Afwan berjalan cepat dan sangat marah. Dia menarik pundak Sayyida.
"Kenapa saat aku panggil kamu tidak menjawab?! Dan kenapa pakaianmu seperti ini?! Keluarga sudah menunggu mari pergi. Cepat bersiap!" Nada bicara Afwan sangat tinggi dengan tatapan penuh kemarahan.
Apalagi ketika istrinya sama sekali tidak meresponnya. Sayyida hanya fokus ke depan layar televisi.
"Heh ...! Aku bicara sama kamu, apa kamu tidak mendengarkan?!" tanya Afwan sangat kesal. "Jangan diam saja! Ayo pergi keluarga sudah menunggu!"
Afwan meluapkan rasa emosinya dengan suara meninggi. Sayyida diam dan hanya menangis sambil terus makan. Afwan merebut wadah cemilan itu lalu melemparnya.
Tarrr!
Pecah berserakan Sayyida berdiri kemudian menatap suaminya. Afwan bernapas cepat. Sayyida berjalan cepat ke kamarnya tanpa sepatah katapun, kemudian.
Bruakkk!
Dia membanting pintu. Afwan berjalan cepat ke kamarnya. "Baiklah terserah kamu kalau kamu tidak mau berangkat menemui keluargamu. Aku malah senang. Oh ... kamu pasti akan membuat aku malu di hadapan keluargamu, iya kan? Kamu akan mengatakan ke mereka semua jika yang tidak mau pergi adalah aku. Oke ... baik!" Afwan berdiri di depan pintu kamar.
Dia meletakkan kado di depan pintu, kemudian pergi dari depan kamar Sayyida.
"Belum apa-apa saja sudah seperti ini. Marah tanpa alasan yang jelas. Bagaimana aku bisa jatuh cinta jika dalam setiap hari sudah membuat aku mendidih."
Afwan membersihkan pecahan beling yang tadi dibanting olehnya. Setelah membersihkan dia tetap tidak melihat Sayyida dari keluar dari kamar. Kemudian dia mengambil ponselnya dan mengetik.
[Maaf ayah sepertinya aku tidak bisa datang, Sayyida sedang sakit. Ayah. Aku juga merasa tidak enak jika tidak bertemu keluarga. Apalagi mereka dari jauh. Apa kira-kira mereka bisa datang ke rumah. Aku akan menyiapkannya.]
Chat itu di kirim ke mertuanya.
[Baik. Siapkan ya.]
Balasan dari mertuanya. Afwan tersenyum, dia mulai sibuk memasak membersihkan rumah. Memesan beberapa cemilan. Dan, akhirnya selesai ketika azan maghrib.
Setelah salat dia pergi ke kamar Sayyida. "Aku mengundang keluarga untuk datang ke rumah. Aku tidak ingin mereka berburuk sangka kepadaku. Aku bilang kamu sakit. Aku juga sudah menyiapkan segalanya. Jadi kamu sudah tidak akan melakukan apapun kecuali bertemu dengan mereka. Marah saja denganku terus. Tapi jangan marah kepada mereka."
Afwan duduk di ruangan tamu sambil mainan ponsel. Tidak lama keluarganya datang. Keluarga itu menggoda Afwan tidak henti.
"Bagaimana malam-malam kalian? Apa sudah berhasil?"
Pertanyaan aneh seperti itu tidak dijawab. Afwan hanya tersenyum. Dia masih berharap jika istrinya akan keluar menemui keluarganya. Afwan menunduk.
"Bude, lihat Kak Sayyida," ujar gadis yang menuntun Sayyida.
"Aduh sayang seharusnya kamu istirahat saja. Malah rame seperti ini," kata wanita paruh baya segera menggandeng Sayyida. Afwan melirik ke istrinya yang berusaha tersenyum.
Wajah Sayyida memang pucat, pandangannya juga layu. "Sudah istirahat saja sayang ... paling tadi malam terlalu tajam sampai kelelahan," ledek salah satu keluarganya. Sayyida tersenyum singkat.
Mereka duduk bersama Afwan pamit ke belakang. Dia merenung sejenak di bawah langit gelap.
'Dia sama sekali tidak mengatakan apapun. Apa pernikahan ini akan berlanjut? Heh ... sebentar lagi pernikahan adikku. Malah dia seperti ini? Marah lagi, diam lagi. Kenapa sih dia?' batin Afwan.
Dia menutupi perasaannya dengan senyuman.
Hari demi hari berlalu waktu demi waktu berjalan sangat cepat. Hampir setiap saat Sayyidah terdesak dengan bujukan ibu mertuanya. Yang menginginkan perceraian mereka. Benar-benar semuanya menjadi merana menurut Sayyidah.
Dia tidak jujur mengatakan apapun kepada Afwan. Setiap saat dia menangis tanpa henti. Dan membuat Afwan semakin bingung. Afwan semakin tidak mengerti dengan sikap istrinya. Merasa muak. Setiap hari dia harus melihat dan mendengar istrinya terus menangis tanpa henti.
Karena merasa kesal dengan sikap istrinya Afwan sering mendiamkan istrinya.
"Kamu itu benar-benar sulit untuk dimengerti Aku tidak akan pernah bisa mengerti mu jika kamu meminta Aku Seperti almarhum mantan kekasih kamu aku tidak bisa seperti dia. Aku tahu selama ini aku banyak kekurangan ketika aku menjadi suamimu. Tapi harapanku kamu mau mencobanya bukannya seperti ini menangis terus tanpa berkata apapun. Kamu itu benar-benar membuat aku bingung dan stres bagaimana aku harus menghadapi kamu. Aku ingin kamu jujur tapi kamu tetap saja diam seperti ini. Lalu aku harus berbuat apa agar aku bisa mengerti kamu dan kamu tidak lagi menangis. Benar-benar lelah sayida. Aku lelah dengan semuanya. Tangisanmu yang setiap hari terniang di telingaku membuat aku tidak bisa melakukan apapun kecuali bingung dan resah. Sekarang aku harus melakukan apa? Sebenarnya juga apa yang kamu inginkan?" tanya Afwan sangat serius.
Afwan menatap istrinya yang masih tetap diam tanpa kata. Sayyida menahan tangisnya.
"Kamu kembali diam dan tidak mengatakan apapun. Aku benar-benar bingung dengan keadaan seperti ini. Aku harus berbuat apa agar kamu merasa bahagia? Jangan seperti ini dan jangan menyiksaku. Aku memang tidak pantas untukmu, yang kamu selalu membenciku mungkin itu seperti ini. Jadi sekarang apa maumu? Jika dengan cara berpisah itu bisa membuatmu tidak menangis, seperti ini aku akan melakukannya untukmu."
Dengar itu dari Afwan. Syaida merasa sangat Terpukul. Tapi dia juga tidak bisa mengatakan apapun yang sebenarnya terjadi.
"Setiap saat dan setiap hari aku hanya bisa membuatmu menangis, lebih baik memang kita tidak bersama lagi. Karena sebuah pernikahan itu harusnya bisa membuat pasangannya merasa bahagia, tapi aku tidak bisa membuat bahagia. Dan aku tidak bisa menjadi almarhum Kekasihmu. Aku tidak akan pernah bisa menjadi dia. Aku seperti ini dan kamu tidak bisa menerimaku. Setiap harinya kamu membuat aku bingung dan selalu bertanya-tanya sebenarnya, Apa masalah kamu. Mari kita sudahi."
Afwan benar-benar sudah menyerah menyikapi Sayida. Dia merasa putus asa karena istrinya sama sekali tidak terbuka dengannya.
Afwan masuk ke kamar mandi setelah itu tidak lama dia keluar lagi.
"Aku harus mengatakan seperti apa kepadamu. Seharusnya aku bisa membuatmu bahagia tapi ternyata tidak sama sekali. Jadi lebih baik benar-benar kita sudahi saja. Walaupun aku mencintai tapi cinta itu tidak menyakiti. Diantara kita tidak pernah ada kejujuran dan kamu selalu tertutup akan semua masalah membebanimu sendiri. Jika kamu masih ingin mempertahankan pernikahan kita katakanlah apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Afwan dengan memandang tajam kepada Sayida.
"Est ... Aku harus mengatakan apa? Mungkin benar aku tidak bisa hamil."
"Bagaimana kamu bisa hamil, jika aku menyentuhmu saja hanya sekali, orang kamu selalu sedih seperti ini. Aku sudah mengatakan berkali-kali jangan mendengarkan permintaan ibu. Semua rezeki dan amanah itu datangnya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Jika Allah belum memberi kita Titipan kita harus bagaimana lagi? Kita hanya bisa berdoa tapi jika kamu terus menangis dan aku tidak tahu alasanmu menangis aku menyerah. Aku benar-benar bingung dengan keadaan yang seperti ini Sayyidah, tolong mengerti. Aku ini, jika melihatmu menangis seperti ini aku seperti orang yang sangat jahat kepadamu. Apakah selama ini aku jahat padamu? Apakah selama ini aku tahu atau pernah kasar kepadamu? Atau aku harus bagaimana lagi Syaidah?"