webnovel

Putri Kesayangan

Meski dari sana Fira bisa hadir diantara mereka, rasanya mereka tak ingin lagi menginjakan kaki ke negara itu. Apalagi ke rumah sakitnya. Mereka ingin menutup lembaran masa lalu soal donor benih itu.

'Tidak, Fira tak boleh tahu soal rumah sakit itu,' ucap Pak Ferdi dalam hati.

Pak Ferdi begitu ketakutan anaknya tahu soal rumah sakit itu. Ia dan istrinya juga takut jika mereka keceplosan mengungkit masa lalu dan merembet ke kejadian 27 tahun lalu.

Pak Ferdi bangkit dan hendak pulang ke rumah. Sebelumnya ia melihat Fira di ruangannya. Keadaanya masih sama, hanya melamun menatap jendela.

"Nak, apa kau mau pulang? Papa mau pulang dulu, ada perlu dengan mamamu," tanya Pak Ferdi pada Fira.

"Nanti dulu saja, Pa. Aku sedang tak ingin berada di rumah," jawab Fira dengan lesu.

Gairah hidupnya seakan lenyap entah ke mana. Jujur dalam hati terdalam pak Ferdi sebagai ayah juga sakit melihat anaknya seperti itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia berpikir takdir seperti mempermainkannya.

"Baik, kalau begitu Papa pulang duluan, ya," pamit Pak Ferdi pada putri semata wayangnya itu.

Fira hanya mengangguk tanda memersilakan. Ia tak berniat menjawab pertanyaan ayahnya.

Pak Ferdi bergegas ke luar ruangan Fira. Turun ke lantai bawah dengan menggunakan lift. Kemudian, menaiki mobil yang di dalamnya sudah ada Pak Parmin yang siap mengemudi.

"Paj, ke rumah langsung, ya," titah Pak Ferdi pada supir pribadinya itu.

"Baik, Pak," ujar Pak Parmin sambil melajukan mobil ke arah jalanan.

Mobil menyusuri jalanan yang terliha lengang karena ini masih jam kerja. Sehingga tak memakan waktu lama untuk bisa sampai ke rumah.

Sesampainya di depan rumah Pak Ferdi turun dari mobil.

"Oh, ya, Pak. Kembali saja ke kantor, tunggu Fira pulang. Saya khawatir kalau ia pulang sendiri," titah Pak Ferdi setelah turun dari mobil.

"Baik, Pak." Pak Parmin mengangguk hormat. Kemudian, mobil pun melaju membelah jalanan kembali.

Pak Ferdi segera masuk ke dalam rumah. Ia langsung mencari keberadaan istrinya. Rupanya Bu Alin sedang di taman belakang sambil melihat-lihat foto Fira kecil di ponselnya.

"Ma," panggil Pak Ferdi yang mengajak istrinya memasuki kamar.

Ia tak suka ada orang lain tahu masalahnya meskipun itu asisten rumah tangganya sendiri. Rahasia berdua tetaplah rahasia berdua, tanpa merembet ke asisten rumah tangga aaupun ke orang tua sekaliipun.

Bu Alin menurut dan mengikuti lagkah suaminya. Mereka memasuki kamar dan pak Ferdi meminta istrinya itu mengunci pintunya. Bu Alin mwnurut, ia tahu kalau sudah seperti ini berarti ada hal penting yang mesti dibicarakan.

"Ada apa, Pa?" tanya Bu Alin penasaran.

"Tadi, Pak Andi menelepon Papa. Ada hal bisnis yang kami bicarakan. Lalu, Papa bertanya soal keberadaan Revan," jawab Pak Ferdi dengan napas berat.

"Jadi, Revan ke mana, Pa? Mengapa mereka tak memberi tahu kita soal kepindahan Revan?" cerocos Bu Alin yang penasaran.

"Mereka pindah ke Singapura, di—di Changi Hospital," jawab Pak Ferdi dengan gugup.

"Astaga!" pekik Bu Alin yang juga kaget mendengar nama rumah sakit itu.

Di satu sisi ia tak ingin Fira menginjakan kaki di negara itu, tapi di sisi lain Revan ternyata berada di sana. Meski begitu kemungkinan besar dokter yang dulu menangani mereka pasti sudah pensiun. Saat itu pun iasudah paruh baya apalagi sekarang sudah 27 tahun berlalu seja kejadian itu.

"Papa belum bilang soal ini ke Fira, rasanya Papa takut ia nekat pergi ke sana dan mengetahui semuanya," tutur Pak Ferdi yang memang terlampau khawatir.

"Mama juga khawatir, Pa. Sama sepertimu, tapi cepat atau lambat Fira memang harus mengetahui semuanya. Apalagi ia sudah memasuki usia pernikahan. Ingat, Papa tak boleh dan tak bisa menikahkan Fira," tegas Bu Alin meski dengan suara pelan.

Pak Ferdi mengangguk, tapi hatinya belum bisa menerima kenyataan kalau Fira bukan anaknya. Juga, dirinya yang mandul dan tak mungkin memiliki keturunan.

"Tapi, jujur Papa memang belum siap jika Fira tahu semuanya," ucap Pak Ferdi pelan. Kepalanya menunduk dalam.

Kenyataaan pahit itu membuatnya seakan dihantui oleh ketakutan seumur hidup. Ia tak bisa selapang dosennya untuk berserah dan menerima semua kenyataan yang akan terjadi.

Perkataan dosennya itu masih tersimpan rapi dalam hatinya. Tanpa niat untuk melaksanakannya. Ia sadar belum selapang itu untuk menerima kenyataan bahwa Fira akan tahu ayah yang selama ini menemaninya ternyata bukan ayah kandungnya.

"Cepat atau lambat pasti semuanya akan terbongkar, hasilnya pun akan sama. Fira tahu semuanya." Bu alin bicara denagn tegas, sambil menahan air mata yang sudah memenuhi netranya.

"Mama mudah saja bicaa seperti itu karena bagaimanpun kau tetap ibunya. Ia lahir dari rahimmu, berbeda dengan aku yang akhirnya tak akan punya hubungan apa-apa lagi nanti!" bentak Pak Ferdi yang kesal pada istrinya yang terus mndesaknya.

Bu Alin terdiam, padahal dirinya tak berpikir seperti itu. Meskipun benar adanya, bagaimanapun nanti keadaaya ia tetap ibu yang melahirkan Fira dan bertaruh nyawa untuk putri kecilnya itu.

"Tapi, Pa. Mama yakin Fira tak akan seperti itu, ia pasti tetap menyayangimu. Dua puluh tujuh tahun itu bukan waktu yag sebentar, Selama itu pula hanya kamu yang ia sebut Papa," tutur Bu Alin yang berusaha menenangkan suaminya.

Pak Ferdi melengos, ia berjalam ke arah jendela dan menatap taman yang berada di hadapnnya. Kini, semuanya, tentang kondisi keluarganya aedang tak baik-baik saja. Kacau, semuanya sedang kacau. Hati mereka sedang diuji dengan ujian berat yang mengguncang keharmonisan rumah tangga mereka.

Ia menerawang ke masa-masa saat Fira kecil. Taman dan rumah yang ditempatinya adalah saksi betapa bahagianya saat itu.

Saat celoteh Fira kecil mewarnai hari-harinya dan istrinya sebagai mama dan papa.

"Pa, ini aku buatkan Papa kopi," ucap Fira kecil sambil menyodorkan cangkir kecil yang merupakan mainannya.

"Terima kasih, Tuan Putri ayah yang cantik." Pak Ferdi menerima sodoran gelas plastik tersebut.

"Ini teh untuk Ibu," ucap Fira lagi sambil menyodorkan gelas mainan plastik yang sama kepada ibunya.

Bu Alin terseyum bahagia saat menerima uluran gelas plastik yang sama dari tangan kecil putrinnya. Lalu, mengucapkan terima kasih yang sama.

Saat itu, mereka seakan orang paling bahagia di muka bumi. Dianugerahi putri yang cantik dan pintar. Saat lahir nama Fira adalah nama terbaik yag mereka pilih untuk putri kecil mereka yang cantik itu.

Kini, semuanya telah berbeda, rasa bahagia itu seakan perlahan sirna berganti dengan masalah besar yang melanda.

"Apa mungkin ini memang teguran untukku?" Pak Ferdi bertanya lirih dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri.