Florence terbangun di pagi hari saat mencium aroma roti bakar yang menyeruak ke seluruh ruangan. Ia bangun dari kasur, uap dari teh chamomile terlihat menari di atas cangkir porselen berwarna hitam beralaskan nampan hitam, tersaji di atas meja kayu berwarna kuning kecokelatan. Meja yang telah Ia buat melayang tadi malam.
Wanita itu beranjak dari tempat tidur, Ia mendekati meja. Rasa lapar menggoda dirinya untuk mendekati makanan hangat yang terlihat nikmat dan menanti untuk cepat-cepat dilahap. Florence mengambil roti bakar, menggigit lalu mengunyahnya. Ia merasakan selai kacang berpadu dengan roti yang lembut, ia mendudukan dirinya di atas kursi kayu berwarna kuning kecokelatan.
"Ia penyedia makanan yang buruk sekali, bagaimana jika aku alergi kacang?" Florence bergumam.
"Tapi kau tidak alergi kacang 'kan? Nikmati saja makananmu, kau beruntung masih diberi makanan layak!" Florence kembali bicara sendiri.
Sudah beberapa hari Florence terus bicara sendiri, ia kesepian. Rasa bosan terasa bagai mengulitinya hidup-hidup. Berada di suatu tempat antah-berantah, terkurung di dalam kamar, tidak ada penunjuk waktu. Tidak ada ponsel, Florence merasa diasingkan dan terbuang.
"Bukankah seharusnya mereka memperlakukan sandera dengan baik agar bisa mendapatkan keinginan mereka? Para bajingan itu seperti binatang buas." Florence kembali bicara sendiri sambil mengunyah roti bakar di dalam mulutnya.
Florence berdiri, ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal bokongnya. Sebelumnya ia duduk tanpa melihat dulu ke kursi. Florence menempatkan bokongnya begitu saja di atasnya.
Wanita itu termenung sesaat, ia melihat sepasang pakaian di sana, selembar kemeja putih dan celana pendek. Florence mengambil baju itu dan mengamatinya.
Dilihat dari modelnya, jelas terlihat itu pakaian lelaki, begitu pula dengan celana yang tergeletak di atas kursi itu, selembar jins laki-laki. Florence tahu pasti itu pakaian milik Jake. Lelaki itu sudah berjanji memberinya pakaian bersih. Walaupun yang ia dapatkan adalah pakaian lelaki, tapi itu lebih baik daripada ia tidak berganti pakaian sama sekali. Florence sudah mengenakan baju yang sama selama empat hari. Dia memindahkan pakaian itu ke kursi di seberang tempatnya duduk, kemudian kembali menikmati sarapannya.
Florence menyandarkan kepala di sandaran kursi, pikirannya melambung jauh dan tinggi, sampai kapan ia akan berada di tempat ini. Apa keinginan para binatang buas itu? Florence yakin mereka pasti meminta tebusan dari suaminya. Perusahaan garmen yang mereka miliki cukup besar. Pasti mereka menginginkan uang yang banyak. Tapi kenapa sampai saat ini masih belum juga ada titik terang? Florence berusaha merajut asa dalam kegamangan.
Florence berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi, ia membersihkan diri. Kamar mandi yang ia pakai sangat bagus dan bersih. Seluruh interior dan dekorasi rumah hampir semuanya terbuat dari kayu. Sabun, shampo, handuk bersih, semua sudah tersedia di dalam kamar mandi itu.
Para penculik itu sebenarnya memperlakukannya dengan baik. Tentu saja tanpa adegan percobaan perkosaan bergilir tadi malam. Tubuh Florence kembali menggigil jika ia teringat kembali hal itu. Ia merasakan kenikmatan tersendiri ketika merasakan air mengalir di tubuhnya.
Setelah beberapa saat, Florence keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan pakaian yang tersedia, kemeja itu cukup longgar di tubuh Florence yang kecil. Ya, tubuh Florence kecil jika dibandingkan dengan tubuh atletis Jake.
Florence mendesah. Tidak ada bra, tidak ada celana dalam, celana jins pendek yang kedodoran, tapi apa mau dikata. Ia tetap harus memakainya jika tak ingin kulitnya iritasi karena pakaian kotor yang sudah ia kenakan selama berhari-hari.
Florence mengenakan kemeja Jake, ia mencium aroma tubuh laki-laki itu di baju tersebut. Aroma yang sama ketika Jake mengikat tubuh Florence di kursi malam tadi. Tahulah Florence wangi itu dari pewangi pakaian. Ia kemudian mengenakan celana jins pendek berwarna biru langit, celana itu melorot. Ia melepaskannya dan melihat ukuran yang tertera, lebih besar empat nomor dari pinggang Florence.
"Huft!" Florence membuang napas kasar melalui mulutnya. Ia merasa bagai penari tiang bergaya erotis di sebuah kelab malam. Walau sebenarnya tidak begitu, tapi memang dengan tampilannya seperti saat ini, ia sangat menggoda. Dadanya tergambar jelas, belum lagi kancing baju yang terbuka di bagian dada, membuat 'sungai' yang membelah pegunungan terlihat lebih menarik. Kemeja itu menutup seluruh bokongnya, tapi justru membuat paha dan kakinya terlihat lebih menggoda.
"Aaahhh ... bagaimana ini?" Florence mematutkan dirinya di cermin. Ia semakin cemas, "Tapi apa boleh buat, untunglah dua bajingan itu tidak ada di sini," ujar Florence. Ia memasuki kamar mandi dan mencuci pakaiannya.
Florence berharap pakaian dalam miliknya bisa cepat kering. Ia menggantungnya di jendela kaca berbentuk lingkaran yang ukuran cukup besar. Berharap sinar matahari yang masuk membuat pakaianya lebih cepat kering. Ia kembali duduk di kursi dan menyesap tehnya, masih terasa hangat di dalam mulutnya.
"Ke mana dia? Makanan ini baru saja dibuat," ujar Florence.
Florence terus saja berbicara sendiri. Ia pikir itu baik untuk menjaga kewarasannya. Dirinya merasa hampir gila karena tertekan dan kesepian. Florence terus berpikir kenapa suaminya masih belum juga menghubunginya.
"Apakah mereka melarangnya?" Florence menatap ke langit yang biru nan luas dari balik jendela. Ia melangkah ke pintu, memutar knop dan menarik gagangnya.