webnovel

Hilangnya Si Kakak Beradik

 

Satu minggu sudah Felix menghilang. Kinan pun menyusul Felix. Hilang tanpa jejak. Ke mana mereka pergi? Satu pertanyaan yang selalu di ucapkan berulang kali namun tak satu pun jawaban yang benar-benar bisa mengadili segala kegundahan yang ada.

Sampai saat ini, Martha dan keluarga belum juga menemukan titik terang dalam mencari keberadaan Felix juga Kinan. Mereka masih menunggu hasil pencarian dari Polisi. Martha pun sementara tinggal bersama ayah dan ibunya. Renata sang ibu akan sangat khawatir jika Martha tinggal seorang diri dalam keadaan hamil.

Saat berada di dalam kamarnya yang dulu, Martha seakan kembali ke masa di mana bentuk badannya masih ramping dan pipinya yang tirus selalu ia poles dengan sentuhan make up.

Posisi semua barang-barang Martha pun masih tampak sama dengan keadaan saat ia belum menikah. Kamar yang memiliki banyak kenangan bahagia dan menjadi saksi bisu ketika Martha masih berpacaran denganku.

Selama kurang lebih tujuh tahun aku dan Martha berpacaran, jarang sekali ku membuatnya menangis atau pun sekadar kesal. Maka dari itu, Martha selalu menebar senyuman ketika berada di dalam kamarnya.

Namun saat setelah menikah, Martha membawa pulang kesedihan dan memasang wajah lusuh ketika kembali ke kamarnya. Susana yang dulu selalu ceria, kini berganti menjadi berkabut.

Sejak sore tadi sehabis makan, Martha membiarkan dirinya terkurung seorang diri di dalam kamarnya. Merasa malu dan merasa semua penyesalan akan segera hadir menyelimuti hati dan perasaannya.

"Adrian, aku bahkan tidak pantas jika menampakkan wajah ini di hadapanmu. Maaf!" desis Martha seraya menghela napas panjang dan menatap awan mendung dari balik gorden kamarnya.

Resah hatinya memang tak seresah hatiku. Cintanya hanya hilang sementara, sedang cintaku hilang selamanya. Mungkin penyesalanmu akan selesai dengan kata maaf. Tapi tidak dengan penyesalanku yang telah membuang waktuku yang terbuang sia-sia selama mengenal dirimu. Aku tak bisa memaafkan dirimu yang telah berhasil membuatku kejam pada diriku sendiri.

~~~

Gundah gulana yang di rasakan oleh dua orang wanita dengan satu laki-laki. Felix yang telah berhasil membuat hati yang berbeda menjadi satu. Ya, Martha dan Sarah telah jatuh cinta pada seorang Felix yang gemar berpura-pura.

Menghilangnya Felix membuat gempar hati keduanya. Sarah yang harus menyembunyikan kegundahannya dari orang rumah, hampir membuatnya setengah gila karena tidak ada tempat untuk mencurahkan segala keluh kesahnya.

Berat, tak ada penopang. Bagi Sarah, hanya aku seorang kakak sekaligus teman untuk sekadar bertukar cerita yang paling aman. Tapi sekarang, semua harus Sarah telan sendiri.

Esok hari saat mentari pagi memaparkan sinarnya, Sarah bergegas menyambangi rumah Martha. Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi nanti. Yang terpenting adalah, Sarah tahu, apakah Felix sudah ditemukan atau belum.

Menarik napas panjang dan berdiri di depan cermin yang memantulkan seluruh tubuhnya, Sarah siap bertemu dengan Martha. Klakson taksi onlain yang ia pesan pun telah sampai dan berada di depan rumah ya.

Felix mengetuk pintu seraya memanggil namaku untuk memberitahukan tentang taksi itu. Saat ku buka pintu kamar, ia bertanya padaku. "Mau ke mana lagi Sarah? Sudah satu minggu ini kamu pergi terus? Apa ada masalah?" Sarah hanya diam dan tak berani menatap mataku. "Tidak apa-apa. Hanya saja, aku sedang mengambil cuti kerja. Jadi sayang jika hanya berdiam diri di kamar."

Alasan Sarah cukup masuk akal. Tapi rasanya aku tidak begitu percaya dengan sorot matanya yang memperlihatkan sebuah kebohongan. Saat Sarah pergi, diam-diam aku mengikutinya. Tentunya atas dasar khawatir akan sesuatu yang terjadi dalam diri Sarah adikku. Ya ... Walaupun, dia ingin waktu sendiri, tapi apa salahnya memastikan atas tingkahnya yang berubah sangat drastis itu.

Aku mengikutinya Sarah dengan motor. Sopir taksi itu melaju dengan kencang. Mungkin karena permintaan Sarah yang terburu-buru. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam, mobil yang di tumpangi Sarah akhirnya berhenti.

Saat Sarah hendak turun dari mobil, matanya melirik ke arah sekitar. Seperti sedang memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya.

Mobil yang di tumpangi Sarah berhenti di depan rumah yang berwarna cat abu-abu. Ku pikir, rumah itu adalah tujuan Sarah. Tapi ternyata bukan. Sarah berjalan melewati dua rumah dan menuju rumah yang berada di pojok dengan cat berwarna putih tulang.

Rumah yang berpagar biru itu tampak sepi. Lalu Sarah mengetuk-ngetuk pagar itu menggunakan gembok yang menyantel di tengah pagar tersebut.

Lalu, salah satu perempuan sekitar usia 30-an ke luar dari rumah yang berada di sebelah rumah tujuan Sarah. Wanita itu tampak memberi tahu bahwa orang yang di cari Sarah di rumah itu tidak ada.

Sarah pun pergi dari rumah itu seraya mengucapkan terima kasih pada tetangga yang memberitahukan informasi tentang penghuni rumah itu.

Sarah kembali naik mobil yang menunggunya, lalu pergi entah ke mana. Karena aku berhenti mengikuti Sarah. Ketika mobilnya akan lewat, aku memarkirkan motorku yang masuk ke dalam sebuah gang agar tidak terlihat oleh Sarah. Setelah ia pergi, aku pergi ke rumah yang baru saja Sarah sambangi.

DEG~~~

"Ini kan rumah Kakaknya Kinan. Oh iya ... Aku baru ingat. Aku pernah mendatangi rumah ini untuk mengantar Kinan pulang malam itu. Untuk apa Sarah ke sini?" Gumamku mengatakan bahwa ada yang Sarah tutupi dariku tentang rumah ini.

Aku memutar balik motorku lalu pulang. Sepanjang perjalananku, tak hentinya memikirkan apa yang baru saja ku ketahui.

Sesampainya di rumah, aku bergegas pergi ke kamar Sarah. Selagi ia tidak ada di kamarnya, aku bisa mencari sesuatu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

KREK~~~

"Felix ..." Ibu memergokiku saat akan masuk ke dalam kamar Sarah.

"Ah ... Ibu." Aku menahan langkahku seraya memegang gagang pintu yang sedang ku tarik ke bawah.

"Mau apa ke kamar Sarah?" tanya Ibu.

"A---Aku mau ambil barangku yang dipinjam oleh Sarah, Bu."

Ibu pun percaya dengan ucapanku. Beliau pergi ke dapur, sedang aku masuk ke dalam kamar Sarah.

BRUG

Aku menutup dan mengunci pintu. Pertama yang ku lakukan adalah membuka laci mega rias Sarah, lalu ku lakukan lagi mencari sesuatu. Hingga 15 menit berlalu, tidak ada petunjuk atau barang apapun di kamar Sarah.

Aku pun ke luar dengan tergesa-gesa karena Sarah sudah ada di depan. Ia terlihat pucat dan menampakkan wajah kusut saat memasuki rumah.

"Sarah ...." Aku memanggilnya saat ia hendak memasuki kamar. Aku berlari menghampiri Sarah dan meminta waktu agar ia mau mengobrol denganku sebentar saja.

"Ada apa?" tanya Sarah.

"Bisa, kita bicara di dalam kamarmu? Ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padamu Sarah. Menurutku, ini penting."

Tiba-tiba jantung hati Sarah berdegup kencang. Aku dan Sarah masuk lalu duduk berhadapan di atas kasur.