Erga belum bangun, tak tega rasanya ingin membangunkan. Ku biarkan dia lebih untuk tidur, lalu kuselimuti dengan jas hujan. Sampai akhirnya dia bangun. "Dingin. Brrr.. brrr..", gumamku menggigil. "Kamu kedinginan, Ra? Ini pakai dobel aja lakai bajuku.", ujarnya. "I..i...iiya.", jawabku sambil menarik baju pemberiannya. Akhirnya, kupakai baju pemberiannya lalu melanjutkan perjalanan sambil mengenakan jas hujan.
Sebelum sampai rumah, Erga mengajakku untuk makan malam sekalian. Aku hanya mengangguk karena masih agak kedinginan. Dan seusai makan malam, tiba-tiba Erga berkata : "Aku baru saja tahu apa yang selama ini kamu pendam, Ra.", ujarnya kepadaku. "Pendam apa, Ga?", tanyaku. "Tadi sepanjang perjalanan kamu berkata, kurang lebih seperti ini : 'Erga, andai waktu itu aku sudah tidak ragu, tidak plin-plan, tidak dilema dengan semua keadaan, mungkin aku bisa menerimanu, mungkin aku bisa bersamamu, tapi rasa sayangku untukmu sudah melebihi batas, sampai akhirnya hanya rasa sayang sahabat dan keluarga yang tercipta. Walaupun kamu selalu baik, baik banget kepadaku, tapi ya sudah, takdir berkata lain dan aku bahagia kamu memiliki istri dan anak-anak idaman. Semoga rasaku ini juga sama seperti yang kamu miliki. Janganlah berharap lebih andai saja kau mengetahui rahasiaku ini. Cukup doakan aku untuk menemukan seseorang takdirku seperti dirimu.' Kurang lebihnya seperti itu intinya.", ucapnya seraya menatapku. Aku pun hanya terdiam. Tidak berkutik. Dan entah apa yang harus kukatakan. "Ra, Siera?!", panggilnya seraya menyadarkanku. "I..iii..yyyaaa.", ucapku terbata. "Maaf, banget Ga. Kalau aku punya salah sama kamu, maaf banget. Padahal kamu selama ini baik banget sama aku sama Dena. Tapi, balasanku hanya sebatas ini. Dan aku memang bersyukur kamu memiliki keluarga kecilmu dengan sempurna. Aku hanya bisa berdoa. Semoga kamu juga berdoa untukku sama halnya untuk dirimu. Semoga juga aku bukan menjadi penghalang untukmu dan keluargamu, aku mohon dengan sungguh.", ucapku. "Hahaha.. Iya, iya, tenang, santai aja kali Ra. Sudah, sudah ngga usah dipikirin lagi. Aku cuma ingin tahu saja, tanpa harus bagaimana-bagaimana dan kamu juga sudah aku anggap adik setelah kejadian itu. Dan tentunya, aku bersyukur atas istriku dan anak-anakku.", ucapnya dengan tenang. "Oke. Terima kasih Erga.", jawabku. "You're welcome.", ucapnya sambil menuju ke kasir. Kami pun segera pulang ke rumah masing-masing.