webnovel

Bab 4. Masuk ke neraka lain

"Setelah menikah kita akan hidup masing-masing. Kamu dengan urusan kamu, dan saya dengan urusan saya. Tidak ada yang boleh mengusik kehidupan pribadi masing-masing. Kita hanya akan berperan sebagai suami istri di saat saya memerlukan itu. Bagaimana menurut kamu?"

Briana masih diam, otaknya benar-benar terasa buntu saat ini. Dia sangat lelah sebenarnya, dan ingin sekali istirahat. Saat kabur tadi, dia pikir bisa mampir ke tempat kos salah satu temannya, tetapi siapa yang menyangka dia malah akan terjebak di situasi semacam ini.

"Oke, saya kasih kamu waktu untuk berpikir," ujar laki-laki itu lagi saat melihat ada sorot bimbang dan lelah yang terpancar di wajah Briana. Areez bukan sedang bersimpati, dia hanya ingin memberi tahu gadis di depannya ini jika dia masih memiliki jiwa kemanusiaan.

"Dan selama itu kamu bisa tinggal di rumah saya." Areez mengedik ke arah rumah mewah yang kini ada di samping mereka. Lalu mengisyaratkan Briana untuk mengikutinya, tetapi yang gadis itu lakukan malah hanya mematung di tempat.

Menginap di rumah ini? Briana yakin dirinya sudah gila jika menurutinya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Bagaimana kalau ternyata laki-laki bernama Areez ini adalah laki-laki mesum yang sedang merencanakan berbagai pikiran kotor? Bagaimana—Briana menghentikan pemikiran buruknya saat Areez menghentikan langkah dengan alis terangkat.

"Tidak perlu berpikir yang tidak-tidak. Saya tidak seburuk yang kamu pikir. Lagi pula kamu juga bukan selera saya." Areez kembali melangkah setelah mengatakan kalimat yang mampu membuat mata Briana melebar saat itu juga. "Tapi saya tidak bisa jamin kamu akan selamat di luar sini karena pengawal saya bisa jadi orang-orang yang haus kehangatan."

Sialan, kenapa dia harus mengatakan kalimat seperti itu? Maka dengan wajah panik, Briana pun segera mengayunkan kakinya sembari mengedar ke sekeliling, seolah-olah banyak pasang mata yang tengah mengawasinya dengan tatapan lapar.

Areez yang mendengar langkah di belakangnya hanya tersenyum geli, sebentuk senyum yang tidak pernah muncul selama beberapa tahun belakangan ini.

*

"Ini kamar Nona," ujar seorang pelayan dengan seragam serba hitam seperti yang sering dilihat Briana di televisi. Jadi Areez ini konglomerat? Rumahnya saja sudah seperti istana. Briana yakin jika berkeliling di rumah ini seorang diri akan tersesat.

"Kalau Nona butuh apa-apa, Nona bisa minta tolong pada pelayan yang akan berjaga di depan kamar Nona," ujar wanita itu lagi.

Briana tersenyum tipis, sepertinya hidupnya akan berubah seperti burung di sangkar emas jika benar-benar menerima tawaran gila pernikahan itu. Tentu saja dia tidak akan menerimanya karena kehidupan yang selama ini Briana idamkan adalah sebuah kebebasan. Dia bahkan sudah menyusun rencana untuk pergi berkeliling kota, lalu dunia. Melukis keindahan yang ada di luaran sana. Bukannya hidup dengan kemewahan, tetapi terkekang seperti ini.

"Nona silakan istirahat, saya tinggal dulu."

Briana mengangguk, lalu segera masuk ke kamar yang akan dia tempati. Mungkin dia butuh istirahat malam ini, sepertinya akan aman berapa di tempat ini. Besok, setelah tenaganya pulih dia akan berpikir bagaimana caranya untuk kabur.

Briana meletakkan ranselnya di atas meja, sembari mengelilingkan mata ke seluruh penjuru kamar yang super luas ini. Kamarnya di rumah sudah bisa dikatakan cukup luas. Namun, kamar yang kini ditempatinya sepertinya memiliki luas dua kali lipat dari kamarnya.

Fokus Briana teralih saat ponselnya berdering dan menunjukkan nama Kayla di layarnya. Gadis itu adalah rekan kerja Briana di galery lukisan tempatnya kini bekerja. Yah, pekerjaannya yang sebenarnya adalah di sebuah galery lukisan, bukan penyiar radio seperti yang ibu tirinya katakan. Dia yang sengaja menyembunyikan ini semua dari papanya karena segala macam hal yang berhubungan dengan melukis selalu ditentang oleh papanya. Padahal apa yang salah dari seorang pelukis? Bukankah pekerjaan itu bisa juga menghasilkan uang? Hanya butuh perjuangan, dan Briana ingin sekali menikmati perjuangan itu.

"Halo Kay," sapa Briana sembari memikirkan bagaimana dia keluar dari rumah ini besok. Tadi dia sudah absen dari kantor, besok tidak lagi mungkin bisa absen atau akan dikeluarkan.

"Lo ke mana aja, si, Bri?" Pertanyaan cemas itu Briana dapatkan dari seberang. "Tadi gue udah bohong sama Pak Abdi, bilang kalau lo sakit. Besok lo harus dateng karena gue nggak mungkin bohong lagi."

Briana mendesah dramatis, apa yang harus dilakukannya? "Kondisi gue benar-benar lagi nggak memungkinkan, Kay." Gadis itu melangkah ke jendela kaca, membuka tirainya berharap bisa keluar dari situ, tetapi ada tralis besi yang tidak mungkin bisa ditembusnya.

"Lo diculik?" Pertanyaan enteng yang tentu saja diucapkan tidak serius oleh Kayla. Andai saja Briana bisa mengatakan ya, dan Kayla bisa menolongnya saat ini juga.

"Lo tahu Rameta, kan? Dia lagi bikin ulah, dan gue dikurung sama bokap gue." Briana tidak sepenuhnya berbohong karena faktanya memang dia sedang dihukum andai saja tidak kabur. Mata gadis itu terus mengedar pandang untuk mencari celah agar bisa keluar dari kamar ini selain melewati pintu.

"Astaga, lo itu udah kayak cinderela, dikit lagi ada pangeran yang bakalan jemput lo pakai kereta kuda." Kayla mengikik geli saat mengatakan itu. Sementara Briana bergidik ngeri saat bayangan Areez muncul begitu Kayla menyebutkan nama pangeran.

"Keseringan nonton drama lo," cibir Briana yang dibalas tawa oleh Kayla. Andai gadis itu tahu kondisinya sekarang, apa Kayla masih bisa tertawa seperti itu?

"Terus besok nggak bisa? Lo dikurungnya berapa lama? Kita bulan depan ada pameran loh, Bri. Gue bakalan keteteran kalau nggak ada lo." Kayla terdengar mendesah bingung saat mengatakan itu.

"Lo tahu gue, kan? Gue nggak bakalan diem aja di rumah." Briana menjatuhkan tubuhnya ke kasur saat merasa percuma memutar otak untuk kabur karena tidak ada celah yang bisa dipakainya untuk menyelinap keluar. Dan juga tidak akan ada yang mau membantunya keluar seperti Mbok Sumi.

"Oke, gue kasih lo waktu tiga hari. Selepas itu Pak Abdi pasti bakalan curiga."

Briana tanpa sadar menganggukkan kepalanya, dan segera mengatakan oke saat sadar jika Kayla tidak bisa melihat gerakan kepalanya. Lalu saat merasa tubuhnya sangat lelah gadis itu memutuskan untuk memejamkan mata. Mungkin sejenak lari ke alam mimpi adalah pilihan yang bagus.

*

Briana membuka perlahan matanya, merasa bingung saat langit-langit berwarna putih menyambutnya. Dia masih ingat belum mengganti lukisan bunga yang sengaja dia pakai untuk penghias langit-langit kamarnya. Atau dia sedang bermimpi? Maka Briana pun kembali memejamkan mata, berharap apa yang kini melintas di kepalanya tentang ajakan pernikahan, seulas senyum dari laki-laki licik menghilang, dan menunjukkan jika semua yang terjadi malam tadi adalah mimpi.

"Kamu tidur seperti orang mati."

Mata Briana langsung terbuka lebar saat suara itu terdengar. Dan otomatis gadis itu bangun sembari menatap horor laki-laki yang kini tengah duduk di kursi tidak jauh dari ranjang tempatnya tidur. Briana menoleh ke arah tirai kamarnya yang terbuka, matahari sudah membumbung tinggi di luaran sana. Dan saat membuka ponsel untuk melihat waktu, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Astaga, dia memang tidur seperti orang mati.

"Hari ini rencananya saya mau menghubungi papa kamu." Suara Areez kembali menginterupsi fokus Briana. Laki-laki itu bangkit dari kursinya, berjalan mendekat ke arah Briana yang langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Pikiran buruk itu kembali melintas, tetapi langsung terhapus saat ternyata sosok itu berjalan ke depan jendela.

"Kira-kira, apa alasan tepat yang bisa saya pakai untuk keberadaan kamu di rumah ini?"

Briana seketika menahan napas saat sosok Areez kini sudah berada tepat di sampingnya, mencondongkan tubuh ke arahnya. Apa sebenarnya yang ingin laki-laki ini lakukan?