Usia dua puluh delapan tahun bukanlah usia remaja. Apalagi di Desa seperti tempat tinggalnya Cempaka sekeluarga.
Usia segitu sudah jadi gunjingan orang sekampung. Bikin panas hati, panas daun telinga, muka juga jadi merah membara.
Walaupun kita tahu kalau jodoh itu sudah ada yang mengatur. Tapi, tetap saja cibiran nyinyir selalu menghantam jiwa Cempaka. Si gadis cantik berkulit bersih mulus, berpendidikan tinggi dan menutup aurat lagi dengan berhijab.
Seperti waktu itu, Cempaka baru saja pulang kerja.
"Baru pulang neng?..." Sapa seorang ibu. Dia tetangganya Cempaka.
"Iya bu, permisi..." Sahut Cempaka ramah dengan senyuman mengembang di bibirnya.
"Kasihan ya neng Cempaka, sudah cantik, ramah, sekolah tinggi, tapi jodohnya kok susah ya?..." Bu Rini berujar. Jelas di tujukan kepada dirinya.
"Iya bu Rini, kenapa ya anak gadis secantik dia, kok!... Jadi jomblo!" Sahut ibu yang tadi menyapanya.
"DEG!!!..." Terasa ada sesuatu yang menonjok ulu hatinya Cempaka tembus hingga ke jantung.
Rasanya ingin mati saja sa'at itu juga. Biar terbebas dari hinaan orang lain.
"Ya Allah..." Cempaka bergumam menyebut Namanya.
"Buat apa ya sekolah tinggi kalau akhirnya menjadi jomblo?... Mendingan anak kita, lulus sekolah dasar jodohnya mudah. Sekarang sudah punya rumah, punya anak lagi. Usianya kan seumuran dengan neng Cempaka" Sahut bu Rini lagi.
Uraiannya itu membuat kaki Cempaka terasa berat untuk di langkahkan.
Matanya berkaca-kaca sedih dan pilu hatinya.
Ingin dia berbalik ke arah ibu-ibu itu untuk menjelaskannya. Bahwa ini semua bukan keinginannya.
Tapi, Cempaka adalah gadis yang baik. Dia tak berani bersikap begitu.
Dia menyeret kakinya yang terasa berat itu, dan di paksakan nya berjalan menyusuri gang yang lumayan masih seratusan meter lagi untuk sampai di rumahnya.
Cempaka ingin segera menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal di kamarnya. Seperti biasanya bila dia mendapatkan cibiran atau perkataan nyinyir dari saudara atau tetangganya.
Akhirnya beberapa rumah tetangga yang suka nyinyir itu terlewati sudah.
"Alhamdulillah... Rumpun pohon bambu yang ku lewati kini, mereka tak akan nyinyir seperti tetangga yang tadi" Gumamnya sambil melepaskan hembusan nafasnya. Dia merasa lega.
Langkahnya kini tidak di seretnya lagi.
Sudah normal kembali.
Serumpun pohon bambu sudah dia lewati. Tinggal belok kiri langsung menuju ke rumahnya.
"Tinggal beberapa langkah lagi, sampailah aku di pintu pagar rumahku"
Gumamnya.
Perkataan bu Tini yang nyinyir tadi, sepertinya sudah di lupakan nya.
Dia melangkah dengan agak santai tanpa beban.
"Yap!... Ada teh Yati rupanya. Ada apa ya?... Biasanya dia suka menanyakan tentang jodohku, dan dia suka memanggilku dengan sebutan putri jomblo. Menyebalkan" Langkah Cempaka terhenti beberapa meter dari pintu pagar halaman rumahnya.
Dia menyelinap di balik tembok pembatas halaman, lalu berjongkok di belakang tanaman bidara yang rimbun.
Dia tak mau di jodoh-jodohkan lagi. Dia tidak mau di ajak ke dukun lagi oleh kakak sulungnya itu.
Dia tak mau di panggil putri jomblo. Dia tak mau berpapasan dengan kakak sulungnya itu. Diapun ngumpet berdiam diri di sana. Menunggu kakaknya pulang.
"Sudah lima belas menit aku di sini, kenapa Cempaka belum pulang juga ya.
Biasanya suka pulang jam berapa bu?"
Yati merasa kesal menunggu Cempaka.
"Jam lima lebih biasanya dia pulang. Sebentar lagi kayaknya. Memangnya ada apa?" Bu Tini jadi penasaran melihat anak sulungnya seperti yang menyembunyikan sesuatu.
"Mau memberikan menantu buat ibu" Yati merasa yakin.
"Maksudnya?..." Bu Tini semakin penasaran di buatnya.
"Ada yang ingin aku kenalkan kepada Cempaka. Semoga saja jadi jodohnya"
Yati berharap.
"Awas kalau menjodohkan dengan kakek-kakek seperti dulu!" Bu Tini mengancam. Dia tidak mau Anaknya di jodohkan dengan kakek-kakek yang usianya lebih tua daripada usia bapaknya.
"Yang ini enggak bu, tenang saja! Aku yakin pasti Cempaka mau sama dia. Aku sekarang punya sesuatu yang baru buat membikin Cempaka menerima dia sebagai jodohnya" Yati berujar lagi. Entah sadar entah bagaimana, ucapannya itu membuat rasa penasaran
bu Tini semakin menjadi.
"Jangan bilang kalau kamu punya dukun baru untuk menundukkan Cempaka supaya nurut sama ucapanmu" Ancam bu Tini. Dia sudah hafal dengan tabiat anaknya itu.
"Enggak bu... Bukan itu maksudku. Eum... Enggak enggak ada apa-apa" Yati segera meralat ucapannya.
"Awas kalau kamu ketahuan ke dukun lagi seperti dulu!" Bu Tini mendelikkan matanya ke arah anak sulungnya itu.
Sementara itu Cempaka masih diam di tempatnya semula. Sambil mendengarkan pembicaraan kakak sulungnya dan ibunya.d
"Benar saja, tidak jauh dari yang aku duga. Teh Yati mau menjodohkan aku"
Cempaka bergumam sendiri.
"Kemana dulu tuh anak?... Mending kalau datang membawa calon suami. Dasar putri jomblo!" Yati bersungut-sungut sendiri.
"Kamu ngedumel apa barusan?" Bu Tini sebagai ibunya tidak suka mendengar anaknya di hina oleh kakaknya sendiri lagi.
"Emh... Ma'af bu tidak sengaja" Yati meminta ma'af sambil nyengir kuda.
"Itu adikmu sendiri!... Lagipula bukan keinginannya belum punya jodoh. Tidak perlu di permasalahkan, memangnya kamu merasa di rugikan kalau adikmu itu sampai sekarang belum dapat jodoh? Bukannya kamu yang menginginkan Cempaka seperti itu?" Ucap bu Tini sengaja memancing Yati. Dan di akhiri oleh pertanyaan.
"Siapa bilang bu?... Memangnya ibu tahu dari mana?" Ini yang di harapkan bu Tini, akhirnya keluar juga dari mulutnya Yati.
"Berarti benar kan selama ini adikmu itu kau guna-guna supaya susah jodohnya?... Iya kan?" Bu Tini menotok lagi dengan pertanyaan lainnya.
"Ini aku nitip surat ini saja, tolong sampaikan kepada Cempaka. Ada seseorang yang mau mengenalnya dan dia tengah mencari isteri" Yati begitu terburu-buru, seperti yang ketakutan rahasianya terbongkar.
"Tolong ya bu!... Assalamualaikum" Ucapnya.
Setelah menaruh sebuah amplop di atas meja, Yati pun segera bergegas pergi dari rumah orangtuanya.
"Waalaikumsalam" Sahut bu Tini sambil mengambil amplop berwarna biru muda itu. Kemudian dia menelitinya dengan cermat.
"Apa maksud si Yati yang sebenarnya?"
Gumamnya sambil tak lepas memandangi amplop berwarna biru itu.
"Hampir saja aku terjebak!... Pintar juga ibuku, instingnya peka. Untung aku segera sadar akan arah ucapan ibuku"
Yati berbicara sendiri sambil berlalu meninggalkan rumah bu Tini.
"Dasar nenek lampir!... Sangat menyebalkan sekali. Berarti benar kecurigaanku selama ini. Dari dulu juga bukannya aku tidak tahu dengan kelakuannya itu, cuma belum ada bukti dan aku menghargai kedua orang tuaku" Cempaka menceracau sendiri dalam persembunyiannya.
Setelah Yati melewati tempat persembunyiannya agak jauh, barulah Cempaka keluar dari sana.
Dia berjalan mendekati ibunya yang tengah serius memandangi amplop berwarna biru muda itu.
"Assalamualaikum... Lagi apa bu?... Nampaknya asyik sekali" Ucapnya mengagetkan bu Tini.
"Waalaikumsalam... Aduh Cempaka!... Bikin kaget saja, untung jantung ibu tidak copot" Ujarnya dengan nafas yang memburu karena kaget.
"Tidak mungkin copot ibu, kan Allah yang buat bukan manusia" Cempaka mencium tangan ibunya. Lalu duduk di depan ibunya.
"Barusan ada teh Yati ya bu ya?" Tanya Cempaka ringan.
"Kalian berpapasan di jalan?" Bu Tini balik bertanya.
"Aku ngumpet di balik tembok itu, habis aku sebal kalau dia kesini pasti niatnya mau menjodohkan aku, kalau enggak begitu ya menghinaku seperti yang biasa dia lakukan" Sahut Cempaka.
Rona wajahnya nampak muram kembali.
"Sudah jangan di buat sedih, kalau Allah belum ngasih ya mau apalagi?... InsyaAllah jodohmu pasti datang" Bu Tini berusaha untuk menghibur anaknya.
"Ini dari kakakmu!" Bu Tini menyodorkan amplop berwarna biru muda itu kepada Cempaka.
"Apa ini bu?" Cempaka mengambilnya dan terus membaca si pengirimannya.
"Kardiman siapa, bu?" Cempaka bertanya heran.
"Itu dari kakakmu, katanya ada yang ingin kenalan denganmu. Itu surat perkenalannya. Kakakmu bilang kamu pasti mau jadi jodohnya Kardiman" Bu Tini menyampaikan apa yang di katakan oleh anak sulungnya tadi.
Cempaka menyobek pinggiran amplop itu, dan dia mengeluarkan sepucuk surat. Kemudian membacanya.
Di sana di tuliskan kalau dia ingin kenal serius dengan dirinya. Dan minta agar suratnya itu segera di balasnya.
Di tunggu besok pagi.
Tulisan dalam surat itu seakan memaksanya.
"Apa katanya nak?" Bu Tini penasaran.
"Dia ingin kenalan denganku secara serius katanya, bu" Cempaka menjawab datar. Sepertinya dia tidak tertarik.
"Kalau ibu sih terserah kamu saja. Tapi, jangan asal terima cinta seorang pria, jangan sampai kau di sakiti lagi" Ibunya mengingatkan.
"Itu sudah pasti bu. Semoga saja dalam hal ini tidak ada hal-hal yang aneh lagi"
Ucap Cempaka berpraduga.
"Aku mau mandi dulu ya bu" Cempaka berlalu meninggalkan ibunya yang nampak sendu menatap punggung anaknya.