webnovel

Mari Saling Mengenal.

Gadis itu terlelap dengan keadaan yang kurang baik. Berbeda dengan Hafiz sang Kakak, yang memilih di dalam mobil dan tidak mau masuk ke dalam rumah.

Rumah yang ditempati Hafiz adalah rumah sederhana namun bagus. Desain itu memang buatan Hafiz sendiri karena pekerjaannya arsitek.

Rumah bercat putih dengan kombinasi abu-abu itu hanya dipandang Hafiz dari dalam mobil.

"Aku kira aku akan tinggal di rumah impian bersama seseorang yang paling aku cinta, nyatanya aku malah terjebak," keluh Hafiz sambil memijat kepalanya.

Tidak jauh berbeda dengan cuaca di Makassar yang hujan sangat deras. Di Jakarta pun seperti itu, hujan angin bercampur petir.

Dug!

Dug!

Hafiz membuka mata saat melihat istrinya mengetuk kaca mobil. "Huft, niat menghindar malah dihampiri," gumamnya lalu turun dari mobil.

Satu payung berdua biasanya bisa romantis. Namun Hafiz malah memilih berlari. Runia mengikutinya.

"Terus saja menghindar!" kata Runia sambil meletakkan payung di belakang pintu. Hafiz hendak masuk ke kamar.

"Aku sudah menyiapkan makanan terserah kamu mau makan atau tidak," ujar Runia sangat cepat. Namun membuat Hafiz menghentikan langkahnya.

'Lapar juga,' bicaranya dalam hati. Hafiz meletakkan tasnya di sofa. Dan Runia berjalan cepat akan memasuki kamarnya.

Arah Hafiz ke kanan dan Runia ke kiri karena memang mereka berbeda kamar.

"Mari makan bersama," ajak Hafiz berjalan ke meja makan sambil mengendurkan dasi, Runia menghentikan langkah dan menoleh.

"Apa? Aku belum dengar," ujar Runia, lalu berbalik arah menghampiri suaminya.

"Mari makan bersama. Kurang dengar? Ayo makan!" seru Hafiz lalu menarik kursi.

"Bisa tidak sih, tidak teriak. Setidaknya bercanda. Bagaimana bisa saling belajar mencintai jika salah satunya tidak peduli. Bukankah kita harus sama-sama berjuang? Kamu kira hanya kamu yang menderita! Karena pernikahan ini. Besok ada reuni keluarga, aku minta waktu Anda," kata Runia lalu pergi dari ruang makan.

Hafiz yang sudah memegang sendok melepas sendok itu. Dia menyiblakan rambutnya ke belakang dengan kedua tangan lalu mengangkat wajah melihat ke langit-langit.

Hafiz pun kembali makan, Runia berjalan di depannya dengan memakai lingerie berwarna merah muda.

Wanita yang dinikahi Hafiz memang sangat cantik. Namun kali ini Runia berpenampilan anggun dengan sedikit seksi. Tidak bisa dipungkiri Hafiz pun melirik saat istrinya mengambil minum dan hendak pergi dari ruang makan.

"Mau bicara," ajak Hafiz. Sesungguhnya keduanya memang mencari kesempatan dalam kesempitan.

Runia sengaja datang dengan pesonanya, sementara ajakan Hafiz ingin memandang Runia.

'Aku harap ini adalah usaha. Usaha agar aku bisa menerimanya,' kata Hafiz dalam hati. Runia dengan berjalan pelan dia menghampiri suaminya lalu menarik kursi dan duduk.

"Kamu tidak makan?" tanya Hafiz, Runia menggelengkan kepala dan menyangga wajah dengan kedua tangannya.

'Kenapa hanya dia diam saja, aku kan bingung harus mencari-cari alasan dan bertanya tentang apa,' keluh Hafiz dalam hati.

Suasana hujan yang sangat deras buat canggung dan hening.

"Katanya mau berbicara. Kenapa hanya diam saja?" tanya Runia memecah kesunyian malam yang dingin.

"Hajjcing, est ... Hajch... habisnya sedari tadi kamu diam saja. Dan tidak menjawab pertanyaanku," ujar Hafiz lalu minum.

"Bukankah setelah bermenit-menit kita duduk di sini, Mas hanya bertanya, 'kamu tidak makan.' Itu 'kan. Aku sudah menggelengkan kepala, apa itu bukan berarti jawaban?" tanya balik Runia.

"Aku bingung mau berbicara, dan mau bertanya apa. Jadi misal kalau aku bertanya jawabnya yang panjang. Biar aku tidak memikirkan soal lagi yang akan aku tanya kan kepadamu," jelas Hafiz. Wajah Runia memerah senyumnya mengembang sempurna.

"Hehehe. Kenapa harus bingung. Tanya saja pengalaman hidup. Sukanya apa? Tapi aku senang. Mas sudah usaha. Ketimbang di malam pengantin kita, Mas hanya diam mematung dan fokus dengan layar ponsel. Itu sangat menyebalkan, tapi aku juga harus memahami. Penikahan dadakan mengharuskanku untuk berusaha dan memaksa untuk mencintaimu,' jelas Runia yang kemudian menatap suaminya.

Hafiz yang sedari tadi mengamati wajah cantik istrinya segera memalingkan tatapan.

"Kepalaku sedikit pusing," kata Hafiz yang lalu memijat kepalanya. Runia berdiri lalu menyentuh dahi Hafiz dengan punggung tangannya.

"Jangan mandi dengan air dingin. Karena Mas sudah demam. Aku akan siapkan air hangat, Mas silakan ke kamar nanti aku antar," ujar Runia dengan suara lembut lalu pergi ke dapur.

'Mungkin belajar menerima keadaan dan kenyataan adalah sesuatu yang baik. Bukankah dia jodoh dari Allah. Jadi lebih baik aku menerima terus belajar mencintainya,' tegur Hafiz kepada diri sendiri.

Drettt. Drettt.

Hafiz melihat ponsel Runia yang bergetar tanda telepon masuk. Hafiz melihat ponsel Runia.

"Jangan diangkat, hahaha," tawa Hafiz lepas setelah membaca nama kontak itu. Dia pun menggeser layar ponsel itu dan menjawab panggilan.

"Runia ... Runia. Ke mana pun kamu sembunyi aku bisa menemukanmu." Suara dari dalam telepon membuat Hafiz mengerutkan kening.

Srettt.

Dakkk!

Runia menarik ponsel itu dan melempar ponselnya sampai pecah. Hafiz sangat terkejut.

"Kenapa kamu angkat!" tanya Runia berteriak dengan mata berkata-kaca.

"Maaf," ujar Hafiz menatap Runia dengan penuh tanda tanya. Runia lemas seketika dia menangis tidak henti.

"Bisakah kamu cerita. Bukankah sekarang aku suamimu. Mari kita saling mengenal," ajak Hafiz duduk di depan Runia.

Runia menangis tidak henti. "Ceritakan dengan pelan-pelan," pinta Hafiz. Diam-diam pemuda itu mulai penasaran dengan cerita masa lalu Runia.

"Hik hik hiks est ... lupakan saja. Percuma kamu tidak akan pernah percaya dengan apa yang aku katakan," ujar Runia kembali ke dapur.

Hafiz pun hanya memijat keningnya dan mengeluarkan napas berat.

"Aku pernah akan dijual. Akan dijadikan wanita penghibur. Makanya aku pergi keluar Negeri. Kejadiannya sangat rumit. Seperti kita yang dijebak dalam sekamar. Bedanya saat itu aku sadar, segera kabur dan masih berpakaian, beda saat denganmu yang tanpa sehelai kain. Est ... sangat panjang, pasti kamu juga muak mendengar suaraku. Lihat wajahku saja kamu eneg," jelas Runia yang lalu merendahkan diri.

'Kenapa perkataannya membuat aku sedih? Padahal aku memang tidak suka jika berdekatan dengan dia. Saat ini, detik ini? Hatiku ... kenapa ini?' batin Hafiz.

Kemudian dia terus memandang istrinya yang sedang membawa air panas. Hafiz berjalan di belakang Runia. Hafiz tau Runia kepanasan.

Hafiz segera memegang tangan Runia. "Lepaskan, biar aku yang membawa," ujar Hafiz. Runia melepaskan dan berhenti berjalan.

"Kenapa berhenti?" tanya Hafiz menoleh ke istrinya. Runia masih terngaga dengan ajakan Hafiz. "Bantu aku. Lenganku terluka, kamu istriku. Bukankah kita juga harus saling memiliki? Kamu adalah bajuku dan aku bajumu. Jadi obati lukaku," kata Hafiz lalu berjalan.

"Masih mematung juga, ayo ...." ajak Hafiz setelah sampai di tengah pintu. Kedua mata saling bertemu. Namun, seperti biasa Hafiz menghindar kontak mata itu terjadi.

Runia meneguk salivanya dengan tegang dan gugup serta telapak tangan yang mendingin, pipi yang memerah dan nyeri di setiap sendi. Dia mengatur napas lalu melangkah ke kamar sang suami.

Bersambung.

Hai Readers terima kasih banyak ya. Suka mana nih Eza dan Rina atau Hafiz dan Runia. Ikuti terus ya.