webnovel

Pujian Calon Mertua.

Gadis bergaun putih pengantin, berjalan dengan anggunnya kepada seorang pria yang tengah disibukkan dengan ponselnya.

'Seandainya aku lah yang menjadi pengantinmu? Namun menikah denganmu pun tidak menjamin kebahagiaanku. Karena mana mungkin, orang yang cinta buta sepertimu, bisa menghadirkan wanita lain di dalam hatimu. Kekurangan Intan terlihat pesona bagimu. Sama seperti aku yang terus terpesona oleh sikapmu, walaupun kamu acuh dan penuh kebencian kepadaku. Sekalipun aku tetap mencintaimu, aku pun takut jika memilikimu,' kata Rina dalam hati.

Langkahnya semakin mendekat.

"Lihat saja, siapa yang nanti akan mendapat pujian dari calon mertua," ketus Intan yang melintasi Rina dengan memyenggolkan bahunya.

Rina pun hampir terjatuh. "Awas!" teriak salah satu pemuda kemudian menahan tubuh Rina. Rina ternganga saat memegang erat lengan pemuda yang menolongnya.

Manik tajam itu menatap mata indah Rina. "Rina," panggilnya lalu segera mendirikan Rina. Rina sangat tidak menduga dia tersenyum tipis.

"Redi?" panggil Rina memastikan. Pemuda tampan itu tersenyum lalu mengangguk.

"Wah ... wah. Seperti reunian ya kita, kalian mau nikah? Hai Za, Ga," panggil Redi yang memang ramah. Mereka berjabat tangan saling berbicara.

"Hai, Sandia." Seorang gadis menjulurkan tangannya kepada Rina. Rina memberi senyum ramah lalu menjabat tangan Sandia.

"Kalian semua saling mengenal?" tanya Sandia penuh dengan keramahan dan sangat lembut.

"Redi kakak kelasku. Kalian juga akan menyelenggarakan pernikahan?" tanya Rina. Sandia mengangguk dengan pipi merona.

"Dijodohkan sih, aku hanya menyakininya," bisik Sandia ke Rina, Rina tersenyum lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Sandia.

"Selama ini kak Redi orang yang baik. Aku yakin dia bisa melindungi," kata Rina berbisik.

"Kamu mau menikah dengan yang itu 'kan?" tanya Sandia menunjuk Eza. Rina menggeleng pelan. Sementara Intan segera menempel ke Eza.

Rina melihat Sandia yang terus memperhatikan Intan. "Aku kira, wanita itu calon suaminya yang di sana," ujar Sandia menunjuk ke Dirga.

"Hehehe, itu calon suamiku," tutur Rina berusaha tersenyum, agar Sandia berpikir kalau Rina bahagia dengan pernikahnya. Namun Rina melihat ekspresi lain dari wajah Sandia.

"Kenapa?" tanya Rina merasa heran.

"Sebelum pernikahan terjadi. Lebih baik di gagalkan. Ayahku pemilik hotel, dan aku membantu ayahku sebagai resepsionis hotel. Aku sering melayani pesanan Pak Dirga, aku kira bu Intan istrinya Pak Dirga," jelas Sandia. Rina berusaha biasa saja karena sudah faham.

"Bukannya saya mau ikut campur. Tapi lebih baik digagalkan," tegur Sandia. Setelah beberapa saat akhirnya Intan sadar jika Sandia adalah resepsionis hotel.

Intan segera menghampiri Sandia dan Rina. "Hai, sepertinya pernah bertemu ya," sapa Intan lalu mengulurkan tangan.

"Memang," jawab Sandia lalu menjabat tangan Intan. Dengan berakting ramah. Intan melakukan cipika-cipiki.

"Jika kamu berani membongkar rahasia aku! Aku akan menjamin kesucian. Dengan mudah aku akan menghancurkan kehidupanmu. Ingat perkataanku ini!" Dengan nada lemah lembut tapi kejam Intan membisikkan itu.

Sandia hanya diam, Rina pun paham jika Intan mengancam Sandia. Intan pun pergi menghampiri Eza.

"MasyaAllsh ada ya wanita seperti itu," kata Sandia. Rina hanya tersenyum.

"Bagaimana kamu bisa tersenyum, apa sebenarnya kamu juga tahu? Kalau tahu kenapa kamu masih mau menikah dengan pria itu? Sebagai sesama wanita aku tidak terima," tutur Sandia menatap mata Rina yang berkaca-kaca dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Terkadang kita harus melakukan apa yang tidak kita inginkan. Jangan meresahkan aku, dan jangan lagi ikut campur, karena aku tidak ingin kamu dalam bahaya. Berjanjilah kepadaku kamu tidak akan membongkar rahasia mereka," pinta Rina sangat pelan dan tidak melihat Sandia karena menahan tangis.

Rina menggenggam erat tangan Sandia dan berharap Sandia bisa menyembunyikan rahasia. "Aku tidak berjanji," kata Sandia lalu melepaskan tangan Rina. Rina sangat terkejut dengan yang dikatakan Sandia.

"Mas Redi mari," ajak Sandia. Redi pun pamit. Terlihat sangat jelas jika Intan merasa lega, karena Sandia tidak mengatakan apapun. Berbeda dengan Rina yang masih terngiang-ngiang jawaban Sandia.

Rina masih terpaku. 'Bagaimana jika suatu saat Sandia mengatakan. Wallahu a'lam,' seru Rina dalam hati.

"Hai Rina, sini," panggil Eza. Rina pun mendekat ke calon kakak iparnya. Di tempat Eza berdiri, Intan sudah memamerkan lekuk tubuhnya, gaunnya kepada sang calon mertua.

"Hai. Intan, kenapa lagunya seperti gaun yang belum jadi seperti itu. Ibu tidak suka ganti! Masa lengannya yang sebelah tidak ada," seru dari dalam vidio call. Rina menahan senyum.

"Ibu ...." Panggil Intan dengan nada bicaranya yang lembut. "Sini sedang tren Bu. Zamannya sekarang ya seperti ini. Kan, memang harus mengikuti zaman, ini sangat cantik, aku suka," ujar Intan membujuk. Namun Rina melihat raut wajah dari Ibu di dalam video call itu tidak suka.

"Apapun yang kamu katakan. Ibu tidak suka, ganti! Sekarang titik!" Nada tegas dari calon mertua. Intan manyun dia terlihat sangat kesal sambil melirik ke Rina. Seperti biasa dia mengadu kepada Eza.

"Nih pegang," kata Eza memberikan ponselnya ke Rina. Rina pun menerima, dia memberi senyuman yang sangat manis kepada sang calon mertua.

"Assalamualaikum," sapa Rina dengan sangat halus. Calon mertua malah terdiam sambil menatap kagum.

"Apa ada yang salah Bu?" tanya Rina lalu memutarkan gaunya.

"Tidak. Ya Allah ... Wa'alaikumsalam ... masyaAllah ... SubhanaAllah," puji Ibu calon mertua kepada Rina. Rina merasa malu dia menunduk.

'Ya Allah wajah ini adalah titipan dari Engkau. Tetap rendahkan hatiku,' batin Rina.

Dari sana Intan memperhatikan dan dia sangat tidak suka ketika calon ibu mertuanya terus memuji kecantikan Rina.

"Kamu sangat cantik jelita, kamu sangat mirip dengan Almarhumah nenekmu."

"Nenek Fania?" tanya Rina memastikan.

"Iya. Nenekmu itu sangat baik, dan Ibu yakin jika kamu pasti memiliki sifat seperti Almarhumah nenekmu," puji wanita paruh baya itu.

"Aamiin. Hehehe, Bunda selalu menceritakan kesederhanaan Nenek, namun saya tidak menduga jika saya mirip Nenek," ujar Rina sambil tersenyum.

"Ya Allah, kamu juga sederhana. Andai yang menikah dengan Eza kamu." Mendengar itu sontak mata Rina terbelalak.

"Ibu!" Eza menyahut ponselnya, lalu pergi meninggalkan Rina yang masih mematung.

"Ibu bicara apa? Tolong jaga perasaan Intan. Intan sudah banyak berkorban banyak, jadi Eza mohon, jangan lagi mengatakan itu. Aku sudah sangat sabar dengan penantian panjang. Doakan yang baik Ibu," pinta Eza saat vidio call dengan Ibunya.

Rina yang mendengarpun segera pergi ke ruang ganti. Senyumnya luntur dan digantikan dengan sudut bibir menurun menandakan dia kecewa. Napasnya menjadi tidak teratur dia mengangkat wajah agar air matanya tertahan.

Dengan menghela napas berat. "Rina. Huhf ... stop." Untuk menghilangkan rasa sedihnya dia memutar lagu dan memejamkan mata.

Bersambung.