webnovel

Terlahir Kembali: Dokter Genius Cantik

“Fariza… Fariza-ku yang malang. Kenapa kamu begitu bodoh?” Suara tangisan tersedu-sedu membangunkan Fariza dari tidurnya. "Di mana aku?" Yang dia ingat hanyalah dia telah memenangkan Hadiah Nobel pertama dalam pengobatan tradisional, dan tertabrak oleh sebuah truk besar saat perjalanan pulang. Kini dia mendapati dirinya terlahir kembali pada tahun 1980an di tubuh orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya. Ternyata kehidupannya sebagai Fariza yang baru saat ini ternyata sangat buruk. Dia, adik, dan ibunya diperlakukan tidak adil oleh ayah kandungnya serta keluarga dari selingkuhan ayahnya. Dengan kecerdasan dan pengalamannya dari abad 21, Fariza yang sekarang tidak takut menghadapi semua permasalahannya dan perlahan-lahan membereskannya satu per satu.

MikaZiyaddd · Urban
Not enough ratings
119 Chs

Surat dari Seorang Gadis

Fariza mendongak dan melihat bahwa itu adalah Pak Dadung dari Desa Tutur. Sebelum dia dapat berbicara, seseorang berteriak dengan tidak puas, "Hei, apakah kamu tidak melihat bahwa kita semua mengantre?"

"Antrean apa? Apakah kamu mampu untuk mencegahku? Kamu tidak dapat mengalahkanku. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Fariza!" Pak Dadung selalu sombong, jadi wajar saja dia tidak memandang orang-orang ini.

"Kalau kamu punya sesuatu, mereka yang lebih dulu datang harus dilayani terlebih dahulu. Kita juga sudah lama antre di sini."

"Kenapa kalian berisik sekali, hah? Sudah, biarkan aku bicara dengan gadis ini!"

"Dasar pria tidak tahu diri!"

Tiba-tiba, semua orang di sekitar Pak Dadung marah karena sikapnya. Semua orang di sekitarnya mulai memarahinya.

"Apa yang salah denganku hanya karena aku tidak mengantre?" Pak Dadung tiba-tiba mengulurkan tangan dan mengambil apel goreng Fariza dan mencibir. "Bukankah aku bisa membeli semua apel ini? Aku akan membeli semuanya!"

Sebelum Fariza sempat bereaksi, kantong penuh apel goreng itu jatuh ke tanah sedikit demi sedikit. Jalan saat ini sama sekali bukan jalan yang diaspal. Jalan di masa ini adalah tanah yang penuh dengan debu tebal. Begitu apel goreng itu menyentuh tanah, makanan itu langsung terkontaminasi dengan debu. Wujudnya juga tidak lagi terlihat.

Setelah linglung lama, semua orang akhirnya kembali ke akal sehatnya, "Kamu… Bagaimana kamu bisa seperti ini?"

"Jika aku seperti ini, apa yang kamu lakukan? Apa kamu memiliki kemampuan untuk melawanku?" Pak Dadung mendongak penuh kemenangan, dengan ekspresi tidak takut.

Fariza menyipitkan matanya dan hendak berbicara ketika suara yang agak akrab tiba-tiba datang dari luar kerumunan, "Kenapa di sini begitu ramai hari ini?"

Pak Dadung menoleh dan melihat seorang pria muda yang tinggi dan tampan. Pria itu berseragam militer. Semua orang tiba-tiba seperti telah menemukan seorang pahlawan, dan mereka menunjuk Pak Dadung bersamaan. "Nak, pria ini dengan sengaja membuat masalah di sini. Dia membuang apel goreng gadis itu ke tanah!"

"Tangkap dia, nak!"

"Dia harus dibawa pergi dan dipenjarakan!"

"Kesalahpahaman… Ini semua adalah kesalahpahaman… Nak, apakah kamu merokok?" Orang yang datang bersama Pak Dadung dengan cepat melinting rokok dan menyerahkannya kepada Satria dengan wajah tersenyum.

Fariza menyadari bahwa orang ini adalah saudara Pak Dadung yang lebih muda, Yusuf. Karena perbedaan usianya dengan Pak Dadung tidak terlalu besar, maka hubungan keduanya cukup baik.

Mata Satria berpatroli di sekitar pertigaan yang berdebu itu. Tanpa melihat pria di depannya, dia dengan dingin berkata, "Pak, ikuti aku."

Pak Dadung dan Yusuf mengikuti Satria ke tempat di mana tidak ada orang di sana. Yusuf dengan cepat berkata, "Nak, ini adalah kesalahpahaman."

"Tetap di tanah dan pegang kepalamu, jangan bersuara!" kata Satria dengan ekspresi serius.

Pak Dadung dan Yusuf berjongkok di tanah dengan cepat dan dengan patuh memeluk kepala mereka.

"Ayo kita bicara, kenapa kamu ingin main-main dengan orang yang menjual barang itu?" Satria memandang keduanya dengan merendahkan. Napas yang memancar dari seluruh tubuhnya membuat mereka takut untuk membela diri.

"Ini benar-benar kesalahpahaman. Kami kenal Fariza. Kami datang ke sini untuk memohon sesuatu padanya." Pak Dadung benar-benar ingin menangis kali ini. Dia ingin mendapatkan penawar untuk racunnya.

Pak Dadung pertama kali bertanya tentang rumah paman Fariza, dan kemudian menemukan bahwa Fariza telah pergi ke pusat kota untuk berjualan. Pak Dadung bertanya sepanjang jalan, dan akhirnya mengetahui bahwa Fariza menjual apel goreng di pertigaan pabrik ini. Lalu, dia menemukan bahwa ada begitu banyak orang di sekitar gerai Fariza. Pak Dadung mengakui bahwa dia melakukan terlalu banyak tadi, tapi bukankah itu karena dia sedang dalam kecemasan?

Pak Dadung tidak berani mengatakan apa yang terjadi malam itu saat Fariza memberinya racun, tapi dia harus menemui Fariza untuk minta tolong.

Di saat yang sama, Fariza ingat bahwa Pak Dadung ke sini pasti ada tujuannya. Dalam beberapa hari terakhir, dia sibuk menjual apel goreng, jadi dia benar-benar melupakan Pak Dadung. Fariza pun pergi menemui ketiga orang yang tidak jauh dari gerainya itu. Setelah berdeham, dia menoleh untuk melihat Satria, "Aku kenal mereka, bolehkah aku berbicara dengan mereka?"

"Kamu adalah korban, tentu saja." Satria cemberut, tapi dia bertingkah seperti seorang tentara yang bermartabat.

Melihat Fariza berjalan di depannya, Pak Dadung berkata dengan penuh semangat, "Fariza, berikan aku penawarnya. Aku telah melakukan segalanya sesuai permintaanmu malam itu. Ayahmu juga telah mengembalikan uang itu kepadaku."

"Dia mengembalikan uang itu padamu?" Fariza sedikit terkejut. Di masa ini, lima ratus ribu bukanlah jumlah yang kecil. Bagaimana Pak Juna bisa mengumpulkan uang sebanyak itu?

"Ya, ya, kamu bisa pergi ke desa untuk mencari tahu jika kamu tidak percaya padaku." Pak Dadung mengangguk berulang kali.

"Oke, tapi kamu mengacaukan geraiku untuk menjual apel goreng hari ini." Fariza berkata sambil tersenyum.

Punggung Pak Dadung menjadi dingin, dan dia dengan cepat berkata, "Aku akan memberimu uang! Berapapun jumlahnya!" Setelah berbicara, dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya. Semua uang itu dengan cepat diserahkan kepada Fariza.

Fariza menerimanya sambil tersenyum, dan kemudian memberitahu Pak Dadung tentang obat penawar atas racun yang diberikan pada pria itu. "Kembalilah dan minum teh bunga krisan selama tiga hari, dan racun dalam tubuhmu secara alami akan menghilang."

Apa? Teh krisan? Setelah mendengarkan ini, Pak Dadung hampir muntah darah. Karena racun ini, dia mengkhawatirkan dirinya selama beberapa hari. Dia tidak bisa makan dengan baik dan tidur nyenyak sepanjang hari. Dia tidak menyangka cara menghilangkan racun itu sesederhana itu. Pak Dadung memegangi dadanya, dan dia tiba-tiba merasakan sedikit sakit hati untuk lima puluh ribu yang baru saja diberikannya pada Fariza.

Fariza mengalihkan pandangannya untuk melihat Satria dan melambaikan uang di tangannya. Dia berkata dengan sungguh-sungguh, "Kawan, mereka telah memberiku uang ganti rugi, bolehkah aku pergi?"

"Tentu saja." Satria mengangguk dan melihat Fariza mengemasi barang-barangnya.

Pak Dadung dan Yusuf merasa lega dan langsung berdiri. Mereka bersiap untuk pergi, tetapi mata Satria tiba-tiba menjadi tajam, "Apa aku sudah bilang kalian boleh pergi?"

"Bukankah kita sudah memberi uang?" Pak Dadung mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Kamu memang harus kehilangan uang, tetapi kamu telah mengganggu ketertiban di tempat ini. Kalian berdua harus mengikutiku sekarang!" Satria membawa kedua orang itu ke kantornya.

Meskipun Departemen Angkatan Bersenjata dan kantor polisi adalah dua departemen yang berbeda, mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban umum di Kabupaten Pasuruan.

Setelah memasuki ruang interogasi, dan menghadap Satria dan Adimas yang mengenakan seragam militer, Pak Dadung tiba-tiba menyusut di tempat duduknya. Sebelum Satria bertanya dengan hati-hati, Pak Dadung menjelaskan semua yang telah dilakukan sebelumnya. Pada akhirnya, dia tidak lupa untuk membela diri, "Aku bukan seorang gangster! Fariza yang memintaku untuk datang! Aku masih memiliki surat darinya untukku."

Setelah berbicara, Pak Dadung mengambil sesuatu dari sakunya. Dia mengeluarkan surat yang kusut, mencoba membuktikan bahwa apa yang dikatakan itu benar. Kata-kata dalam surat itu sangat berani dan terang-terangan. Adimas yang melihatnya menjadi tersipu dan berdebar-debar. Dia merendahkan suaranya dan menatap Satria dengan curiga, "Apakah ini benar-benar ditulis oleh Fariza?"