webnovel

Terjerat Cinta Lelaki Gila

Florence Foster gadis manis dan anggun berusia 17 tahun. Rambut indah merah kecokelatan mirip tembaga dibiarkan menutupi pundak. "Mom, Dad, aku mau mengatakan sesuatu," ucap Florence gugup. "Tidak, Flo. Kita tidak sedang berdiskusi. Ini perintah, jangan pernah lagi kau membicarakan hal ini lagi." Ayah Florance mengecam dengan keras. "Tapi, Dad!" "Flo! CUKUP!" "Aku cinta anak-anak, Pa!" "Flo, hentikan!"

Snowflakes_99 · Urban
Not enough ratings
16 Chs

CEREMONY {PART 2}

"Florence Foster, Please marry Me and say yes!" Iris cokelat terang milik Edward menatap dalam wajah Flo.

Florence tertawa, "Kau memaksaku?" ucapnya dengan senyuman lebar di wajahnya. Edward mencebikan bibir sambil mendengar perkataan Florence.

"Apa aku punya pilihan?" tawar Florence dengan senyuman semakin lebar.

"Tidak. Kau tidak punya pilihan. You have to say Yes!" tambah Edward lagi dengan senyuman lebar. Matanya berbinar melihat rona bahagia di wajah Florence.

"Yes … thousands of times I say yes." Florence mengangguk dengan cepat. Dia membuka kedua lengannya, memberikan ruang pelukan penuh cinta dan bahagia untuk calon suaminya. Air mata haru dan bahagia mengaliri kedua pipinya.

Tepuk tangan riuh terdengar di seluruh ruangan tempat acara. Mereka turut bahagia untuk pasangan itu.

"Biar aku pasangkan dulu cincinya. Berikan tanganmu," pinta Edward.

Florence memberikan tangannya. Edward pun memasangkan cincin lamarannya di jadi manis calon istrinya. Keduanya berpelukan penuh cinta dan bahagia. Lalu saling mengecup bibir dengan ringan. Semua orang berdiri dan kembali bertepuk tangan.

"Terima kasih," ucap keduanya membungkukan tubuh lalu turun dari panggung.

"Kita menikah bulan depan, ya," bisik Edward di telinga Flo, "kau bisa mengambil spesialis-mu sambil kita membuat rumah sakit. Saat studimu selesai, pasti pembangunan rumah sakit juga sudah selesai."

"Iya," angguk Florence senang.

***

Edward berdiri di depan altar menanti Florence yang begitu anggun dan cantik menapaki lantai gereja yang telah dilapisi karpet merah dan kelopak mawar. Iris cokelatnya berbinar bahagia melihat langkah demi langkah florence semakin dekat kepadanya.

Irvin menyerahkan putri kesayangannya kepada Edward, anak dari sahabatnya yang kini segera akan menjadi suami anak semata wayangnya.

"Flo," sapa Edward dengan mata berkaca-kaca saat memegang tangan calon istrinya, "kau cantik sekali, Sayang."

"Kau juga. Kau tampan sekali." Flo menggenggam erat tangan calon suaminya.

Janji suci untuk selalu setia dan selalu bersama pun mereka ucapkan. Kecupan cinta keduanya membuat semua yang hadir juga merasakan kebahagiaan yang sama.

***

Florence mengetuk ruangan suaminya lalu membuka pintu, "Sayang!" sapanya lembut melihat suaminya duduk di belakang meja kerjanya. Setelah jas abu-abu gelap sangat pas dan bagus di tubuhnya. Wajah tampan dan senyuman hangat segera menyambut kedatangan dirinya.

"Istriku, Sayang!" Edward berdiri dari kursinya. Berjalan mendekati Flo lalu merengkuh pinggang sang istri merapat ke tubuhnya. Dia menghujani wajah dan leher Flo dengan kecupan hangat penuh cinta. Pun bibirnya istrinya yang lembut dan manis tak luput dari curahan kasih sayangnya.

Tiga bulan sudah keduanya menikah, hari-hari yang mereka lalui penuh cinta dan suka cita.

"Ada apa kau memintaku datang?" tanya Flo menempelkan keningnya di kening suaminya.

"Aku merindukanmu," ucap Edward lembut di telinga Florence seraya memberikan kecupan leher sang istri yang begitu wangi dan lembut.

Florence tertawa, "Kau ini. Kukira ada apa."

"Aku tidak bisa bekerja karena terus memikirkanmu, Flo," tambahnya lagi sambil mengusap bibir istrinya dengan ujung jemarinya.

Florence memejamkan mata menikmati sentuhan suaminya. Begitu lembut, tetapi sarat akan kobaran gairah di sana.

"Bisa kita melakukannya?" pinta Edward sambil mengecup leher sang istri seraya tangannya meremas dada Florence.

"Aaaah … di sini?" tanya Flo dengan mata terpejam menikmati cumbuan suaminya.

"Ya … aku mohon. Aku tidak bisa bekerja. Aku terus memikirkanmu," bisik Edward dengan nada suara yang bergetar dilanda gelombang hasrat yang semakin besar.

Florence mengangguk pasrah. Edward pun berjalan menuju pintu dan menguncinya. Setelah itu dia menghubungi sekretarisnya agar jangan ada yang mengganggunya.

Edward melepaskan pakaian istrinya satu-persatu hingga dan dibiarkan berserakan begitu saja. Dan dia melepaskan kemejanya dan juga celananya. Hingga dirinya polos tanpa sehelai benang pun.