webnovel

TENANG, MASIH ADA PAGI

Rintik Pagi divonis menderita fibriodenoma mammae saat umurnya masih 22 tahun. Setelah operasi pertamanya, Rintik dinyatakan menderita kolesteatoma dan harus menjalani operasi telinga yang membuatnya trauma. Demi menemukan alasan untuk tetap hidup, Rintik menyusuri pesisir Indonesia. inilah perjuangan Rintik untuk bangun setiap pagi dan bertahan hidup. Ditulis berdasarkan kisah nyata penulisnya, novel ini mengajak pembaca menghargai hidup, peka pada sesama dan mencintai Indonesia

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
11 Chs

SUNDA KALAPA

Jakarta, Januari 2008.

Aku mencari kendaraan ke Kota Tua. Kota pesisir ini sungguh panas. Padahal baru jam 10.00 pagi. Bagusnya, bangunan di sini begitu indah. Berjalan melintasi Museum Bank Mandiri hingga ke jantung Kota Tua menjadi lebih menyenangkan.

Pedagang kaki lima berjejer sepanjang trotoar. Bus biru 02 yang hampir punah masih 'ngetem' menanti penumpang. Jajaran es potong bersaing ketat dengan tukang tato (tidak permanen), tukang ramal (dengan kartu tarrot) sampai tukang obat.

Nah, khusus tukang obat ini kastanya beda. Kalau pedagang lain hanya menggelar barang dan jasanya di jalanan atau taruh gerobak di pinggiran, tukang obat eksis dengan mobil semi truk dan speaker besar.

"Bukan sulap bukan sihir...ini salep istimewa, bisa obati segala macam penyakit kulit. Dari panu sampai jerawat...semua hilang!" Teriak tukang obat dengan haqqul yaqin.

Astaga, kalau jerawat bisa hilang dengan obat panu, dermatologist yang bayarannya ratusan ribu sampai jutaan rupiah itu bisa bangkrut seketika. Ada-ada saja. Tahun 2007 sudah berlalu dan tukang obat yang tak pernah lulus sekolah farmasi itu tetap punya tempat menawarkan solusi murah-manjur-mujarab bagi warga Ibukota. Tak jauh dari suara megah tukang obat, kerumunan besar menarik perhatianku.

"Jangan ditiru! Adegan ini tidak boleh dilakukan sembarangan!"

Ujar seorang lelaki bertelanjang dada yang menyayat badannya sendiri dengan golok berukuran besar. Debus. Kesenian magis dari Banten ini masih setia dipertontonkan untuk menghibur warga kota yang jenuh dengan kemacetan. Sesekali perlu jugalah hiburan yang tak bisa dinalar model begini.

Sambil menunggu, aku duduk di salah satu bola meriam yang ada di pelataran Museum Sejarah Jakarta atau lebih dikenal dengan Museum Fatahillah. Kabarnya kalau malam, meriam depan museum ini sering berdentum sendiri.

Dulu sebelum bank-bank dilikuidasi, Kak Rinai kerja di salah satu bank dekat kota tua. Kalau harus lembur, ada saja "noni Belanda" baik hati yang ikut menemani. Mungkin dikira temannya. Kecantikan Eropa milik Sicilia memang menempel pada wajah Kak Rinai. Hidungnya kecil mancung, kulitnya putih bersih, rambutnya coklat muda dan kedua alisnya nyaris bersambung.

Kata satpam kantornya Kak Rinai, Mevrouw dan Meneer memang suka datang kalau malam. Dari gedung-gedung tua, sering terdengar alunan musik klasik dan langkah orang menari. Katanya lagi, para Mevrouw dan Meneer tengah berpeseta. Satpam itu melihat "mereka" menyeberang dari satu gedung ke gedunglain. Pantaslah Alwi Shahab, sang ahli sejarah Betawi pernah bilang: Jakarta kota hantu.

Belum lagi kisah jalan pecah kulit. Duh, terbayang ngerinya melihat orang yang tubuhnya ditarik empat kuda ke empat penjuru yang berbeda. Hukuman macam apa itu?

Dan sekarang aku malah terdiam di kota yang punya kenangan sadis. Pagi ini, Bening, sahabatku, memintaku jadi pemandu keliling kota lama Batavia. Maklumlah, di tempat kelahirannya yang ada hanya deretan gunung indah dan hamparan padi menguning. Kalau bosan, pergilah dia ke Dieng, mengenang tragedi Sinila yang merengut banyak nyawa.

Cukup lama menanti Bening, aku menyantap es potong yang dicelup ke coklat dan seketika membeku. Camilan klasik yang tak lekang dimakan zaman. Jangan dibandingkan dengan ice cream yang harganya selangit itu. Ah, buatku, es potong dan sepenggal kenangan masa lampau punya kenikmatan tersendiri.

"Hei! Maaf ya lama. Tadi keretanya telat. Biasa kereta ekonomi, harus "ngalah" sama expres.," Suara Bening terdengar saat aku menggigit es potong untuk terakhir kalinya. Kami berpelukan. Seperti lama tak bertemu. Padahal kami sering makan bersama di Depok.

Kami masuk ke Museum Fatahillah. Bagiku, ini kunjungan yang kesekian kalinya. Kunjungan pertama, tentu saja waktu SD. Saat aku harus mencatat dengan cepat penjelasan pemandu museum yang seperti bicara sendiri. Rasa-rasanya tak satu pun catatan saat SD dulu yang masih menempel di otakku.

Sekarang, aku kembali harus membaca satu per satu cerita yang terangkai melalui beberapa lukisan dan patung lilin. Bening mengajakku ke halaman belakang. Beberapa londo tua tampak di sana. Mereka mungkin sisa keturunan Belanda yang ingin mengenang kejayaan moyangnya.

Kami meninggalkan turunan kompeni yang asyik mengenang masa lalu dan menuju ke penjara bawah tanah. Bening hanya melihat-lihat sebentar. Udara pengap, panas dan sumpek memeluk erat. Serupa dengan aroma mistis yang melesap perlahan. Lorong indah nan eksotis tak mampu menghalau bulu kuduk yang mulai berdiri. Tak tahu juga berapa banyak nyawa melayang di sini.

Bayangkan saja, kaki diikat bola yang beratnya hampir 3 kilo, lalu dikurung di penjara kecil yang tak muat untuk berdiri. Bertumpuk pula dengan puluhan tahanan lainnya. Menurut cerita, banyak yang meninggal sambil duduk sampai kakinya berlumut.

Siapa saja yang mendengar kisah tahanan yang ada di sini pasti merinding. Cuma anak-anak yang tetap riang dengan dunia mereka sendiri. Lima anak lelaki bahkan bisa-bisanya tertawa bahagia sambil berlarian meniti tembok di dekat penjara bawah tanah. Benar-benar terlalu mereka ini. Tak punya rasa takut sedikit pun.

Kami pergi ke lantai dua museum. Melihat-lihat furniture peninggalan pemerintahan Belanda yang cantik dan antik. Bening memasuki kamar yang ada di lantai dua. Aku hanya melihat dari luar. Sudah berkali-kali masuk ke sana. Sudah hafal dengan cerita orang banyak tentang putri pembesar hindia yang mati bunuh diri.

Desas-desus yang beredar, arwah si putri sering terlihat di sekitar kamar itu. Kadang muncul dalam bentuk bayangan di cermin besar yang ada tak jauh dari kamar. Pernah aku iseng mengambil foto di cermin besar itu. Bukannya muncul si putri Belanda, yang ikut berfoto malah mahluk halus putih serupa awan yang gendut dan transparan.

Penampakannya persis seperti pamannya casper. Meski sempat terperanjat, ujung-ujungnya aku malah jadi tertawa geli.

Puas Bening keliling, kami keluar dari Museum Fatahillah. Menyewa ojek onthel seharga Rp 30.000,00 untuk mengitari Oud Batavia. Sudah lima belas tahun lelaki yang memboncengku menjadi ojek onthel. Terlalu lama untuk pura-pura lupa sejarah dan rute kota kuno ini.

Lihai sepeda tuanya membawaku melintasi jalan yang dipenuhi gedung-gedung cantik. Lengkap dengan pemandangan Ciliwung yang memukau.

Kami sampai di Museum Bahari. Lokasi syuting serial Si Manis Jembatan Ancol yang populer di tahun 90-an ini pun sudah berkali-kali pula aku sambangi. Bagiku, ini museum yang paling menakutkan. Banyak patung-patung berjajar di lantai 2. Tingginya melebihi tinggiku. Mata mereka nyalang seakan hidup. Ini jauh lebih terasa seram ketimbang kuburan di museum wayang yang ditata dengan rapi.

Kami melihat-lihat sebentar barang yang dijual di Pasar Ikan. Bening mengajakku beranjak. Memasuki Menara Syahbandar. Menara tinggi tempat Belanda mengintai kapal-kapal yang berlabuh di Sunda Kalapa.

Naik ke ruangan paling atas. Bisa kulihat Pulau Onrust di seberang sana. Tempat benteng indah dan jenazah orang-orang dulu bersemayam.

Tempat yang pernah menjadi paradoks, di satu sisi menjadi persiapan jamaah haji, di sisi lain jadi penampungan orang-orang kusta. Peristiwa paling spektakuler tentu eksekusi mati Kartosuwiryo, sang pimpinan DI/TII, oleh kawan seperguruannya sendiri, Soekarno.

Waktu Zhuhur hampir tiba, kami bergegas turun. Sebelum pergi, kami sempatkan melihat penjara basah di dekat menara. Katanya, tahanan yang ada di sini "kelas berat". Hukumannya lebih sadis lagi. Mereka dipaksa berendam dalam air.

Aduh Gusti, syukurlah aku lahir di era merdeka dan besar pada zaman Reformasi. Tak sanggup rasanya harus merana bak rakyat di era kolonial.

Beruntunglah Sicilia, mamaku tersayang. Sebagai anak Belanda, dia berada dalam golongan kelas satu. Sicilia masih bisa makan roti dan sekolah di asrama biarawati. Tuntas pula HBS-nya. Beruntung juga Affandi, Abahku tercinta yang turunan Arab, beliau ada di golongan kedua.

Paling menderita tentu yang ada di golongan terendah, si empunya tanah dan air Indonesia: inlander, pribumi yang kedudukannya disamakan dengan anjing. Pernah dengar kan himbauan yang berlaku zaman kolonial di gedung-gedung mewah Batavia: "DILARANG MASUK UNTUK PRIBUMI DAN ANJING."

Renunganku terusik bel yang berbunyi dari sepeda onthel bapak tua. Aku ingat, dulu, suami Kak Rimbun juga punya sepeda onthel macam itu. Lalu dia jual sepeda onthelnya, katanya belnya suka berbunyi sendiri. Ah ada-ada saja. Aku lupakan cerita onthel dan menuju Sunda Kalapa.

Kalapa dalam bahasa Sunda lama berarti bandar atau pelabuhan. Sunda Kalapa bisa dibilang pelabuhan utama Kerajaan Sunda Padjajaran. Perannya sangat vital, sampai-sampai ketika Kerajaan Padjajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis, Kerajaan Demak menjadi resah.

Raja Demak yang masih punya kekerabatan dan secara keyakinan sama dengan Cirebon, bersekutu untuk menyerang pelabuhan utama Kerajaan Padjajaran. Maka diutuslah Fatahillah. Pertempuran terjadi. Fatahillah berhasil merebut Sunda Kalapa dan menamakan kota tempat pelabuhan ini dengan Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.

Kini Sunda Kalapa dipenuhi kapal-kapal besar yang berlabuh dari Borneo. Kapal besar ini menggunakan kayu ulin, semakin terendam air, katanya semakin kuat. Bening senang ali melihat kapal-kapal besar. Ya, di Banjarnegara mana ada kapal yang bersandar. Oh, arkati, begitu indah dipandang mata.

Seorang Anak Buah Kapal (ABK ) menyapa kami. Baiknya lelaki ini, aku dan Bening diizinkan masuk ke dalam melihat-lihat isi kapal kayu yang kokoh. Sementara di atas kapal, Merah-Putih berkibar pasti. Menyatu dengan jemuran pakaian ABK yang juga ikut berkibar dengan gagah. Aku tertawa nyinyir. Bening malah hanya geleng-geleng saja.

Kami menyewa perahu kecil untuk sebentar mengitari pelabuhan. Pemilik perahu adalah orang Bugis. Dia mendayung sekuat tenaga, sebab bukan aliran air yang harus dihempasnya, tetapi tumpukan sampah. Kontras sekali dengan pemandangan dari apartemen mewah yang menjual "beach view" di seberang sana.

Bening belum berhenti terkesima dengan cerita pemilik perahu tentang kapal-kapal yang ada di Sunda Kalapa. Sementara aku tergoda melihat yang lain. Anak-anak yang meniti tanggul di pinggir pantai. Mereka berlari, tertawa, bahagia.

Mereka anak-anak kota bandar yang tak tahu apa yang terjadi di Ibukota. Mereka generasi penerus di kota pesisir yang berubah menjadi metropolitan. Ada juga anak-anak nelayan yang menggelar atraksi "mewah". Mereka melompat dari atas kapal dan berenang di laut dengan berbagai pose.

Tidak terasa waktu berlalu cepat, kami mencari tempat sholat. Tentu tujuan kami ke Masjid Luar Batang. Sejumput cerita "mistis" yang bertahan diantara gedung pencakar langit. Setidaknya, menurut kuncen Masjid Luar Batang, ada tiga versi mengenai asal usul kata "luar-batang".

Pertama, versi geografis, ada yang berpendapat kalau dahulu daerah ini terpisah dan disatukan dengan jembatan yang dibuat dari batang pohon. Maka daerah ini disebut luar batang, karena untuk mencapainya harus ke luar melewati jembatan dari batang.

Kedua, versi historis, batang dalam bahasa Jawa artinya adalah mayat. Kabarnya, daerah ini adalah daerah perang, banyak mayat (batang) yang bergelimpangan. Sehingga akhirnya disebut luar batang. Artinya, daerah di luar wilayah masyarakat yang banyak batang-nya (mayatnya).

Ketiga, versi mistis. Dahulu dikisahkan ada seseorang yang meninggal dunia, saat keranda dibawa oleh masyarakat, tiba-tiba saja batang (mayat) keluar dari keranda. Sejak saat itu tempat kejadian disebut sebagai luar batang. Artinya mayat yang keluar dari keranda.

Entah mana diantara ketiga versi itu yang mendekati shahih, yang jelas Masjid Luar Batang tetap ramai dikunjungi para peziarah. Ada yang datang jauh-jauh dari Banten, hanya untuk "ngalap berkah". Berdoa di makam yang ada dalam Masjid atau sekedar minum air yang ada di sana.

Usai menunaikan ibadah shalat, aku melihat jam di telepon seluler. "Masih ada waktu sebelum senja."

Bening menggangguk. "Kita kemana lagi?"

"Kembali dulu ke Museum Fatahillah, mampir sebentar di Jembatan Kota Intan dan Toko Merah. Baru setelah itu naik kereta menuju Juanda."

Bening mengangkat bahunya "Terserah saja."

Aku tersenyum sambil mencari-cari ojek onthelku. Kami kembali ke Museum Fatahillah. Seperti janjiku pada Bening, kami berhenti sebentar di Jembatan Kota Intan. Kadang-kadang orang menyebutnya jembatan kota atau jembatan jungkit.

Jembatan yang didominasi warna merah itu terlihat anggun. Dulu, jembatan ini bisa dibuka tutup. Tak heran sempat banyak kapal besar yang melintasi Ciliwung. Bahkan bisa berlayar dari kota ke Jatinegara. Wajar saja jika sepanjang Ciliwung dijuluki "Venezia dari Timur".

Jembatan yang berdiri tegak di atas kali Ci Liwung ini tidak hanya menghubungkan 2 wilayah, tapi juga dua etnis dan budaya. Satu sisi ada pemukiman bangsa Eropa, dan tepat di seberangnya adalah pemukiman orang-orang Tionghoa. Namun karena perekonomian orang-orang Tionghoa di Indonesia maju pesat, jiwa kolonial yang ada pada Belanda kembali meluap. Orang Tionghoa yang mulai menguasai perdagangan telah membuat gerah orang Belanda. Terjadilah peristiwa menakutkan itu.

1740. Angka keramat bagi keturunan Tionghoa yang kini masih ada di daerah Glodok. Geger Pecinan. Pada tahun itu terjadi pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa oleh Belanda. Orang-orang Belanda menyeberang ke wilayah orang Tionghoa. Mereka membakar rumah dan membunuh siapa saja yang ada di sana. Mayat-mayat orang Tionghoa dibuang di Ciliwung, hingga kali yang jernih itu berubah warna. Merah karena darah.

Ada yang bilang, mayat-mayat mengapung hingga ke laut. Hingga ujung dari Ci liwung pun disebut dengan Muara Angke atau tempat bangkai/mayat bermuara. Tapi ada juga yang bilang kalau kata Angke dalam bahasa Tionghoa berkaitan dengan tahun berduka—yang menunjuk pada tahun 1740 saat etnis Tionghoa dibantai.

Aku kembali bergidik menatap Ciliwung. Membayangkan warnanya yang berubah karena darah. Pembantaian terbesar terjadi di depan toko merah. Bagitu orang-orang menyebut gedung tua ini. Warnanya memang didominasi warna merah.

Dahulu gedung ini milik orang Eropa, lalu dibeli oleh orang Tionghoa dan dijadikan toko kelontong. Sampai saat ini toko merah tak pernah lagi dibuka. Tak ada celah untuk melihat isinya. Bahkan mengintip saja tidak bisa. Hanya orang-orang yang punya kuasa yang bisa masuk. Toko merah adalah misteri besar kota tua. Tentunya selain terowongan bawah tanah yang juga misterius.

Pukul 13.00, aku tahu Bening lapar. Sayang sekali kalau harus makan lagi di dekat sini. Buru-buru kubawa dia ke Stasiun Jakarta Kota. Menyusuri ruang bawah tanah yang menghubungkan Stasiun Kota dengan Halte Trans Jakarta. Pameran fotografi dengan gaya monokrom dihelat di tempat ini.

Menampilkan aksi fotografer jalanan yang mengabadikan kerasnya kehidupan Ibukota. Meninggalkan ruangan bawah tanah, mata kami dimanjakan arsitektur Stasiun Jakarta Kota yang bergaya art deco.

Stasiun karya Farns Ghijlsels ini merupakan peninggalan Belanda yang sukses menghubungkan Batavia dan Buitenzorg (Bogor). Ini memang bukan stasiun pertama yang dimiliki Batavia. Sebelumnya, ada Stasiun Batavia Noord (Batavia Hoofdstation). Lalu dibangun stasiun baru yang terletak di sebelah selatan stasiun lama, sehingga disebut Stasiun Batavia Zuid.

Mungkin karena stasiun baru ini berada dalam pengelolaan Bataviasche Ooster Spooerweg (BOS), maka stasiun ini juga dikenal dengan Stasiun Beos. Tapi ada juga yang bilang, kalau Beos sebenarnya berasal dari kata "Batavia en Omstreken", yang berarti "Batavia dan sekitarnya." Tahun 1929, diresmikan stasiun yang menyatukan Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid—di bekas lokasi Stasiun Batavia Zuid.

Stasiun ini dinamakan Stasiun Benedenstad, yang kini bernama Stasiun Jakarta Kota. Namun sebutan Stasiun Beos tetap lekat dan belum pudar.

Meski kereta sudah membawa kami pergi dari Stasiun Jakarta Kota, tapi pilar-pilar tinggi di stasiun masih terlihat dari jendela kereta. Selamat tinggal stasiun cantik dengan bangunan megah dan klasik. Kereta melaju menuju Bogor.

Kami berhenti di Stasiun Juanda. Lalu jalan kaki menuju Ice Cream Ragusa. Seperti biasa, ice cream yang sudah ada sejak zaman Sicilia dan Affandi belum menikah ini selalu ramai dan laris.

Aku dan Bening memesan dua skop coklat sundaes. Juga satu porsi otak-otak dan dua porsi sate ayam yang mangkal di depan Ice Cream Ragusa. Otak-otak dan sate ayam ini juga sudah terkenal sejak lama.

"Apa yang terjadi pada Batavia?" Tanya Bening, tiba-tiba.

Ice cream hampir habis dari mangkuk perak yang disajikan di meja kami. Dua porsi sate ayam lengkap dengan lontong sampai juga di meja. Bening yang sejak tadi sudah lapar langsung saja mencicipi salah satu makanan terlezat di dunia itu.

"Batavia tetap Batavia dengan segala kronik, ironi dan pesonanya. Dulu pusat kota Batavia ada di Kota Tua, setelah terjadi wabah penyakit, pusat kota dipindahkan ke Weltevreden. Awalnya Weltevreden adalah tempat peristirahatan yang dibangun Anthonij Paviljoun. Sampai sekarang tempat ini pun masih jadi pusat kota yang lokasinya mirip dengan pusat kota di Jawa. Istana negara – Stasiun Gambir – Masjid Istiqlal – Pasar Baru – SMA 1 – Taman Monas."

Aku kembali cerita setelah gigitan sate pertama masuk ke perut. Bening mengernyit lagi. Dia suka sekali melakukan itu.

"Pantas banyak gedung Kementerian RI di sini. Bangunannya juga banyak yang masih seperti bangunan Belanda. Tetapi yang sekarang menjadi jatung kota malah Sudirman dan Thamrin."

"Agar kenangan kelam akan penjajahan terhapus, Presiden Soekarno memindahkan pusat kota ke Thamrin. Dibangunlah pusat perbelanjaan pertama, Sarinah, yang namanya diambil dari pengasuh beliau."

Bening geleng-geleng kepala. "Beruntung betul pengasuh itu, sampai dibuatkan pusat perbelanjaan."

Aku sudah menghabiskan 3 tusuk sate. "Bagi Soekarno, Sarinah adalah sosok perempuan Indonesia yang ideal. Soekarno bahkan menulis sebuah buku yang juga diberi judul Sarinah."

"Dan selain Sarinah, Soekarno juga banyak membangun patung?" Bening menebak-nebak.

Aku mengangguk. "Benar! Mungkin karena jiwa seninya tinggi, saat Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Ganefo, Soekarno ingin Jakarta sebagai ibukota negara yang baru merdeka terlihat cantik dan megah. Dibangunlah Patung Selamat Datang di bundaran HI untuk menyambut para kontingen. Setelah itu masih banyak patung lainnya yang dibangun. Misal Patung Pak Tani atau Patung Pahlawan yang dibuat oleh perupa asal Uni Sovyet. Ada juga Patung Dirgantara yang lebih dikenal dengan Patung Pancoran. Konon patung ini langsung menghadap ke Bandara Halim Perdana Kusumah."

Sate ayam di piring kami sudah ludes. Pelayan mengangkat piring kami berdua. Satu porsi otak-otak sudah ada lagi di meja kami. Ini akan jadi hidangan penutup.

"Kota ini begitu unik. Pasti menyenangkan tinggal di sini."

"Ya, tapi kuharap aku bisa keluar dari sini dan melihat kota-kota lain. Hidupku terlalu nyaman di sini. Tinggal di rumah tua bersama nyonya keturunan Belanda dan lima kakak perempuan. Rumah kami lebih mirip asrama dara. Untunglah mereka sudah menikah. Kalau tidak, aku pasti merasa hidup di era Jane Austen."

"Hahaha….kau bukan Elizabeth dalam Pride & Prejudice kan?"

"Yang pasti aku bukan putri salju yang menanti pangeran berkuda putih."

Kami tertawa. Senyap menggiring malam. Tapi Jakarta belum tidur. Lampu-lampu gemerlap dalam pekat. Seakan menitip pesan, hidup senantiasa membara di Ibukota. (Bersambung).