webnovel

Pertemuan Di Rumah Nenek

"Aku tidak menyangka jika kamu dan Jonathan sudah berteman sejak kecil, Bryan. Maksudku ..." Tampak Elisa menggantung ucapannya. Ingin dia mengatakan tentang bagaimana sikap Jonathan saat mendengar nama Bryan namun mengingat di sana dirinya tidak hanya berdua dengan pria itu Elisa pun segera membungkam mulutnya. Mana mungkin dia mengatakan Jonathan terlihat membenci Bryan saat ada sang nenek yang masih duduk bersama dengan mereka.

"Ya, kami memang seperti itu. Terkadang persahabatan seorang pria dan wanita memanglah berbeda, Elisa. Kami jauh lebih menyukai adu jotos dibandingkan dengan bergosip. Hahaha!" Bryan menggelak tawanya, sementara Elisa yang mendapati sikap santai dari pria itu hanya ikut mengulas senyum kecilnya.

"Hei, apakah sampai sekarang kalian masih suka berkelahi?" tanya nenek Jonathan dengan nada sedikit keras bersamaan dengan matanya yang membulat menatap pada Bryan.

"Tentu saja tidak, Nek. Dibandingkan beradu otot, sekarang kami lebih memilih untuk beradu kesuksesan. Bukankah begitu lebih baik?" Bryan berbalik melayangkan tanya.

"Lumayan baik, asal jangan sampai saling menjatuhkan dari belakang," sahut sang nenek seolah paham dengan sifat dua pemuda yang tengah menjadi topik pembicaraan itu.

"Kamu, jangan terkejut kalau mendapati Bryan dan Jonathan saling menampakkan wajah penuh persaingan mereka. Karena memang sejak dahulu pekerjaan mereka hanyalah seperti itu," ujar sang nenek pada Elisa.

"Benarkah?" Elisa mengerutkan keningnya. "Tetapi bukannya kalian sahabat? Itu tidak terdengar seperti, emm ... pertemanan yang menyenangkan," imbuh Elisa sedikit ragu.

"Ya, memang seperti itulah mereka. Bahkan sudah begitu pun mereka selalu kompak menolak jika dikatakan seperti musuh. Entah pertemanan model apa yang mereka terapkan itu," cibir sang nenek yang hanya ditanggapi berupa kekehan kecil oleh Bryan.

"Dulu, sewaktu kecil, Nak Bryan ini termasuk bocah pemalu," ujar nenek Jonathan seakan ingin terus mengeluarkan suaranya.

"Hei, kata siapa, Nek? Kapan aku pemalu? Tidak, tidak, aku tidak pernah seperti itu," sanggah Bryan cepat.

"Kamu mana ingat? Aku yang melihat perkembanganmu sejak kecil." Nenek Jonathan tak ingin kalah. "Dulu, dia selalu berlari kencang saat ada orang asing yang mendekatinya," ujar nenek Jonathan kembali bercerita.

"Justru itu hal yang bagus, Nek. Bukankah memang anak kecil tidak boleh berbicara dengan orang asing?" Bryan masih terus berusaha membela.

"Tetapi, kamu pun tidak pernah mau menjawab sapaan orang-orang jika bukan ibumu yang mengajak berbicata." Nenek Jonathan tak mau kalah dalam hal menyanggah, sementara Elisa yang mendengar perdebatan antara dua orang di hadapannya itu hanya mampu terkekeh geli sedari tadi.

"Dulu dia ini benar-benar anak pemalu. Bahkan Jonathan pun perlu pendekatan yang lebih kepadanya untuk akhirnya bisa menjadi sahabat. Iya kan?" tanya sang nenek seolah meminta persetujuan dari Bryan.

"Untung saja Jonathan termasuk anak yang tidak mudah menyerah. Apalagi mengingat dulu teman seusia Jonathan hanya Bryan saja, jadi meskipun diusir berkali-kali, Jonathan tetap tidak mau menyerah untuk mengajaknya bermain." Sang nenek yang mengingat kembali kenangan itu seketika terkekeh.

"Sampai akhirnya hubungan keduanya begitu erat. Di mana ada Bryan, di situ pasti ada Jonathan. Begitu pula sebaliknya. Bahkan untuk sekolah pun mereka tidak ingin dipisahkan dan harus bersekolah di tempat yang sama. Hingga perguruan tinggi, bayangkan saja, betapa pusingnya nenek dan orangtua Jonathan saat itu," terang sang nenek, kemudian meraih gelas tehnya.

"Pusing? Kenapa, Nek? Bukankah itu bagus?" Elisa bertanya.

"Bagaimana tidak? Nilai Jonathan dan Bryan itu selalu berbeda jauh. Dia yang paling merepotkan!" tuduh sang nenek sembari mengacungkan jarinya ke arah Bryan membuat pria itu membelalakkan matanya.

"Apa? Nilaiku juga bagus, Nek! Enak saja," sergah Bryan kembali tidak terima. Sementara Elisa lagi-lagi menggelak tawa melihat ekspresi lucu yang Bryan perlihatkan.

"Tambah pusing lagi, kamu tahu, selain selalu menginginkan sekolah yang sama, mereka juga pasti menyukai wanita yang sama." Sang nenek kembali bercerita membuat Elisa yang mendengar itu seketika menoleh dan mengerjapkan mata. "Menyukai wanita yang sama?" ucapnya mengulang apa yang nenek Jonathan ucapkan.

"Ah, tidak. Tidak selalu. Hanya sekali saja, Nek. Jangan menambahkan bumbu yang tidak sedap seperti itu." Bryan kembali memprotes.

"Bumbu apa? Nenek sedang bercerita, bukan memasak," sanggah nenek segera, kemudian pandangannya beralih pada Elisa yang masih diterpa raut bingung. "Iya, mereka sering merebutkan wanita yang sama hingga nanti akhirnya mereka saling adu jotos. Coba sanggah ucapanku lagi! Sejak jaman kalian di bangku sekolah dasar, lalu menengah pertama dan terakhir kemarin, saat kalian sama-sama masih kuliah. Kamu tetap akan menyangkal?" gerak sang nenek yang kini sudah memfokuskan pandangannya kembali kepada Bryan. Sementara Bryan hanya terdiam dan menekuk bibirnya.

"Wah, bahkan saat telah kuliah pun kalian masih suka memperebutkan wanita yang sama?" Elisa masih tak bisa membuang rasa herannya. "Lalu siapa yang mendapatkan wanita itu? Dan bagaimana nenek bisa tahu? Apakah kalian sering bercerita dengan nenek?" tanya Elisa begitu antusias. Rasanya dia benar-benar penasaran dengan cerita masalalu antara Bryan dan Jonathan itu.

"Jonathan yang mendapatkannya," jawab Bryan malas, kemudian meneguk tehnya.

"Mereka bertiga bahkan pernah ribut di depan rumah." Sang nenek turut menjawab.

"Bertiga? Maksudnya dengan gadis itu juga?" Elisa kembali bertanya yang segera mendapatkan jawaban berupa anggukan kecil dari sang nenek.

"Aku jadi penasaran dengan wanita itu," gumam Elisa di tengah keheningannya. Dia cukup maklum jika kedua orang sahabat mencintai orang yang sama saat mereka masih kecil. Tetapi, jika telah menempuh jenjang tingkat tinggi rasanya membuat hati Elisa terganjal karena perasaan yang tumbuh itu tentu saja bukan hanya sekedar kagum.

"Apakah Jonathan menjalin hubungan dengan wanita itu cukup lama?" Elisa kembali bertanya, sementara Bryan mengangguk dan menipiskan bibirnya sebagai tanda jawaban. "Sepertinya mereka pun masih berhubungan saat Jonathan sudah bekerja," jawab Bryan menambah rasa penasaran di benak Elisa semakin besar.

"Benarkah? Siapa namanya? Aku jadi ingin tahu," tanya Elisa, namun kali ini Bryan hanya memilih bungkam. Baginya itu hanyalah sepenggal masa lalu, tidak seharusnya kembali diungkit apalagi hal itu bisa saja justru akan hanya menyakiti hati Elisa karena setahu Bryan, beberapa hari sebelum kabar pernikahan Jonathan dan Elisa tersebar pun pria itu masih menjalin hubungan dengan masa lalunya.

"Jadi siapa namanya, Nek?" tanya Elisa kepada nenek Jonathan saat dia dapati Bryan telihat enggan menjawab, namun sang nenek sepertinya sekarang tampak enggan untuk membuka mulutnya hingga membuat Elisa mengerucutkan bibir cemberut.

Bryan yang melihat itu sekilas melayangkan senyumnya. Elisa selalu cantik dalam keadaan apa pun. Seandainya dia yang bertemu dengan Elisa terlebih dahulu tentu saja Bryan akan berjuang mendapatkan hati gadis itu. Sayangnya Jonathan selalu saja satu langkah lebih depan dari dirinya.

Sore harinya, Jonathan datang ke rumah nenek untuk jemput Elisa. Namun, betapa terkejutnya dia melihat Bryan turut hadir di sana bahkan tampak dekat dengan istrinya tersebut.

Jonathan yang melihat itu pun seketika menatap penuh kebencian ke arah Bryan, sementara Bryan dan Elisa yang mendapati kedatangan Jonathan seketika menghentikan tawa mereka karena tengah bercanda.

"Jonathan?" sapa Elisa berjalan mendekat, namun tidak diindahhkan oleh Jonathan karena pria itu justru terus melangkahkan kakinya ke arah Bryan.

"Kenapa kamu di sini?" sentak Jonathan saat telah berdiri tepat di hadapan Brian

"Kenapa? Tidak boleh?" jawab Brian santai.

"Aku serius!" gertak Jonathan yang tak lagi bisa menahan amarahnya, sementara Brian yang melihat itu justru melayangkan kekehan.

"Ah, begitu? Jadi kamu menginginkan jawaban yang serius?" tanya Bryan mengangkat sebelah alisnya kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Jonathan, "Karena aku menyukai Elisa."