webnovel

BAB 9: Intimidasi

Semua orang yang ada di dalam kelas semakin bungkam begitu melihat Winter yang berpenampilan baru tengah berjalan dengan santai dan penuh percaya diri menuju bangkunya.

“Tidak aku sangka, kau memiliki keberanian untuk kembali menunjukan diri.” Sambut gadis berambut kemerahan dengan cat kuku yang sangat cantik, gadis itu duduk bersedekap melihat Winter yang melangkah melewatinya.

Winter yang malas menjawab langsung duduk di mejanya yang kini sedikit berantakan, bahkan komputer miliknya di corat-coret dan mendapatkan pesan makian dari lembaran surat yang di simpan.

Merasa di abaikan, gadis berambut merah yang bernama Selina itu segera bangkit dan melewati orang-orang yang hanya diam dan menonton.

Selina menggebrak meja Winter dengan keras. “Setelah tebal muka dan tidak tahu malu, sekarang kau juga tuli?” tanya Selina dengan tajam.

Kepala Winter terangkat membalas tatapan tajam Selina. “Berhentilah bicara omong kosong. Jalang,” jawab Winter penuh peringatan.

Wajah Selina sedikit memucat kaget, Winter yang selalu tertunduk dan hanya meminta maaf meski di ganggu dengan berlebihan, kini dia membalas tatapannya dengan tajam dan membalas ucapannya dengan makian.

Selina langsung tersenyum meremehkan, “Sejak kapan kau memiliki keberanian? Apa rasa malu menumbuhkan keberanianmu?” tanya Selina dengan sedikit keras. “Pecundang tetaplah pecundang, kau harus tahu itu! Meski kini kau berani bicara dan menatapku, kau tidak akan pernah berubah karena semua orang akan tetap mengingatmu sebagai badut sekolah yang terlalu berhayal untuk menerima cinta dari seorang laki-laki hingga membuatmu menjadi seperti gadis gila tidak tahu malu.”

Hinaan Selina membuat beberapa orang sedikit tertawa teringat keberanian Winter yang menyatakan perasaannya begitu saja di depan umum kepada seorang pria.

Selina sedikit membungkuk dan menatap tajam Winter. “Bukan kesalahan Hendery jika dia menolakmu, Hendery juga pantas malu dan memakimu saat kau menyatakan cinta kepadanya. Siapapun akan merasa tidak nyaman jika mendapatkan pengakuan cinta darimu.” Tambah Selina lagi menggertak mental Winter.

Alih-alih tergertak, Winter hanya berkedip santai. Menghadapi sepuluh sampai seratus orang yang membencinya, itu bukan masalah.

Saat menjadi Kimberly, dia sudah pernah merasakan di benci jutaan orang.

Ini bukan apa-apa.

“Kau sudah selesai bicaranya?” Tanya Winter dengan tenang terlihat tidak tergertak sama sekali dengan apa yang telah di lakukan Selia kepada dirinya. “Kalau masih mau bicara, agak mundurlah sedikit. Aku tidak suka aroma parfume di bajumu.”

Selina mengepalkan tangannya, semua ucapan yang keluar dari mulutnya langsung di patahkan oleh Winter hanya dengan beberapa patah kata murahan.

“Kau benar-benar bersikap menyebalkan” geram Selina marah. “Aku benar-benar muak hanya dengan melihatmu.”

Winter langsung bersedekap dan memakan sebuah permen karet, Winter harus melatih rahangnya agar sedikit berbentuk dengan cara memakan permen karet secara teratur.

Andaikan saja dia sudah dewasa, dia akan melatih rahangnya dengan memaki dan menghardik orang-orang yang menyebalkan.

“Jika muak, pindah kelaslah dan berhenti membullyku.”

Sontak Selina tertawa begitu pula beberapa orang lainnya. Mereka tidak merelai namun mendorong Selina untuk terus semakin jauh mengganggu Winter.

“Seharusnya kau yang pindah, kau tidak pantas berada di level kelas ini!” bentak Selina dengan keras seraya menggebrak meja lagi.

“Oh astaga” Winter mulai kesal karena harus adu mulut, gadis itu langsung berdiri dan bertolak pinggang. “Biarkan aku beritahu kau, seorang pembully biasanya suka mengganggu orang lain karena dia iri dan merasa posisinya terancam. Kau dan aku memang tidak satu level karena aku terlalu tinggi. Jika aku ada di bawah levelmu, kau tidak akan menggangguku. Kau menggangguku karena posisiku lebih tinggi darimu.”

Selina bungkam dengan ucapan Winter yang sangat lantang dan percaya diri.

“Satu lagi, orang sepertimu itu adalah pecundang besar, kau tahu kenapa? Kau dan teman-temanmu yang di ada di belakangmu hanya berani merundung satu orang secara beramai-ramai. Kalian menganggap diri kalian keren? Astaga lihat wajah-wajah sampah kalian! Sikap kalian seperti setumpuk pecundang yang tidak memiliki keberanian melawan satu orang manusia sepertiku.” Winter berbicara dengan percaya diri seraya menunjuk satu persatu orang yang sudah menertawakannya.

Semua orang di buat bungkam dengan ucapan pedas yang keluar dari mulut Winter.

“Bicaralah dengan pengacaraku jika merasa tidak nyaman atas keberadaanku. Aku tidak akan mau berbicara dengan kalian karena aku terlalu sempurna,” kata Winter lagi terlihat sangat tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.

Winter kembali duduk di kursinya dan menyalakan komputernya, sementara Selina yang kehabisan argument segera mundur dan kembali duduk. Selina terlihat sedikit shock dengan perubahan Winter yang sangat tidak dia kenal.

***

Seorang guru yang berdiri di depan kelas segera mengambil laptopnya dan berpamitan pergi usai mendengar suara bel yang berbunyi.

Beberapa orang mulai beranjak dari duduk mereka dan pergi keluar menikmati waktu istirahat mereka.

Winter sedikit menguap sambil melihat keluar jendela, sudah sangat lama dia tidak pernah belajar, kepalanya terasa sedikit penat dan suntuk begitu kembali harus belajar.

Winter segera beranjak dari duduknya dan pergi keluar, sekilas dia melihat pemuda yang berbicara dengannya tadi pagi. Tanpa sengaja mereka saling berpandangan.

Pria itu menatapnya dengan lembut, namun ekspresi di wajah tampanya sangat dingin dan tidak tersentuh.

Winter langsung memutuskan tatapannya, gadis itu memilih pergi keluar dari kelasnya.

Kedatangan Winter keluar dari kelas kembali menjadi pusat perhatian banyak orang seperti tadi pagi, Winter yang sangat percaya diri tetap melangkah dengan tegas melewati orang-orang yang beberapa di antara mereka tidak ragu mengejeknya atas video memalukan dirinya yang tersebar.

Winter pergi memasuki lift setelah melihat denah sekolah yang terpajang papan.

Untuk menikmati waktu istiraatnya sekarang, Winter hanya ingin segelas juss buah untuk mengisi perutnya.

Sepulang sekolah Winter akan langsung pergi ke gym tempat dia melakukan terapi dengan bimbingan ahlinya untuk menurunkan berat badannya.

Begitu Winter sampai ke kantin, dia dapat melihat suasana kantin terlihat ramai, meski tidak seramai ruangan kantin gratis. Winter ikut mengantri dengan orang lain dan memilih segelas juss strawberry tanpa gula dengan sepiring steak.

Sangat menyenangkan hidup di sekolah elit, Winter bisa memakan apapun yang enak. Winter tidak akan membatasi makanan apapun yang dia ingin makan, namun dia akan memperhitungkan porsinya.

Winter langsung duduk begitu sudah mendapatkan makanannya, sesaat dia mengibaskan rambutnya sengaja menunjukan diri di hadapan semua orang yang terus memperhatikannya.

Gadis itu tersenyum sinis sedikit menantang siapapun yang membencinya.

Tubuh Winter menegak sempurna, dia mulai menikmati makan siangnya dengan tenang sendirian.

“Winter, tadi aku datang ke kelasmu.”

Winter yang baru menyeruput jussnya langsung mengangkat kepalanya, gadis itu berkedip melihat Paula yang berdiri di hadapannya.

Kesengan di wajah Winter langsung berubah menjadi jengkel bercampur jijik karena dia harus kembali melihat Paula yang kini berdiri di hadapannya.

Bibir Winter langsung menyunggingkan senyuman palsunya “Ada apa Paula?” tanya Winter dengan lembut.

Pandangan Paula langsung tertuju panda piring Winter yang di isi oleh tenderloin.

Paula terbelalak kaget, Winter adalah seorang vegetarian, tidak seharusnya dia memakan daging.

“Winter, kau kan vegetarian” ucap Paula dengan sedikit panik. “Ada banyak cake dan makanan manis kesukaannmu di sini, tapi kenapa kau malah memakan daging? Kau lupa jika kau ini vegetarian?.”

“Aku tidak lupa, memangnya kenapa jika ingin makan daging?” Tanya balik Winter yang kini sangat pandai berpura-pura polos.

Winter segera mengambil pisau dan garpu, dengan cekatan dia memotong daging. “Aku hanya memakan daging, itu hal biasa Paula, yang luar biasa itu teman makan teman.”

Wajah Paula memucat kaget, ucapan Winter sangat menusuk dan membuat Paula seperti di tampar karena merasa tersindir.

Paula benar-benar tidak mengerti mengapa Winter menjadi sangat berubah dan sangat berbeda dari Winter yang selama ini dia kenal.

Manusia tidak mungkin bisa berubah dengan cepat, apalagi jika menyangkut sebuah sifat dan kebiasaan. Paula percaya itu.

Paula menjadi curiga jika Winter berubah setelah pertengkaran mereka di atap gedung sekolah. Namun, di sisi lain Paula juga tidak mengerti, jika memang Winter berubah karena pertengkaran mereka waktu itu, seharusnya kini Winter membenci dirinya dan tidak memaafkannya.

Paula teringat betapa marah dan bencinya Winter kepadanya saat kejadian waktu di atas atap gedung sekolah itu.

Setelah pertengkaran hebat itu, kini Winter masih memaafkannya seakan pertengkaran waktu itu adalah pertengkaran kecil yang mudah untuk di lupakan, padahal Paula tahu betul betapa hancurnya Winter pada saat itu.

Ada yang salah..

Paula harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Winter.

Paula berdeham tidak nyaman dan segera duduk di hadapan Winter, Paula tersenyum lebar terlihat cantik.

“Winter, aku baru saja menghubungi Hendery, dia setuju ingin bertemu denganmu nanti sore di restaurant biasa kita makan. Kau setuju kan? Kau jangan khawatir, aku akan menemanimu, dia tidak akan berbuat apapun lagi kepadamu, aku berjanji.”

Mata Winter sedikit berkedut merasa jijik, namun Winter berhasil mengubah kekesalan di wajahnya menjadi eskpresi sedih dan takut untuk mengelabui Paula.

Winter tahu jika Paula curiga dengan perubahannya.

Winter sadar bahwa dia belum begitu bisa mengontrol diri atas emosi dan tempramentnya karena terlalu marah dan benci kepada Paula. Kedepannya, Winter akan berusaha menahan diri lebih baik untuk meyakinkan Paula bahwa dia tidak berubah sama sekali.

“Winter” Paula tersenyum lembut seraya meraih tangan Winter dan menggenggamnya, kesedihan dan takut di wajah Winter membuat Paula diam-diam tersenyum.

Kekhawatiran Paula rupanya tidak nyata. Winter tetaplah Winter, gadis buruk rupa yang bodoh dan hanya beruntung karena terlahir kaya raya.

Namun semua keberuntungan Winter akan lenyap sebentar lagi karena ibu Paula akan segera mendapatkan hati Benjamin dan mereka menikah. Setelah mereka menikah, Paula akan benar-benar menyingkirkan Winter.

“Winter, aku akan menemanimu, jadi jangan takut. Tidak akan terjadi apapun, kau masih percaya kan padaku?” tanya Paula yang berusaha meyakinkan.

“Terima kasih Paula, aku sangat percaya padamu.” Senyum Winter selebar mungkin meski di dalam hatinya dia sangat jijik tidak tahan.

To Be Continued..