webnovel

Kenyataan

Pak Andi terdiam, mendengarkan dengan seksama apa yang akan diungkapkan istrinya.

"Jujur, aku bingung," ucap Bu Regina.

Wanita yang masih terlihat cantik di usia paruh baya itu kembali menarik napas.

"Revan sangat mencintai Fira, ta—tapi ternyata mereka adik-kakak, Pa," ungkap Bu Regina, matanya kembali berkaca-kaca.

"Tenang, ya, jelasinnya relaks. Maksudnya adik kakak itu bagaimana?" tanya Pak Andi dengan tenang.

Ketenangan Pak Andi memberi kekuatan lebih pada istrinya, setiap kali melewati ujian dan rintangan. Mereka selalu bersyukur dan merasa beruntung bisa menjadi sepasang kekasih halal yang saling mencintai. Meski Pak Andi bukan yang pertama tapi Bu Regina selalu melambungkan doa agar ia menjadi yang terakhir.

"Dulu, aku pernah cerita kalau Mas Radit minta aku menjalin silaturahmi dengan keluarganya terlebih dengan Bang Ferdi dan Mbak Alin, iya 'kan?" tanya Bu Regina di akhir uraiannya.

"Iya, tapi kamu enggak mau karena sakit hati dengan keluarga Adiyaksa, kan? Lalu, kenapa?" tanya Pak Andi yang masih bingung dengan maksud ungkapan istrinya itu.

"Rupanya, ada rahasia besar yang mereka sembunyikan. Parahnya, rahasia itu akan mengungkap juga ayah Revan yang sebenarnya ...." Suara Bu Regina tercekat, seakan sulit untuk melanjutkan ceritanya.

Bu Regina menggigit bibir bawahnya, berusaha tegar dan kuat untuk melanjutkan ceritanya. Meski sesak di dada kembali hadir dan terasa menyiksa.

"Rahasia?" tanya Pak Andi yang semakin tak mengerti.

"Fira bukan anak kandung Bang Ferdi, dia mandul, Pa ...." Setetes air mata kembali lolos meluncur bebas ke pipi Bu Regina.

"Astaga ... jadi, Fira anak Radit, begitu?" tanya Pak Andi seakan tak percaya.

"Iya, tapi dengan jalan donor benih. Mas Radit menjadi pendonornya." Bu Regina kembali menangis di pelukan suaminya.

Pak Andi terdiam sambil memeluk istrinya. Ia tahu ini pasti berat bagi Bu Regina. Selama ini ia mati-matian menjaga rahasia soal ayah kandung Revan. Tapi, kini semuanya akan terungkap. Apalagi ditambah kalau ternyata Fira adalah adik kandungnya se-ayah.

"Hal semacam ini, mestinya diketahui oleh semua pihak," gumam Pak Andi pelan hampir seperti berbisik.

"Aku juga baru tahu tadi, Pa," lirih Bu Regina.

"Sudahlah, tak perlu menyalahkan siapapun. Kini, tinggal bagaimana caranya memberi tahu pihak-pihak yang bersangkutan seperti Revan, Fira dan Oma Fira. Pasti berat untuk semua," tutur Pak Andi tenang.

Setelah itu ia mengurai pelukannya. "Kamu pasti bisa!"

Bu Regina mengangguk pelan, sebenarnya ia tak yakin bisa melalui semua ini.

"Bagaimana cara menjelaskannya? Apa kita langsung bilang ke Revan? Atau mesti berkumpul dengan keluarga Bang Ferdi?" tanya Bu Regina bingung.

Pak Andi nampak berpikir, mana cara yang lebih baik untuk diambil.

"Kalau sekiranya tak akan ada keributan mening sekalian berkumpul semua. Jadi, tidak ada yang lebih awal tahu dan kemudian menjauh tanpa alasan antara Revan dan Fira." Pak Andi memberi usul.

Bu Regina mengangguk mengerti. Ada benarnya juga apa yang dikatakan suaminya.

"Aku kabarin Mbak Alin dulu, siapa tahu mereka juga setuju dengan usulmu, Pa." Bu Regina mengambil gawainya yang berada di nakas.

Menghubungi Bu Alin lewat panggilan telepon.Tak lama kemudian, panggilan terhubung.

"Halo, Mbak," ucap Bu Regina kala panggilan terhubung.

'Iya, ada apa, Re?' tanya Bu Alin di seberang telepon.

"Begini, soal masalah tadi siang. Mas Ferdi memberi usul agar kita berkumpul dan memberi tahu anak-anak soal masalah yang sebenarnya. Jadi, tidak ada yang awal tahu dan meninggalkan tanpa kepastian," tutur Bu Regina menyampaikan usulannya.

'Begitu, ya, nanti aku bicarakan dulu dengan Mas Ferdi, ya, Re.' Bu Alin menimpali ucapan Bu Regina.

"Iya, Mbak. Ya sudah kalau gitu saya tutup ya teleponnya," ucap Bu Regina mengakhiri sambungan telepon.

'Iya,' ujar Bu Alin. Sambungan telepon pun terputus.

"Bagaimana?" tanya Pak Andi penasaran.

"Katanya dibicarakan dulu dengan Bang Ferdi," jawab Bu Regina.

"Ya sudah, tak apa-apa. Kamu jangan sedih lagi, dong. Masa bidadari sedih nanti cantiknya hilang." Goda Pak Andi.

Bu Regina tersenyum malu. Mereka kemudian ke balkon untuk menikmati suasana sore yang sudah teduh.

Sementara itu, Bu Alin memandangi Pak Ferdi yang masih lelap dalam tidurnya.

"Pa, bangun. Sudah sore ini." Bu Alin menepuk-nepuk pundak Pak Ferdi guna membangunkannya.

"Sudah sore, ya," ucap Pak Ferdi dengan suara khas bangun tidur.

"Pa, tadi Regina nelepon aku," ungkap Bu Alin pada suaminya yang masih berwajah bantal.

"Nanti saja ceritanya. Aku baru bangun juga," ucap Pak Ferdi sambil berlalu ke kamar mandi.

Bu Alin keluar kamar, mencari anaknya yang biasanya pulang jam segini.

"Fir ... kamu sudah pulang?" teriak Bu Alin sambil menaiki tangga menuju kamar Fira.

Bersamaan dengan itu, Fira keluar kamar dan tersenyum pada mamanya.

"Sudah, kok, Ma. Baru aja, sih," ucap Fira sambil menuruni tangga.

Ibu dan anak itu berjalan bersama menuju sofa ruang keluarga. Menghempaskan bobot di kursi dan menyalakan televisi berukuran besar di ruangan itu.

"Wah, siaran makan-makan begini, nih. Cocok kalau jam segini!" seru Fira sambil terkekeh.

"Kamu enggak berubah, suka aja sama siaran makan-makan. Tapi, badan enggak gemuk-gemuk." Bu Alin memberi komentar, karena memang badan Fira sulit sekali gemuk padahal sangat suka makan dan ngemil.

"Ih, Mama. Badan aku ini ideal tahu, sama tinggi itu cukup segini," ujar Fira yang memang badannya cukup berisi. Bahkan banyak yang menginginkan badan seperti dirinya.

"Iya, iya deh ... Mama kalah." Bu Regina dengan suara bergurau.

"Kalah apa, sih, Ma. Orang enggak lomba atau tanding juga. Tuh, tuh, Ma liat kepitingnya itu kelihatan enak banget ...." Fira menunjuk-nunjuk gambar dalam televisi dengan begitu ekpresif.

Bu Alin tertawa melihat tingkah anaknya. Sebesar apapun Fira tetaplah gadis kecilnya. Malaikat kecil yang menjadi anugerah dalam hidupnya.

Bu Alin tersenyum, terbayang saat masa-masa hamil dan melahirkan anak semata wayangnya itu. Apalagi teringat saat delapan tahun pertama pernikahan yang tak kunjung diberi momongan.

"Lagi apa kalian?" tanya Oma Nani yang tiba-tiba muncul di ruang keluarga itu.

"Nonton, Oma, sini duduk," ajak Fira dengan senyum mengembang.

Bu Alin memilih diam jika ada Fira di sisinya. Karena jika ia yang menjawab atau menawari duduk pastilah akan menjadi salah di mata mertuanya itu.

"Makasih, ya, Cu. Kamu baik sekali menawari Oma duduk." Mata Oma Nani mendelik kala melewati Bu Alin untuk duduk di sebelah Fira.

Bu Alin hanya menarik napas panjang, berusaha selalu sabar dengan tingkah mertuanya ini.

"Nanti malam, Sita dan keluarganya mau ke sini. Siapkan kamar ya, Lin!" titah Oma Nani dengan wajah ketus.

"Nanti malam?" tanya Bu Alin tak percaya.

'Cobaan apa lagi, ini ...,' gumam Bu Alin dalam hati.