Benjamin bersedekap dan berpikir keras mengenai sesuatu setelah perbincangan kecilnya bersama Winter. Tampaknya bukan hanya dia yang kini di buat menjadi bertanya-tanya, Vincent juga terlihat berpikir keras.
Winter sangat benci beraktifitas fisik setelah mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu, Winter juga tidak pernah sedikitpun memikirkan diet meski tubuhnya kian membesar.
Sangat mengejutkan begitu mendengar Winter langsung berpikir ingin diet dan menjalani kehidupan yang sehat. Apakah ini hanyalah keinginan sesaat Winter yang labil?.
Banyak pertanyaan langsung muncul memenuhi kepala Benjamin.
“Ayah” Vincent menahan ucapannya seketika, sorot matanya memancarkan keraguan untuk berkata-kata. Tangan Vincent terkepal kuat mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang di pikirannya kepada Benjamin. “Apa mungkin Winter yang dulu sudah kembali?.”
Kening Benjamin mengerut samar, “Dulu, saat mengalami kecelakaan, dokter bilang Winter akan sembuh dan menemukan kembali ingatannya namun membutuhkan waktu yang sangat lama. Ini sudah tujuh tahun lebih lamanya setelah kecelakaan itu.”
“Mungkinkah ini sudah waktunya?”
Benjamin terdiam.
Sepuluh tahun yang lalu, Winter adalah gadis yang sangat periang, cerdas dan sangat bersinar karena kecantikan dan keramahannya. Semua itu hancur dalam semalam ketika Winter dan ibunya mengalami kecelakaan mobil.
Di kecelakaan malam itu, ibu Winter meninggal dunia usai menyelamatkan Winter.
Karena kecelakaan dan kehilangan ibunya, Winter mengalami trauma yang sangat berat hingga membuat dia mengalami banyak perubahan termasuk dengan wataknya. Winter mulai melarikan semua traumanya ke makan dan hanya mengurung diri di dalam kamar, gadis itu menjadi sangat pendiam dan selalu banyak meminta maaf meski dia tidak bersalah.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah?” tanya Vincent.
“Kita ikuti keinginan Winter. Untuk sementara waktu, tolong jaga Winter karena ayah harus pergi ke Singapur dalam waktu beberapa hari. Kita harus memantaunya,” kata Benjamin dengan serius.
Vincent mengangguk tanpa suara.
***
“Winter tunggulah di sini. Kakak sudah harus membuat janji dengan dokternya dan ingin menemuinya lebih dulu untuk membicarakan sesuatu,” kata Vincent yang hari ini mengantar Winter pergi ke tempat terapi khusus untuk melakukan berbagai penyembuhan.
“Baiklah, terima kasih Kakak,” jawab Winter dengan nada merendah bersikap sedikit manja.
Begitu Vincent pergi, Winter juga pergi menuju halaman tempat terapi.
Setiap kali melangkah, beberapa kali Winter harus memukul mulutnya sendiri karena kakinya tersandung. Biasanya saat masih hidup sebagai Kimberly, dia akan mengumpat dan memaki, namun kali ini dia harus menahannya karena masih berada di bawah umur.
Orang-orang akan akan memandang negatif Winter jika kebiasaan terburuk Kimberly masih di bawa-bawa.
Butuh waktu yang sedikit lebih lama lagi bagi jiwa Kimberly untuk bisa beradaptasi menggunakan tubuh barunya dalam beraktifitas karena semuanya tidak sama lagi seperti dulu.
Winter menuruni beberapa anak tangga sebelum menginjak rumput taman. Kaki Winter melangkah lebih hati-hati sambil melihat-lihat ke sekitar memperhatikan banyak orang yang berjalan-jalan, beberapa di antara mereka terlihat sedang latihan di temani oleh pendamping khusus.
Perhatian Winter terpaku melihat seorang pria muda duduk di kursi roda tengah merenung.
Bila di perhatikan, tubuh pemuda itu terlihat sangat sehat bugar, pakaiannya rapi dan mewah, pria itu terlihat muda dan sedikit mencolok karena pesonanya yang mudah untuk menjadi pusat perhatian banyak perempuan meski duduk di kursi roda.
Winter segera duduk di bangku kosong dekat pria itu, kaki Winter terangkat menumpang ke satu kakinya lagi dengan sedikit kesulitan.
Mata indah Winter melirik ke sisi, dia kembali melihat pria itu karena ketampanannya sedikit mencuri perhatiannya. Winter menyadari bahwa kemungkinan pria itu hanya memiliki jarak usia beberapa tahun lebih tua darinya.
Pandangan Winter tiba-tiba terjatuh pada jaket yang di kenakan pria itu.
“Bung” panggil Winter dengan alis sedikit terangkat.
Pria itu menengok dan menatap Winter dengan tatapan dinginnya.
Seketika Winter bergeser ke ujung kursi lainnya dan membuat mereka menjadi sedikit lebih dekat. Winter memeriksa ke sekitar untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar. Tubuh Winter mencondong dan menempatkan tangannya di sisi mulutnya, Winter langsung berkata, “Kau punya rokok?” bisik Winter dengan serius.
Pria itu langsung tercengang mendengar pertanyaan Winter yang tidak terduga. “Aku tidak merokok.”
Winter berdecih malas mendengar jawaban yang tidak dia inginkan terdengar, padahal kepalanya sangat suntuk butuh merokok.
“Kau tidak berbohong kan?”
“Meski aku memilikinya, aku tidak akan mungkin memberikannya pada anak di bawah umur.”
Kening Winter mengerut bingung karena pria itu mengetahui bahwa dia masih berada di bawah umur, dengan tenang Winter tersenyum miring meremehkan, “Bung, aku seorang mahasiswa.”
“Bukannya kau anak Sekolah Menengah Atas yang minggu kemarin ramai di perbincangkan?” Tanya balik pria itu dengan tatapan tajam tidak kalah meremehkan karena Winter sudah ketahuan berbohong kepadanya.
Senyuman Winter memudar, Winter sedikit gugup karena pria itu tahu bahwa minggu lalu Winter menjadi terkenal di sekolahnya karena dia menyatakan cinta kepada seorang pria lalu di balas dengan di permalukan.
“Dari mana kau tahu?”
“Aku, anak kepala sekolah tempat kau sekolah,” jawab pria itu dengan senyuman jahatnya.
Alih-alih kaget dan takut dengan jawaban pria asing di depannya itu, Winter hanya menggerakan sebelah alisnya terlihat meremehkan dan tidak peduli. Winter memalingkan wajahnya dan bersedekap melihat lurus ke depan.
Winter merasa sedikit setres dan membutuhkan sedikit penenang dengan sebatang rokok, namun dia tidak bisa mendapatkannya karena masih di bawah umur. Neydish adalah negara yang paling banyak aturan, untuk sebungkus rokok saja, seseorang harus memberikan kartu identitasnya untuk memastikan bahwa dia sudah legal mendapatkan rokok.
Kebungkaman Winter membuat Marius melihat ke sisi dan memperhatikan Winter yang sedikit berbeda dengan yang terakhir kali dia lihat setengah tahun yang lalu di sebuah pesta.
Setengah tahun yang lalu mereka pernah bertemu dan berkenalan karena ibunya Marius yang bekerja sebagai kepala sekolah mengenal baik ayah Winter.
Winter yang Marius lihat setengah tahun yang lalu berbeda dengan Winter yang sekarang.
Setengah tahun yang lalu Winter adalah gadis polos, sangat pemalu dan lebih suka sendiri, bahkan gadis itu tidak pernah mau menatap mata orang yang berbicara dengannya, Winter tidak memiliki keberanian mengeluarkan suaranya sedikit lebih lantang. Winter hanya menghabiskan waktunya dengan merenung sambil makan sendirian mengasingkan diri dari keramaian.
Sikap Winter saat itu tidak lebih seperti puteri malu, hanya mendapatkan sedikit sentuhan saja langsung memilih menutup diri.
Kini Winter terlihat berbeda, gadis itu memiliki aura yang kuat dan tenang.
Bahkan setelah ketahuan ingin merokok, Winter tidak menunjukan diri bahwa dia khawatir dan takut bahwa Marius akan melaporkannya kepada ibunya yang menjadi kepala sekolah di tempat Winter sekolah.
“Kau” panggil Marius lagi terdengar dingin, Winter langsung menengok dan menatapnya lagi. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Marius.
Bola mata Winter yang biru itu terlihat sedikit gelap. Winter tidak mengerti mengapa orang asing yang ada di hadapannya itu berkata sesuatu yang tidak pahami ke mana arah tujuannya.
“Memangnya ada apa denganku?” tanya balik Winter.
Bibir Marius sedikit memiring. Marius ingat, satu hari setelah Winter di temukan pingsan di sekolah karena perundungan, Benjamin langsung datang menemui ibunya secara langsung ke rumahnya dan menuntutnya.
Benjamin berbicara banyak hal dan menuntut ibunya Marius untuk mengusut tuntas atas perundungan yang menimpa Winter, termasuk bullyan yang mengarah kepada Winter setelah menyatakan cinta kepada seorang pria dan di tolak dengan hinaan.
Saat itu Benjamin sangat marah, kemarahan Benjamin bisa di pastikan bahwa apa yang terjadi pada Winter bukan hal yang sepele.
“Untuk apa kau datang ke tempat ini?” Tanya Marius lagi tanpa menjawab pertanyaan Winter yang sedikit sensitif untuk Marius katakan bila memberitahu jawabannya.
Tidak sepatutnya Marius membicarakan hal pribadi orang lain, apalagi jika hal pribadi itu bukan berita baik.
“Bertemu dokter gizi” jawab Winter dengan jujur.
“Kau seperti tidak membutuhkan dokter gizi.”
Winter langsung mendengus tidak suka sambil bersedekap dan mengangkat dagunya. “Kau tidak lihat tubuhku atau memang tidak bisa melihat? Aku jelas-jelas butuh dokter gizi untuk menurunkan berat badanku. Sama sepertimu yang datang ke sini, mungkin kau membutuhkan dokter syaraf untuk menyembuhkan kakimu yang belum bisa berjalan.” Komentar Winter dengan sangat pedas dan tidak sopan.
Pupil mata Marius sedikit bergetar, rahangnya mengeras terlihat marah. Sudah lebih dari satu tahun ini dia selalu rutin datang untuk menyembuhkan kakinya yang lumpuh pasca kecelakaan.
Tangan Marius terkepal kuat menahan emosi dengan ucapan kasar Winter yang sangat keterlaluan. “Sebaiknya kau jaga ucapanmu sebelum menyesal” Marius menggeram marah.
Winter segera beranjak dari duduknya ketika melihat Vincent yang datang dari kejauhan.
Sejenak Winter berdiri di hadapan Marius, Winter tidak peduli siapa orang yang ada di depannya. “Aku tidak menghinamu, harusnya kau bisa membedakan cacat, lumpuh, dan belum bisa berjalan. Aku mengatakan kau belum bisa berjalan karena suatu saat nanti kau akan bisa berjalan,” jelas Winter dengan ekspresi dinginnya.
Dalam satu gerakan Winter berbalik dan pergi meninggalkan Marius yang diam terpaku melihat punggungnya.
“Mengapa ucapannya mengingatkanku pada seseorang?” Marius bertanya dalam bisikan, tiba-tiba Marius teringat seseorang yang sering dia perhatikan beberapa tahun yang lalu sebelum orang itu pergi.
To Be Continue..