webnovel

Dihukum

"Ceraikan dia, Mas!"

Pekikkan itu terdengar jelas di telinga Hafiza. Ia yang sedang memperban pergelangan tangan kirinya seketika berhenti sejenak, kemudian keluar dari kamar untuk menyaksikan pertengkaran hebat dua insan. Dari atas tangga ia melihat sambil meneteskan air mata, tak lama kemudian mengukir senyum.

"Aku mau kamu segera ceraikan dia!"

Hafiza merasa jenuh sama ini semua, lantas ia kembali ke kamar. Ia duduk di atas kasur sambil menekuk lutut dan menutup telinga dengan tangannya. Namun, suara adu mulut kedua insan yang ada di bawah masih terdengar jelas, bahkan suara pukulan dan jeritan tangis masih dapat terdengar.

***

Hafiza mengembuskan nafas kasar. Ia tidak bisa melupakan kejadian semalam yang begitu menakutkan. Di depan cermin ia berkata, "Gak apa-apa, semua akan berakhir baik-baik saja." Sambil memegang dada dan berusaha mengukir senyum.

Dret-dret-dret!

Hafiza mengalihkan mata— berjalan mengambil ponsel— mengakat panggilan telepon masuk.

"Masih di rumah,"

" ....."

"Iya-iya,"

" .... "

"Iya bawel,"

Sambungan telepon terputus. Hafiza berjalan kembali mendekati cermin memperlihatkan tubuhnya sudah rapih memakai seragam sekolah. Ia tersenyum simpul melihat pergelangan tangan yang masih diperban. Dengan perlahan ia membuka perban tersebut walau lukanya belum sembuh.

"Kalau begini 'kan, jadi gak keliatan," monolognya sambil memakai handstok tangan untuk menutupi lukanya.

Merasa semuanya sudah siap, ia langsung mengambil tas. Tunggu dulu, ia memegang kepala, lalu menepuk dahi karena sebuah mahkota belum terpakai. Yah, mahkota yang sering dikenakan wanita muslimah, yakni kerudung. Ia kenakan kerudung putih senada dengan seragamnya. Ia mengambil dua jarum pentul, satu untuk di leher dan satunya lagi untuk di dada. Hafiza salah satu muslimah yang tidak mau ribet perihal memakai kerudung. Yang terpenting kerudungnya menutupi bagian dada dan tak perlu sampai digaya-gayain.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

" ... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya .... " (QS. An-Nur 24: Ayat 31)

Hafiza melihat pantulan dirinya yang benar-benar telah sempurna, lalu ia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sebelum berangkat sekolah kebiasaan dirinya selalu mengukur tinggi badan di tembok yang sudah tertempel ukuran tinggi badan. "Oke, tinggi badan masih sama, gak ada perubahan," ucapnya. Kemudian ia keluar kamar dan mulai menurunkan anak tangga satu persatu, lalu menuju ke dapur.

Hafiza tersenyum lebar saat kedua orang tuanya tengah menunggu ia di ruang makan. Ia lihat mamahnya sedang menyendokan nasi goreng ke piring, yang pastinya itu untuk ia. Ayahnya tengah melambaikan tangan kearahnya untuk segera bergabung. Sungguh, pemandangan yang menyejukkan hati. Pemandangan yang paling ditunggu-tunggu oleh anak.

Suara dering ponsel di dalam tas membuat Hafiza tersadar. Yah, tersadar dari lamunan menyejukkan hati. Ia tersenyum miris melihat ruang makan sepi tak berpenghuni. Tidak ada makanan di meja makan dan tidak ada pula orang yang sangat ia cintai tengah menyambutnya di ruang makan. Akhirnya, ia memilih meninggalkan dapur menuju ke pintu rumah dengan hati sedih. Sampai di depan pintu rumah ia merogoh tas untuk mengambil ponsel yang sedari tadi berdering.

"Kenapa lagi!" bentaknya saat mengakat telepon seraya keluar dari rumah.

"...."

"Iya, Iya. Ini lagi otw. Bawel banget sih," ucap Hafiza sambil menstarter motor.

"...."

"Iya, bawel ...," greget Hafiza sama orang di seberang telepon. Ia lantas mematikan telepon. "Punya sahabat bawelnya minta ampun," gumamnya sambil menjalankan motor meninggalkan pekarangan rumah.

Beberapa menit kemudian Hafiza sampai di parkiran motor sekolah. Ia bergegas pergi ke kelasnya dan menghampiri  sahabatnya yang tengah duduk di kursi kedua pada baris kedua.

"Assalamualaikum sahabatku yang bawel," salam Hafiza, lantas duduk di kursi sebelah Syafiyya yang kosong.

"Wa'alaikumussalam," jawab Syafiyya jutek.

"Pagi-pagi muka udah ditekuk. Pantes aja jomblo. Hehe...," goda Hafiza seraya menoel-noel dagu Syafiyya.

"Gak sadar diri! Situ kan, jomblo senior," ucap Syafiyya membuat bibir Hafiza manyun.

"Syafiyya, jangan cemberut terus dong," pinta Hafiza sambil memiringkan kepala melihat wajah cemberut Syafiyya.

Hafiza sudah mengetahui Syafiyya cemberut bukan karena godaan dia yang mengatakan dia jomblo, melainkan Hafiza datang ke sekolah lama. Padahal ia sudah janji akan datang lebih awal.

"Yaudah, gua minta maaf. Gua lama soalnya tadi ngukur tinggi badan dulu," alibi Hafiza.

Syafiyya membuang nafas ke udara. "Lagian lu ngapain pakai acara ngukur tinggi badan? Faedah-nya apa?"

"Biar tau tinggi badan gua naik apa gak," jawab Hafiza

"Terus, hasilnya?"

Hafizah menggelengkan kepala. "Tingginya masih sama," ucapnya dengan bibir manyun.

"Lagian udah tau pendek, ya, pendek aja. Gak usah tiap hari ngukur-ngukur," omel Syafiyya.

"Iya, ya, tapi kan, setidaknya—"

Sayafiyya langsung memotong pembicaraan Hafiza. "Setidaknya apa! Setidaknya lu dateng ke sekolah telat lagi, terus di hukum lagi kaya senin kemaren, mau!"

"Gak mau. Udah jangan marah-marah terus," pintanya dengan pupy eyes.

Tidak lama kemudian bel berbunyi, waktunya para murid berlari kelapangan untuk melaksanakan upacara. Dalam waktu 5 menit semua sudah rapih berbaris di lapangan dan petugas upacara serta guru sudah siap untuk melaksanakan upacara.

"Upacara bendera merah putih. Senin, 22 Juni. Siap dilaksanakan!" ucap pembawa protokol upacara.

Waktu telah berjalan 30 menit, upacara selesai. Semua murid dibubarkan untuk masuk ke kelas masing-masing, kecuali murid yang telat dan ada masalah dengan seragam sekolah.

"Ck, kamu lagi, kamu lagi. Bosen Ibu hukum kamu terus," ucap guru berkerudung hitam.

"Saya juga bosen dihukum sama Ibu. Lain kali yang hukum jangan Ibulah," ucapnya jujur berekspresi polos.

"Baik, kalau itu mau kamu. Saya pergi, biar yang hukum kamu kepala sekolah."

Hafiza menahan lengan Bu guru yang mau pergi. "Ets ..., tunggu dulu, Bu. Jangan gitu, ibu baperan, nih."

"Wajar, ibu kan, punya hati," ucap guru itu.

"Saya juga punya hati," imbuh Hafizah

"Sudah-sudah. Jadi gimana, kamu mau dihukum sama ibu apa kepala sekolah?" tanya gury itu.

"Ibu aja deh. Kalau sama kepala sekolah bisa panjang ceritanya," ucap Hafiza dengan cengiran kuda sambil menggaruk tengkuk leher.

"Kamu tau kenapa kamu dihukum?" tanya Bu guru sambil mondar-mandir dengan posisi tangan sedang istirahat di tempat.

Hafiza menunjuk sepatunya. "Nih, gara-gara warna tali sepatu."

"Itu kamu tau," ucap Bu guru, "Senin kemaren kamu dihukum gara-gara telat. Sekarang kamu dihukum gara-gara tali sepatu. Terus senin depan kamu di hukum mau gara-gara apa lagi!"

"Gara-gara saya lebih cantik dari Ibu, upsh." Hafiza langsung menutup mulutnya yang laknat karena tidak bisa menjaga ucapannya.

Ibu guru berkerudung hitam melotot sambil berkacak pinggang. "Oh... kamu ngatain ibu jelek! Gitu?"

"Saya tidak bilang begitu. Ibu yang bilang sendiri loh, kalau Ibu jelek." Setelah mengucapkan kata itu, Hafiza langsung mendudukkan kepala dan memukul mulutnya beberapa kali.

"Aduh, mulut bodoh. Besok-besok gua lesin juga nih, udah di sekolahin tetep aja gak bisa dijaga," batin Hafiza, tangannya tak henti memukul mulutnya sendiri.

"Apa kamu bilang! Sekarang kamu hormat sama bendera merah putih!" perintah Bu guru marah.

"Sampai kapan, Bu?" tanya Hafiza.

"Sampai ada laki-laki yang nikahin kamu!" bentak Bu guru langsung meninggalkan Hafiza.

Bu guru mengeluarkan cermin berukuran kotak kecil di saku celananya. "Masa iya, saya jelek?" tanyanya pada diri sendiri di depan cermin sambil berjalan menjauhi lapangan.

Sepeninggalan Bu guru Hafiza mengakat kepalanya. "Itu guru ngapain ngaca sambil jalan?" Hafiza terheran-heran melihat punggung Ibu guru yang memberi hukuman kepadanya. Hafiza menaikkan bahunya tanda tidak mau ambil pusing.

"Ini gua hormat bendera sampai ada yang dinakahin gua? Seriusan, nih?" tanya Hafiza sambil mendoangkan kepala melihat bendera merah putih dengan posisi hormat.

Sudah 1 jam Hafiza menjalani hukuman, dan tidak ada satu pun laki-laki yang datang untuk membebaskan ia dari hukumannya. Yah, tidak ada satu laki-laki yang menghampiri dirinya. Jika ada mungkin Hafiza akan meminta laki-laki tersebut untuk pura-pura menikahinya agar terbebas dari hukuman ini, tapi mustahil Hafiza melakukan hal itu karena baginya pernikahan itu suatu hal yang sakral, tidak boleh dibuat main-main dan hati juga bukan ajang dijadikan permainan.

Keringat sudah bercucuran di wajah. Mata mulai berkunang-kunang. Rasa pusing mulai menghampiri. Namun, Hafiza tetaplah Hafiza yang tidak mau lari begitu saja dari hukumannya. Walaupun dia bisa saja kabur saat ini karena tidak ada sama sekali guru yang mengawasinya.

"Kenapa banyak bintang yah? Apa hari mau menjelang malam?" tanya Hafiza pada diri sendiri ketika kepalanya muncul bintang yang berputar.

"Kayanya gak mungkin mau malam. Ini mah, akibat lu mikirin laki-laki yang gak datang-datang melamar lu. Hafiza, Hafiza, mana ada yang mau lamar calon aja gak punya. Dasar oon! Apa iya, ya? Akh, gak tau pusing." Hafiza mengoceh tidak jelas.

"Aduh, bintangnya makin banyak," ucap Hafiza dibarengi dengan tubuhnya terjatuh mencium aspal lapangan dan tidak sadarkan diri.

Beberapa menit kemudian ada seorang laki-laki bertubuh atletis jalan di pinggir lapangan. Netranya melihat gadis mungil tergeletak di tengah lapangan. "Itu cewe ngapain tiduran di lapangan? Kaya gak ada tempat lain aja," ucapnya memperhatikan tubuh Hafiza.

Ia berjalan ke arah gadis itu, tapi setengah jalan ia berhenti. "Bodo amatlah, palingan itu cewe lagi merasakan enaknya tidur di lapangan, atau mungkin lagi bikin video prank di sekolah," ucapnya langsung membalikkan tubuh dan keluar dari lapangan.

Di pinggir lapangan laki-laki ini bertemu sama 2 siswi dan langsung menegurnya, "Ekh, tolongin tuh, cewe." Sambil menunjuk tubuh Hafiza di lapangan.

Kedua siswi ini yang ditegur menatap bingung, lalu mengikuti arahan jari telunjuk laki-laki yang ada dihadapannya.

"Gua gak tau itu cewe pingsan apa lagi tidur. Mending lu berdua samperin dah," ucap laki-laki bertubuh atletis lalu pergi begitu saja tanpa berdosa.