webnovel

Kembali Terlupakan

Misinya untuk menghubungi Rani pada malam itu harus Ridho lupakan sejenak, dia kondisikan dulu Monika yang tengah terbakar api cemburu lantaran hasutan si hidung belang saat di ruang lobi malam itu.

"Kamu jangan khianati aku, meski aku sadar jika ada perempuan yang lebih dulu hadir dalam hidupmu!" seru Monika.

Diiringi hasrat yang makin malam makin memanas, gerakan tubuh yang sama-sama semakin liar tetap saja mulut mereka saling bersahutan bicara dengan sekali-kali saling bertukar saliva.

"Iya sayang, sungguh demi apapun aku tidak kenal perempuan tadi!"

Malam itu Monika sangat terhipnotis dengan mudah melupakan bisikan si pria tua yang buncit itu.

"Gunting sayang!" seru Monika.

Sebuah kode gerakan tubuh yang menyerupai gerakan menggunting sesuatu.

"Sayang, kamu cerdas serta variatif," puji Ridho.

Seminggu sudah Monika dan Ridho menikmati honeymoonnya di Lombok, seminggu pula Ridho selalu gagal untuk menghubungi Rani.

Jangankan bahagia secara bathin , secara fisik dan materi pun kondisi Rani dan Monika itu jauh berbeda. Selama beberapa hari Rani harus berjuang sendiri melawan penyakit lambungnya yang terlampau akut.

Jangankan biaya ke dokter, untuk ongkos naik becak menuju puskesmas pun dia harus ngutang dulu ke warung tetangga.

"Ke mana lagi aku harus minta bantuan, Bang Ridho tak kunjung mengabariku, Bang Fadhil pun seperti tidak peduli bahkan dendam karena niat perjodohannya tidak aku terima. Ya Allah hamba hanya memilikimu," keluh Rani.

Rintihan Rani selama kurang lebih tiga hari dirawat di puskesmas tanpa kerabat ataupun sahabat yang membantu apalagi yang menemani, semuanya seolah menjauh.

Namun beruntung sehari sekali, Maya sang kakak ipar selalu mampu mencuri waktunya di sela-sela kesibukannya menjadi istri Fadhil untuk mampir meski hanya sekedar mengantar makanan alakadarnya.

"Ran, Kakak tidak bisa lama-lama soalnya takut Abang kamu mengetahuinya nanti bisa-bisa Kakak dihukum tidak diberi uang bulanan. Ini ada sedikit makanan, makan ya!"

Maya paham kondisi Rani yang tak hanya butuh sokongan materi tapi juga motivasi.

"Ingat apapun yang terjadi, kamu tetap harus menjalani hidup ini dengan harapan bahwa besok Allah pasti akan memberi kita kabar yang baik!"

Meski singkat namun Maya sempat juga memberikan pesan supaya Rani tidak merasa sendiri, lalu setelah itu Maya pun segera pergi dengan menyelipkan uang 50 ribu ke telapak tangannya Rani.

"Ini uang memang tidak seberapa tapi peganglah karena besok lusa kamu pasti butuh, semoga kamu cepat sembuh! Kakak pergi dulu takut keduluan pulang sama Kakak kamu!" ujar Maya kemudian.

Hanya kedipan mata yang lemah sebagai bentuk tanggapan pada kakak iparnya yang begitu tulus memperhatikan Rani.

"Terimakasih kak," lirih Rani.

Air mata yang membasahi pipi Rani pun tak keburu Maya usap sebab dia harus mengejar waktu takut suaminya yang pulang terlebih dahulu ke rumahnya.

Selepas kakaknya pergi, Rani buka perlahan sesuatu yang dikepalkan Maya pada telapak tangannya.

"Alhamdulilah lima puluh ribu, cukuplah untuk aku makan besok," ungkap Rani.

Ketika Rani hendak turun dari ranjang, seseorang masuk dan menyapanya.

"Ran, tadi aku ke rumah kamu tapi kata tetangga kamu dirawat di sini!" ujar Farhan.

Farhan adalah tetangga Rani satu kampung tapi beda desa, dia bekerja sama-sama di Jakarta dengan Ridho namun beda perusahaan.

"Iya Bang, kemarin perutku sakit sekali. Kata dokter aku harus diinfus, karena fisikkku sangat lemah sekali," jelas Rani.

Farhan pun duduk di kursi yang ada di depan ranjang tempat Rani dirawat. Lalu dia kembali bicara dengan agak gugup.

"A-aku minta maaf Ran," ujar Farhan terbata-bata.

"Minta maaf, memangnya Bang Farhan salah apa ke aku? Apa Abang diberi pesan oleh Bang Ridho? Bagaimana kabar dia? Teleponnya tidak aktit, aku bingung harus mengabari dia tentang kondisiku sekarang ke mana,"

Rani balik mengeluh, Farhan pun semakin tidak tega mengungkapkan apa yang ingin dia katakan padanya.

"Se-sebetulnya Ridho menitipkan sejumlah uang padaku untuk kamu. Tapi ...,"

Farhan menghentikan bicaranya, Rani menoleh dengan tatapan yang sendu.

"Tapi kenapa Bang?" Rani balik bertanya penuh selidik.

Farhan tertunduk diam kebingungan, terlanjur bicara namun tetap bingung antara harus jujur atau menutupi.

"Tapi uangnya aku pakai untuk bayar tagihan hutang Ibu aku pada lintah darat, sekarang pun aku bingung mau berangkat lagi nggak ada ongkos,"

Spontan Farhan pun lancar mengungkapkan hal yang sebenarnya pada Rani, lantaran dia enggan memiliki beban yang terlampau berat.

"Tapi aku janji mau menggantinya, meski saat ini aku bingung harus mencari ke mana ongkos untuk ke Jakarta lagi,"

Alih-alih Rani akan membencinya dengan memarahi Farhan, namun Rani malah balik tenang lalu tersenyum meski sebenarnya batin dia ingin bicara banyak.

"Nggak apa-apa Bang, rejeki itu tak akan ke mana kok. Yang penting do'akan aku cepat sembuh, dan do'akan pula supaya Bang Ridho lulus masa trainingnya," sahut Rani.

Dari kata-kata terakhir yang diungkapkan Rani, Farhan mengernyitkan dahinya.

"Kamu nggak tahu ya, Ridho itu udah lolos dari masa trainingnya. Makanya dia menitipkan uang untuk kamu karena dia dikasih bonus banyak dari Bosnya,"

"Memangnya kalau boleh tahu, Bang Ridho nitip berapa sama Abang? Sudah seminggu ini aku nggak bisa hubungi dia, Dan dia pun tidak menghubungi aku dari nomor yang lain,"

Farhan jadi serba salah, lantaran dia takut jika ada komunikasi yang berbeda dengan apa yang dibicarakan sama dia dengan Ridho.

"Apa Ridho belum bicara apapun sama kamu? Termasuk uang yang dia titipkan untuk kamu ke aku?" tanya Farhan kemudian.

Rani hanya menggeleng pelan, dalam batin Farhan ada rasa senang meski sebelumnya dia merasa punya hutang beban yang cukup berat.

"Bagus dong, si Rani bisa aku kibulin. Uang dari si Ridho kan sepuluh juta, aku bilang saja sejuta. Tapi bagaimana ya jika si Ridho akhirnya bicara? Ah sudahlah itu tidak mungkin karena perusahaan tempat Ridho bekerja sangat ketat, dia terikat training dengan sistem tiga bulan full tanpa boleh libur sama sekali," batin Farhan berencana licik.

"Ridho nitip uang ke aku satu juta Ran, dan semuanya aku pakai untuk bayar hutang Ibu aku," jelas Farhan.

Lagi dan lagi Rani tidak menanggapi Farhan dengan perkataan, dia hanya mengedipkan kedua matanya sambil berkaca-kaca menahan kesedihan.

"Ran, cepat sembuh ya! Aku janji akan cari informasi tentang keberadaan Ridho. Oh ya kalau untuk sekedar makan aku ada nih Ran, nggak apa-apa ya sedikit?"

Farhan mengambil selembar uang lima puluh ribu dari saku celana dia, lalu dia kepalkan ke telapak tangan Rani.

"Jangan Bang, ini kan lumayan untuk tambah-tambah ongkos ke Jakarta lagi!"

Rani awalnya menolak , namun Farhan memaksanya dengan segera berlalu dari ruangan rawat inap Rani.