webnovel

TENANG, MASIH ADA PAGI

Rintik Pagi divonis menderita fibriodenoma mammae saat umurnya masih 22 tahun. Setelah operasi pertamanya, Rintik dinyatakan menderita kolesteatoma dan harus menjalani operasi telinga yang membuatnya trauma. Demi menemukan alasan untuk tetap hidup, Rintik menyusuri pesisir Indonesia. inilah perjuangan Rintik untuk bangun setiap pagi dan bertahan hidup. Ditulis berdasarkan kisah nyata penulisnya, novel ini mengajak pembaca menghargai hidup, peka pada sesama dan mencintai Indonesia

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
11 Chs

MAKAM PARA WALI DI GRESIK

Gresik, November 2010

Bus AKAP MIRA yang mengantar Ratna dari Jogja mungkin sudah berangkat lagi. Beberapa jam lalu, gadis manis itu kujemput di Terminal Bungurasih, perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Kini kami sudah berada di Gresik untuk menelusuri pengelolaan wakaf dari dulu hingga kini. Tujuan pertama adalah menyambangi wakaf kuno, Makam Sunan Giri.

Ya, Gresik dipilih karena daerah ini disinyalir sebagai salah satu tempat masuknya Islam di tanah jawa. Banyak wakaf kuno yang ditemukan di Gresik. Sebagian besar tanah wakaf digunakan untuk makam dan Masjid.

Gresik memang dikenal sebagai kota bandar yang masyur. Ada dua sosok saudagar perempuan yang populer dan menjadi legenda di Gresik. Pertama, Fatimah Binti Maimun. Nama Fatimah Binti Maimun sering dibahas dalam buku-buku sejarah—berkaitan dengan masuknya Islam di Indonesia.

Makam Fatimah Binti Maimun yang diperkirakan sudah ada sejak Abad ke-11. Menurut seminar ilmiah yang diselenggarakan di kota Medan pada tahun 1963, Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/7 M, langsung dari negeri Arab. Makam Fatimah Binti Maimun yang terletak di Kabupaten Manyar, Gresik ini berada dalam cungkup seperti yang biasa ada pada makam Hindu-Budha.

Namun yang menarik adalah tulisan di makam Fatimah yang bergaya kufi. Seakan membuktikan bahwa perdagangan antara Jawa dan Timur Tengah sudah terjadi sejak Abad ke-11—di mana saat itu Majapahit masih berkuasa. Banyak ahli berpendapat kalau Fatimah adalah saudagar dari Pasai (beberapa mengatakan dari Iran) yang datang ke Gresik untuk berdagang dan meninggal di Manyar karena terkena wabah penyakit.

Selain Fatimah Binti Maimun, ada juga Nyai Ageng Pinatih yang merupakan ibu angkat Sunan Giri. Kabarnya, Nyai Ageng Pinatih adalah saudara dari Permaisuri Raja Brawijaya (Raja Majapahit) yang pergi dari Blambangan karena suaminya ingin menikah lagi.

Raja Brawijaya memberikan Nyai Ageng Pinatih sebidang tanah di Gresik. Nyai Ageng Pinatih berusaha untuk hidup mandiri melalui perdagangan, hingga ia memiliki beberapa kapal.

Raja Brawijaya lalu mengangkat Nyai Ageng Pinatih sebagai Syahbandar—yang sekarang lebih dikenal dengan Kepala Pelabuhan. Nama Nyai Ageng Pinatih pun semakin dikenal sebagai saudagar kaya raya yang diberi wewenang memungut pajak di pelabuhan.

Gresik memang kota bandar. Aku pernah membaca dalam buku Sejarah Gresik kalau Gresik sering juga disebut Grissee—berasal dari kata Gerawasi yang berarti tempat beristirahat. Kuat diduga, para saudagar dari berbagai daerah sering berlabuh di Gresik dan tinggal beberapa hari untuk istirahat.

Kota bandar tempat beristirahat ini pun menyeret langkahku memasuki legenda Sunan Giri. Menurut cerita, Sunan Giri bernama asli Raden Paku. Beliau putra dari Maulana Ishak (dari Timur Tengah) dan putri Raja Menak Djinggo. Pernikahan ini tidak disetujui oleh Menak Djinggo. Maka setelah melahirkan, putri Menak Djinggo melarung Raden Paku ke lautan.

Ajaib, Raden Paku ditemukan oleh orang-orang yang bekerja pada Nyai Ageng Pinatih. Raden Paku menjadi anak angkat Nyai Ageng Pinatih dan diberi nama Joko Samudero—karena ditemukan di laut.

Saat beranjak dewasa, Joko Samudero dibawa ke Ampeldenta (Surabaya) untuk belajar dengan Sunan Ampel. Setelah beberapa lama belajar dari Sunan Ampel, Joko Samudero dan Sunan Bonang diutus ke Pasai untuk belajar dari Maulana Ishaq.

Inilah pertama kalinya Joko Samudero alias Raden Paku bertemu dengan ayahnya. Raden Paku sempat menimba ilmu dari Maulan Ishaq, lalu kembali ke Gresik dan mendirikan pesantren di dekat bukit. Giri dalam bahasa Jawa berarti bukit. Maka dikenallah Raden Paku dengan sebutan Sunan Giri. Lagu anak-anak yang berjudul Cublak-Cublak Suweng, kabarnya adalah salah satu karya dari Sunan Giri.

Hingga kini Sunan Giri masih dikenang sebagai salah satu dari Sembilan Wali penyebar agama Islam di Jawa. Makamnya pun selalu ramai dikunjungi. Bahkan semakin malam semakin penuh. Seperti saat ini, ketika kami datang ke makam Sunan Giri selepas Maghrib. Kerumunan orang memadati area pemakaman yang juga menyimpan jasad sanak-saudara dan kerabat Sunan Giri.

Makam Sunan Giri sendiri berada dalam pendopo tertutup. Kami boleh mengambil gambar area pemakaman, tetapi tidak boleh mengambil gambar makam Sunan Giri. Untuk bisa mencapai area makam Sunan Giri, kami harus menaiki ratusan anak tangga yang kiri dan kanannya dipenuhi makam-makam kuno.

Sempat kami berdiskusi dengan juru kunci makam—yang menurut pengakuannya masih merupakan keturunan Sunan Giri. Saat kami sedang diskusi, datang sepasang suami-istri yang ingin konsultasi dengan juru kunci. Kami yang ada di sana ikut menyimak.

"Assalamualaikum," ujar si suami.

Juru kunci menjawab takzim, "Waalaikumsalam, wr, wb, ada keperluan apa?"

Si suami melihat ke istrinya sejenak. Memejamkan mata, lalu kembali bicara. "Begini, kami sudah lima tahun lebih menikah, tetapi belum punya anak."

Juru kunci tampaknya paham betul kegundahan hati mereka. Dia mengangguk beberapa kali, lalu bertanya, "Bawa blimbing wuluhnya?"

"Ada," Si istri dengan sigap mengeluarkan sekantong blimbing wuluh dari tasnya dan memberikan pada juri kunci.

Juri kunci mengambil kantong yang diserahkan padanya dan berdoa. Usai berdoa, kantong itu diberikan kembali pada pasangan di depannya. "Insya Alloh kalian dimudahkan untuk mendapatkan keturunan."

Wajah pasangan suami dan istri itu sumringah. Mereka mengambil kembali kantong berisi belimbing wuluh dan mohon pamit pada juri kunci. Aku dan Ratna yang melihat kejadian itu hanya bisa terpukau.

Kami pulang setelah wawancara selesai. Aroma magis mendekap. Mungkin karena gelap dan banyak makam kuno yang mulai rusak. Nisan terbelah ada di beberapa bagian. Kami mulai merasa tak kerasan dan ingin secepatnya keluar. Andai ada lampu yang membuat tangga di dekat makam lebih terang, tentu suasananya akan sedikit berubah.

Meninggalkan Makam Sunan Giri, kami bergerak ke kota tua Gresik, tempat kami akan menginap malam ini. Sebentar menyempatkan untuk keluar ke alun-alun kota lama. Melewati banyak lorong layaknya labirin. Lorong-lorong ini terbentuk dari tembok-tembok rumah warga yang tinggi, tetapi tidak terlalu besar. Tidak seperti rumah-rumah yang ada di pegunungan atau bukit. Rumah di sini benar-benar dempet.

Melangkah ke dekat jalan raya. Kami disambut temaram lampu, jalanan sepi dan rumah tinggi dengan cat warna-warni. Biru, kuning, merah, oranye dan hijau mendominasi bangunan yang ada di sepanjang jalan. Beberapa bangunan memiliki kanopi kecil seperti rumah-rumah di Eropa. Sebagian besar yang menempati wilayah ini adalah keturunan Arab.

Alun-alun terlihat ramai dengan berbagai mainan anak-anak. Seperti pasar malam saja. Kami yang kelaparan langsung menyambangi warung nasi krawu. Nasi krawu, seperti nasi campur khas Indonesia lainnya, memiliki banyak lauk yang melimpah.

Ciri khas dari nasi krawu adalah serundeng dua warna. Satu berwana kuning dan satunya lagi berwana oranye. Ada suwir daging sapi dan ayam di atas nasi yang diletakkan di daun. Malam di kota bandar Gresik, kami resapi kejayaan saudagar Indonesia.

Paginya, aku dan Ratna membuka mata. Semalam kami melawat ke Makam Sunan Giri, pagi ini kami mesti bertandang ke Makam Maulana Malik Ibrahim atau dikenal juga dengan Sunan Gresik. Dalam benakku, Makam Maulana Malik Ibrahim pasti tidak jauh berbeda dengan Makam Sunan Giri. Kuno, dengan arsitektur Hindu-Budha yang kental dan sedikit terasa mistis.

Aku sebenarnya sudah bersiap-siap untuk bertemu kembali dengan juru kunci makam. Tetapi dugaanku meleset jauh. Makam Maulana Malik Ibrahim tidak memiliki juru kunci, yang ada hanyalah pengelola yayasan dan tanah wakaf. Dahulu, tanah ini merupakan pemberian dari Prabu Brawijaya kepada Maulana Malik Ibrahim. Semacam tanah perdikan, karena Maulana Malik Ibrahim menyebarkan agama Islam secara damai dan ajarannya dianggap membawa kebaikan.

Tanah ini diketahui tanah wakaf melalui tulisan yang terdapat pada daun lontar. Sifat Maulana Malik Ibrahim yang baik dan rendah hati membuat masyarakat sekitar secara sukarela mengurus makamnya saat beliau tiada.

Sepanjang ingatanku tentang makam-makam kuno di Indonesia, ini makam kuno kedua paling indah yang pernah aku lihat. Makam kuno pertama yang menarik hatiku tentu saja makam-makam Belanda yang kini dinobatkan sebagai Museum Prasasti.

Dulu, aku selalu melewati makam-makam itu setiap kali pinjam buku di Perpustakaan Koni. Banyak cerita angker beredar di sekitar makam—yang terlalu cantik untuk dibilang seram.

Berbeda dengan makam di Museum Prasasti yang bernuansa abu-abu dan tampak seperti pameran karya seni, area pemakaman di Makam Maulana Malik Ibrahim didominasi nuansa putih dan tidak ada hiasan patung. Tidak ada kesan mistis atau angker sama sekali. Bahkan makam Maulana Malik Ibrahim yang dibalut dengan kain putih pun tetap terlihat indah.

Persis di sebelah makam Maulana Malik Ibrahim, ada dua makam lainnya yang juga dibalut kain putih. Sementara makam-makam yang lebih kecil ada di halaman. Masih dengan nisan putih yang diukir sempurna.

Makam dibuat teratur dan tertata rapi. Pohon kamboja juga tidak ditanam di sembarang tempat. Ada satu sisi yang sengaja dibiarkan untuk berjalan. Persis di atas jalan itu bunga kamboja bermekaran. Kadang jatuh ke jalan dan membuat area makam ini seperti berada dalam musim semi.

Pendopo panjang dengan ubin putih dan ukiran kayu berwarna coklat terlihat lengang. Biasanya, pendopo digunakan peziarah untuk istirahat. Jika ingin menginap, peziarah bisa menyewa tempat yang telah disediakan pengelola makam.

Ada satu gentong berisi air untuk peziarah. Aku tidak tahu, apakah airnya bisa diminum atau sekedar untuk cuci kaki. Orang-orang di Jawa Timur percaya, saat meninggalkan makam, peziarah harus cuci kaki.

Peziarah yang datang tidak bisa duduk sembarangan. Mereka ditampung di aula. Lalu bergantian ziarah ke makam. Ada juga yang duduk di pendopo, tetapi tidak banyak. Toilet dijaga agar tetap bersih dan rapi.

Andai saja seluruh pengelolaan makam kuno dan situs bersejarah seperti ini, pasti betah berlama-lama. Apalagi area makam ini pas sekali untuk foto-foto. Entah foto profil atau foto pra wedding.

Sebenarnya tidak hanya makam Maulana Malik Ibrahim yang ada di sini. Ada juga makam Pusponegoro, Bupati pertama Gresik. Kabar yang beredar, beliau masih keturunan Sunan Giri. Area pemakamannya pun mirip dengan makam-makam kerabat Sunan Giri yang lain. Nisannya berwarna coklat dan tampak kurang terawat. Suasananya berbeda jauh dengan makam Maulana Malik Ibrahim. Kedua makam ini dipisahkan dengan gapura putih yang cukup besar dan memiliki tulisan berwarna emas.

Cukup lama juga aku dan Ratna berdiam di makam Maulana Malik Ibrahim. Apalagi angin yang berhembus tenang di pendopo benar-benar membuat mata ingin memejam. Tapi kami harus berangkat ke tempat lain. Ratna harus ke Manyar. Sedang aku harus ke Ujungpangkah.

Kami keluar dari area makam cantik yang membuat kaki malas melangkah. Ratna mengambil bunga kamboja yang jatuh di tanah. Begitu kami bertemu tukang parkir di depan gerbang pemakaman, tukang parkir itu langsung menegur Ratna.

"Itu kamboja dari dalam makam ya? Mbak, tidak boleh ambil apapun dari dalam makam. Nanti diikuti."

Ups! Spontan wajah Ratna berubah. Tangannya dengan cepat melepas bunga kamboja yang ada dalam genggaman. Bunga kamboja itu kembali jatuh ke tanah. Aku tergelak, tak bisa menahan tawa.