webnovel

- Terlalu Kuat -

Seorang anak yang hidup seperti bangsawan yang dikelilingi pelayan, dipenuhi kasih sayang orang tua dan tidak kekurangan apapun, namun hidupnya penuh dengan tanda tanya dan keganjilan. Suatu hari semuanya berubah dan kebenaran tentang dirinya terbuka satu persatu.

xienewbie · Fantasy
Not enough ratings
2 Chs

01. Hari seperti biasa...?

"membosankan"

ini yang setiap kali terlintas di pikiranku. Sepanjang bisa ku ingat, seperti ini rutinitas keseharianku. dari pagi hingga malam dan terus hingga kini tak pernah selangkahpun aku bisa keluar dari sini, dari yang bernama tempat tinggal. sekalipun keluar rumah yang kulihat hanyalah hamparan rumput, bunga, pohon, kolam, bukit kecil yang membentang hingga dinding yang menjulang sebagai batasnya.

Sejak tiga atau empat tahun yang lalu, orang orang disekitarku mulai menghilang satu persatu, entah mengapa. Aku pernah menayakannya saat kali pertama seseorang yang biasa berada di dekatku setiap waktu keesokan harinya lenyap begitu saja tanpa alasan yang jelas.

"kemana dulah?"

"dia sakit dan meninggal sayang." jawab orang tuaku. aku melihat orang orang yang berdiri di ruangan mencoba mencari jawaban lain. namun semua menundukan kepala mereka, dan semua orang berjalan mundur dan keluar ruangan saat orang tuaku memberikan isyarat dengan tangannya. Hanya herman yang berdiri dibelakang ayahku dan wanita separuh baya dengan nampan di ujung ruangan.

"makananmu nanti dingin, ingat etika saat dimeja makan nak." ayah mengingatkanku tanpa memalingkan pandangannya sedikitpun sembari terus menikmati sarapannya.

Mungkin karena aku makan sambil berbicara tiba tiba aku tersedak dan seperti biasa aku meraih dengan tanganku secara refleks dan gelas didepanku melayang dan mendarat tepat di genggaman, dan herman dengan sigap mengisi gelasku dengan air dan mengusap usap punggungku saat aku minum.

"terima kasih herman"

"sudah tugas saya tuan muda" dan ia pun kembali ke posisinya semula.

kulihat hanya herman yang memberikan perhatian padaku, dan wanita separuh baya di ujung ruangan yang wajahnya terlihat khawatir, sementara orang tuaku sendiri hanya diam dan meneruskan makan mereka. setelah menghabiskan porsi sarapanku aku terduduk diam karena sebelum orang tuaku atau persisnya ayahku berdiri menyelesaikan makannya atau memutuskannya tidak ada seorangpun yang boleh meninggalkan ruangan, mau tua ataupun muda. Begitulah aturannya karena beliau adalah pimpinan keluarga di rumah ini, dan seingatku tak pernah ada seorangpun yang berani melanggarnya.

Setelah ia memutuskan sarapannya selesai. ayahku berdiri dan berjalan dan berhenti disampingku tanpa membalikan badanya.

"jangan pernah melakukan hal sepele seperti itu lagi sendiri, kamu adalah tuan di rumah ini dan orang orang seperti herman ada untuk melayanimu, ingat itu" tutur ayahku sambil mengusap usap kepalaku dan kemudian berlalu pergi, diikuti oleh ibuku yang hanya tersenyum dan mengusap pipiku dan bergegas mengikuti ayahku keluar ruang makan. Tanpa kusadari wanita paruh baya di ujung ruangan sudah tidak ada ditempatnya, hanya herman yang kini kulihat berdiri di samping ku. meski usianya mungkin sudah cukup tua karena waktu aku masih belajar berlari pun ia sudah seperti ini, namun herman masih bersiri dengan postur yang tegap dan gerakannya masih gesit dalam melakukan pekerjaannya.

"ada yang bisa saya kerjakan tuan muda?" herman tiba tiba berbalik mungkin merasakan tatapanku. dan senyumnya pun masih seperti dipaksakan seperti biasanya.

"tidak apa apa..haaah ini lucu"

"wajah saya tuan muda?"

"bukan itu tapi ruangan ini, kami hanya makan bertiga. Apa perlunya meja sepanjang ini. dan kursi sebanyak ini?"

"sudah seperti ini dari generasi sebelumnya pun, tidak ada yang berubah. hanya sebagian kecil saja yang berganti lainnya sama" kulihat pandangannya menerawang, atau mengingat masa masa yang pernah dialaminya.

"oh..dari mana kamu tahu ini tidak berubah?"

"ehm..dari pendahulu saya tuan muda, begitu yang saya dengar" dan seperti biasanya. berarti sampai disini perbincangan kami berakhir, dan aku sudah mulai terbiasa untuk tidak mengharapkan jawaban yang memuaskan dari mulut herman. dan setelah itu hariku bergulir seperti biasanya.

Setelah menghabiskan setengah hari berada di perpustakan, aku memutuskan untuk menggerakan tubuhku yang kaku. "herman ayo kita main lempar bola"

"baik tuan muda" aku berjalan menyusuri koridor kearah halaman di belakang rumah sambil meregangkan tanganku, sementara herman berjalan mengikutiku sambil berbicara pada alat ditelinganya dengan serius, alisnya selalu mengkerut ketengah jika ia serius, dan semua orang selalu hiruk pikuk dan panik jika herman sudah memasang muka seperti itu, lucu sekali. Ah andai saja semua orang bisa berbicara lewat pikiran seperti aku kepada orang tuaku tak perlu alat seperti itu. namun orang tuaku selalu menyarankan untuk tidak melakukan pembicaraan lewat pikiran karena tidak sopan, dan herman berkata hanya keluarga seperti kami saja yang bisa melakukan hal tersebut, dan orang orang yang bekerja di rumah kami seperti herman dan yang lainnya tidak bisa, ia bilang mereka hanya pegawai dan pegawai atau pekerja hanyalah orang biasa.

Sesampainya di halaman belakang kulihat ada dua puluh orang berseragam merah tua dengan wajah serius berjajar berdiri di samping kuda mereka masing masing, mereka adalah penjaga di sekeliling dekat rumah, untuk yang biasa melakukan penjagaan dan keliling di seputar halaman dan bukit bukit berseragam merah terang, sementara yang berjaga di hutan hutan kecil tepi dinding dan diatas menara dan dinding benteng aku belum pernah melihatnya, yang pasti warna seragam mereka pasti mencolok jingga, kuning atau yang mendekati merah, yang pasti kuharap bukan merah muda, memang tidak apa apa hanya saja menurutku tidak sesuai dengan wajah mereka yang kaku dan kulit mereka yang gelap mengkilat.

setelah mendengarkan intruksi dari herman para penjaga naik ke atas kudanya dan permainanpun siap dilakukan.

"tuan muda, silahkan" herman membuka peti kayu berisi lima buah bola dari kayu dengan cat warna terang, permukaannya sangat halus, mungkin baru, karena bola yang kumainkan beberapa hari yang lalu sebagian catnya sudak mengelupas, ada yang permukaannya tidak rata dan kasar dan salah satunya hancur waktu kutangkap, mungkin cengkramanku terlalu kencang. Aku memilih satu dan mulai melakukan Posisi melempar seperti pemain kasti menurut buku yang pernah kubaca.

"puh" bola pun melesat, para penjaga serentak memacu kudanya kearah terbangnya bola, dan mereka satu persatu berhenti dengan jarak yang berbeda dari yang terdekat sampai ke yang terjauh dengan renggang yang sama.

"sepertinya dua puluh orang kali ini kurang.." herman berguman pelan namun masih bisa kudengar meskipun jarak kami beberapa meter terpisah, dengan mata yang tertempel pada ujung teropong dan alisnya yang berkerut.

Setelah beberapa lama terlihat dari jauh para penjaga mulai saling bersahut melempar dan menangkap, hingga penjaga yang terdekat kulihat ia menangkap dengan sarung tangan yang lebih besar dari ukuran tangannya, setelah itu ia masukan bola kedalam sebuah batang yang berongga, menaruhnya di pundak sebagai tumpuan dan mengarahkan keatas keposisi dimana aku berdiri, pantas saja tiap bola terlempar dari penjaga selalu mengeluarkan bunyi, sedikit cahaya dan asap rupanya mereka menggunalan alat itu. Namun sebelum bola terlontar dari alat tersebut, hal tak terduga terjadi. Kuda yang ia tunggangi tiba tiba bergerak dan pada saat alat tersebut terpicu...Baam..bolapun melesat sedikit menyamping datar menuju herman tepat ke wajah.

..passsht.. tap....

tanpa sadar, sebelum penjaga yang melontarkan bola sempat bereaksi aku sudah berada di depan herman dengan tangan lurus diatas kepala dan bola masih sedikit berasap di telapak tangan ku. aku melihat ke antara tempat dimana tadi aku berdiri dan posisi ku berdiri sekarang, dan aku mulai tersenyum dan perlahan bibirku makin melebar menjadi tawa.

"waaw..herman lihat aku menangkapnya..aku menangkapnya.." aku senang sekali,setelah sadar yang terdengar hanya suara tawa ku sendiri, aku mulai melihat sekeliling. Namun yang kulihat tak ada satupun dari mereka yang tersenyum apalagi tertawa. Herman diam ditempatnya berdiri dengan mata yang terbelalak, bulir keringat terlihat membeaar dan mengalir di wajahnya, wajar saja mungkin karena bola yang begitu cepat hampir saja mengenainya dan menjadikan wajahnya sebagai tempat menyimpan bola, sepertinya itu memang tidak lucu, aku pun berhenti tertawa. para penjaga satu persatu berdatangan turun dari kuda mereka dan berjajar tanpa berkata apapun. setelah berapa saat kondisi herman kembali tenang dan melakukan intruksi dengan wajah yang menjadi sedikit lebih kaku, alisnya semakin berkerut, herman mungkin marah pada penjaga yang hampir membuat wajahnya menjadi sasaran, ya bisa kumaklumi, namun aku tetap bergegas mendekati herman dan mencoba meredakan amarahnya.

"tak perlu marah, mereka tidak sengaja hahaha..untung aku bisa menangkapnya, kamu lihat tadi...kamu lihat? aku sangat cepat siiuuuut dan aku menangkap bolanya...kalau tidak ayah pasti marah, karena wajah orang kepercayaan nya jadi tempat bola..hahaha" dengan sedikit bercanda aku mencoba membanggakan diri dan sedikit menghibur dan memujinya agar marahnya reda.

"maaf tuan muda, sepertinya cuaca akan hujan. kita cukupkan sampai disini saja, dan sebentar lagi ayah anda akan kembali.." kulihat langit berwarna biru cerah dan matahari masih bersinar, mungkin herman masih merasa kaget dan sedikit marah pada para penjaga. Namun ketika aku mau mencoba menghiburnya kembali, kulihat herman berdiri sedikit membungkuk mempersilakan ku untuk kembali ke dalam rumah. yah sudahlah begitulah herman, mungkin karena sudah lama bekerja dengan ayahku sifatnya pun hampir sama, jika sudah memutuskan sukar sekali untuk ditawar.

kami pun kembali kedalam rumah meninggalkan para penjaga yang masih berdiri tegap berjajar tidak bergerak sama sekali, menarik tali kekang kuda mereka agar sama tidak bergerak dari posisinya. disiplin yang luar biasa sekali.

--------------------------------------

dok..dok..dok suara ketukan pintu yang sedikit lebih keras dari biasanya. Dan inipun diluar dari biasanya, setelah kembali kerumah aku menghabiskan waktu membaca di perpustakaan dan ketika aku sedang di dalam perpustakan tidak ada yang berani mengganggu termasuk kedua orang tuaku. namun aku selalu keluar tepat waktu untuk menyambut kedua orang tuaku pulang, waktu makan atau waktu untuk mandi dan tidur. tapi mungkin kali ini ada sesuatu yang berbeda dan mengharuskan herman datang memanggilku, atau mungkin orang tuaku pulang cepat hari ini.

"masuk.." dan pintu pun terbuka, herman berdiri di ambang pintu tanpa masuk dan berdiri sedikit membungkuk mempersilahkanku untuk mengikutinya.

"ada apa? apa ayah dan ibu pulang?"

"ayah dan ibu tuan menunggu di ruang prisma" dan tanpa menunggu herman langsung berbalik dan menuntunku agar mengikutinya,

Sambil bertanya tanya dalam hati mengapa orang tuaku menunggu di ruang prisma, karena selama ini ruang prisma adalah salah satu ruangan yang terlarang untuk kumasuki selain ruang kerja ayah dan ruang bawah tanah, yang entah ada apa saja didalamnya. dan sebelum sampai ruang prisma, samar samar kudengar suara ayahku dan seseorang yang asing, yang terkadang ada namaku disebut dalam perbincangan mereka sekali kali.

Setelah sampai didepan pintu herman berhenti, namun sebelum mengetuk pintu dari dalam ruangan terdengar suara seseorang.

"hanya tuan mudamu yang boleh masuk.." dan herman pun kembali membalikan badannya dan berdiri membelakangi tembok disamping pintu.

Akupun merapihkan bajuku dan membuka pintu, baru saja aku memasuki ruangan, pintu kembali ditutup oleh dua orang yang kemudian bediri dibalik pintu, aku mengerutkan kening karena pandangan mereka yang membuatku tak nyaman.

"jangan hiraukan mereka, duduklah"

"oh..?" aku melemparkan pandangan heran pada orang tuaku, ada apa ini kenapa orang yang bertamu mempersilahkan tuan rumah, dan mengapa orang tuaku terlihat tunduk pada orang tua asing ini.

" maaf, dimana sopan santunku, perkenalkan nama saya Sebastian Duff. anda bisa panggil saya duff.."

"Anak kami b." jawaban ayahku berhenti setelah menerima isyarat tangan orang tua ini, sebelum aku bertanya lewat pikiran pada ayahku apa yang akan diucapkannya dan siapa orang tua ini, dia sedikit mencondongkan badannya dan bertanya.

"saya sudah mengatakan siapa nama saya, bukankah anda seharusnya menyebutkan juga nama anda. bukan begitu?" Uh..senyumnya sangat mengganggu sekali. akupun membalas dengan senyum dan percaya diri.

"senang bertemu anda tuan duff, perkenalkan nama saya Tiga belas"