webnovel

32. Perih dirasa sendiri

Bukan, Pap. Melzy saja baru pulang, mana mungkin dia bisa rawat Mama, ngomong-ngomong soal Melzy, Papa sudah sampaikan semua yang aku bilang, 'kan? Bagaimana respon dia, Pa? Papa juga sudah menawarkan diri jadi orang tua angkat?] Mumpung Sena menyebut nama Melzy, sekalian saja dia singgung soal yang Melzy ini.

[Hahaha, kenapa? Penasaran sekali, Putraku? Kita bicara nanti malam atau besok saja agar kamu makin penasaran, nanti malam tidak bisa, aku janji fokus bersama Mamamu, besok saja, ya, Argan atau kau bisa tanyakan sendiri kepada Melzy. Bagaimana tentang obrolan kami tadi] jelas sang Papa via WhatsApp.

[Okey, yang penting semua terbaik untuk Mama, urusanku biar nanti saja, Pa. Terima kasih, ya, Pa, sudah mau melakukan yang aku minta. Papa is the Best] puji Argam lalu mengakhiri.

[Haha, oke, Son. Good Luck, aku meluncur pulang sekarang]

[Baik, hati-hati, Pa]

Argan tersenyum dan segera mencium Mamanya kembali. Dia berekspresi begitu bahagia, kirain dia bakalan sembunyi-sembunyi bila ingin menemui Melzy, karena perempuan itu adalah tamu spesial Papanya. Nyatanya malah Sena sendiri yang menyuruh dia untuk bertemu Melzy dan bicara sendiri mengenai yang tadi itu.

Di sisi lain, Melzy duduk termenung di depan meja rias, setelah dia selesai membasuh diri dari sisa letih dan peluh diri. Ponsel yang ia geletakkan di atas nakas bersebelahan dengan ranjang mewah yang sangat empuk itu. Dia dilanda kebimbangan. Harusnya dia bahagia, kini sendiri di kamar ini bisa berkangen-kangen ria dengan Rendi yang di sana, tetapi hati Melzy terganjal. Dia sedang tak ingin menghubungi sang kekasih.

Sebenarnya menghubungi orang tua juga sangat tepat, moment yang aman dan nyaman, tidak sedang diawasi di kandang macam, tuannya juga sedang  tidak di rumah. Suasana hati juga sedang bisa ceria, andai berpura-pura bahagia, dia juga bisa karena tidak sedang dalam tekanan, nanti setelah masuk ke kandang kupu-kupu, malah tidak akan mungkin nada suasana se tenang ini, tapi kepalanya menggeleng, alunan bisik hati yang menggaung di telinga ia tepis tanpa arti.

Ia tidak sedang ingin menghubungi orang lain, hanya mau sendirian, tetapi netra tajam itu yang sangat membulat malah tertuju pada kotak kecil yang diberikan oleh sang tuan muda saat makan siang bersama tadi, denyut nadi terasa begitu peka serasa ingin tahu apa barang di dalamnya? Raih jemari Melzy begitu terasa berat, ia melirik sekian menit dan hanya terdiam begitu saja berusaha menanggulangi posisi hati kian tak mengerti.

Melzy, gadis tak suci, bukan gadis suci, semua kata yang disematkan oleh pemuda itu, ia sadari sama sekali tak pantas disandang dia. Air mata lirih turun dari peraduannya tersimpan, menyiratkan kabar keluh yang hendak membayang se panjang malam. Suara gemericik air hujan mengguyur semesta kian menambah dentuman hati yang merancu sendiri.

Tanpa bayang dan hanya sepi. Tak ragu ia raih juga kotak itu, ia mulai perlahan buka dengan perasaan tak menentu.

Sepasang manik cantik berwarna biru penghias telinga, ya, itu anting-anting emas dengan permata biru dengan binar membias menyilaukan mata.

"Astaga, indah sekali. Kenapa anda sebaik ini, tuan muda? Anda salah memberikan ini kepadaku, aku tidak pantas." Tangis Melzy semakin pecah terharu dan tak mengira akan mendapat hadiah se indah ini, pasti barang yang mahal.

Ternyata kotak kecil itu bukan hanya berisikan satu hadiah, tetapi ada lagi satu permata kecil biru yang mengintip di sela kertas yang dilipat dengan sangat kecil dan rapi. Ia pungut dan mendekatkan ke wajahnya, cincin mungil dengan batu biru yang juga sangat kecil, bentuknya sangat menarik hati dan bukan design yang pada umumnya. Se laras dengan giwang yang sepasang.

"Cantiknya, Tuaaaan. Anda terlalu berlebihan untuk semua ini. Aku akan kembalikan besok, karena aku besok masih pergi bersamanya ke kantor membantu kerjaan mas Argan," lirih hati Melzy. Mengingat hari ini juga tidak maksimal dia membantu merapikan kantor tuan mudanya karena kejadian yang membuang jauh mood indahnya.

Meski pun pagi ini tadi diawali dengan nasib naas dan sial karena tuannya, nyatanya akhir malam hendak jam menutup mata diakhiri dengan keindahan yang setiap wanita mana pun impikan. Hadiah yang cantik, apalagi perhiasan seperti ini, wanita mana yang tak suka, bohong bila Melzy tak menyukainya, bahkan air mata adalah jawaban kebahagiaan dia mendapat hadiah dan perlakuan tuan mudanya itu.

Sepucuk surat yang terlipat itu ia buka dan mulai sorot matanya serius membaca.

[Melzy yang rendah hati, hadiah ini kenang-kenangan dariku, tolong rawat dan simpan dengan baik. Jangan pernah buang atau dilepas darimu, jika memang suatu saat kamu membutuhkan dan harus melepasnya, kumohon hubungi aku dulu, katakan padaku, walau barang itu milikmu seutuhnya, tetapi ada ikatan batin antara aku dan barang itu. Aku suka barang itu dipakai olehmu. Sekarang jangan tunggu waktu lagi, pakailah.

Tolong lepaskan anting yang dibelikan. Papaku, aku ganti dengan yang itu, boleh, 'kan? Maafkan aku seakan tak rela melihat Papa membelikan wanita lain selain Mamaku, walaupun itu hanya cenderamata sebagai ucapan terima kasih atas kebaikanmu dari Papa, tapi nuraniku tidak rela, Papa hanya untuk Mama, anting itu boleh kan disimpan Mamaku? Sekali lagi maafkan aku dan jangan tersinggung.

Melzy, kuharap kedatanganmu di duniaku ini_hari ulang tahunku tepat, aku anggap sebuah hadiah dari Tuhan untukku. Jangan lupa janjimu, pembicaraan kita akan dilanjut lagi nanti, ya? Jam sebelas malam di balkon ruang tengah atas. Kita ngopi dan bicara. Argan Dirgantara]

Tangis Melzy semakin pecah saat menutup surat kecil pesan singkat itu. Dia semakin tergugu dan mengambrukkan diri di ranjang karena merasa sakit sendiri. Memakai anting pemberian Sena_Papa Argan saja pemuda itu cemburu karena rasa cinta kepada Mamanya, tak suka Papanya memberikan hadiah untuk Melzy. Lalu bagaimana keadaan nanti pabila Argan tahu bahwa dirinya bukan cuma memakai dan menerima anting pemberian Papanya.

Akan tetapi jadi wanita pemuas hasrat Papanya di kala sang Mama tergolek sakit tak berdaya, lalu bagaimana hati Argan saat itu menerima kenyataan yang naas seperti ini? Melzy merasa diangkat se tinggi langit tak terkira bahagianya, tetapi di samping itu siap dijatuhkan se jatuh-jatuhnya kapan saja bagai bom waktu yang bakal meledak kapan saja.

Bagaimana pun kondisinya Melzy harus siap, siap dibenci, siap dihukum, atau kemungkinan terburuk siap dibunuh. Memang itu yang ia cari sejak awal dipaksa masuk ke lembah dosa ini, sudah ke sekian kali percobaan bunuh diri, tapi selalu saja digagalkan dan pada akhirnya dia berpijak pada titik yang sekarang ini. Kegalauan dan bernapas di antara kebaikan dan keburukan.