webnovel

Si otoriter khawatir

"Selamat datang untuk semua rekan kerja perusahaan Abikasa Permata! Seperti biasa, kita akan merayakan acara perekrutan karyawan baru!" Sang MC pembawa acara benar-benar terlihat antusias membawakan acara pada malam yang meriah ini.

Hari ini Esya mengenakan pakaian yang paling sederhana diantara baju-baju glamor nan mahal di sekitarnya. Langkah kakinya mengantarkannya pada seorang pria yang sedang menikmati soju seorang diri. 

Karena gugup luar biasa, Esya jadi tidak fokus melangkahkan kakinya. Belum lagi, langkahnya terasa bergetar karena tidak terbiasa memakai high heels setinggi 10 cm. Dia terus menunduk seraya melangkah cepat mencari tempat di mana timnya berkumpul.

BRAK!

Berulang kali dia memohon-mohon meminta maaf pada lelaki itu. Namun sosok tinggi dengan dada bidang dan pakaian mewah itu tetap meliriknya dengan sinis.

Sesaat mereka bungkam suara.

"Temani saya malam ini. Sebagai gantinya." Tiba-tiba ucapan yang terdengar agak nyeleneh keluar begitu saja dari mulutnya. 

"Maaf, bisa Anda ulangi, Pak?" Esya seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sebab dari luarannya lelaki ini terlihat seperti pria baik-baik. 

"Anu, maaf. Maksud saya, jadilah teman saya untuk malam ini. Kamu bisa lihat saya sendirian, 'kan?" Lelaki berambut hitam legam itu mengusap tengkuknya seraya memalingkan pandangan. 

"Oh, tentu saja! Tapi saya harus absen dulu, Pak. Permisi." Dia melengos begitu saja, sebelumnya tersenyum ramah pada lelaki itu. Banyak mata yang memperhatikan mereka. Namun diantara mereka berdua, tidak ada yang peka akan hal itu. Atau lebih tepatnya tidak mempedulikan pandangan orang lain.

"Bagus! Bagus sekali! Kamu cari muka di sana, ya?!" tuduh Bu Hana yang tiba-tiba muncul di depannya. Esya menggeleng cepat sebelum memberi alasan.

"Tadi saya tidak sengaja menabrak laki-laki di sana, Bu." 

Bu Hana tertawa getir seraya melirik sinis tak percaya.

"Oh, tuhan! Apa iya, aku akan percaya dengan alasan bodoh itu? Jelas-jelas kamu sedang merayu bos-bos besar di sana, lho! Jangan beralasan, deh—"

"Hana, apa kamu akan menghancurkan suasana perekrutan perusahan?" Tiba-tiba Zidane muncul di belakang Bu Hana. Membuatnya tersentak sekaligus malu tak punya muka.

"Sayang, bukan begitu! Aku hanya memberi sedikit pemahaman pada karyawan baru kita—" Dia bertingkah seolah-olah pacarnya Zidane. Tangannya mulai berani menggandeng tangan CEO itu.

"Ah! Lepas! Jadi begini sikapmu di depan karyawan baru? Apakah kamu pantas disebut senior?" Omongan Zidane bagaikan pedang yang menembus hatinya. Bu Hana langsung diam seketika.

"Esya, apakah kamu—" Zidane mulai menjalankan apa yang tadi di ajarkan Gavin yang sekarang sedang duduk di sisi paling pojok. Dia mengamati semua tindakan Zidane. Sesaat dia melirik Gavin, dan langsung melempar lirikan tajam pertanda marah karena sahabatnya itu malah tertawa cekikikan.

"Maaf, Pak. Saya masih ada urursan, permisi." Esya melengos menembus orang-orang yang berkerumun membentuk pertemanannya masing-masing.

"Wah, Pak Zidane yang dikenal susah didekati, kayaknya sudah mulai membuka hatinya yang dingin, ya? Apa tadi? Kamu lihat nggak, dia mendekati anak baru itu, lho." Zidane bisa mendengar dengan jelas semua pergosipan tentang dirinya. Bak bintang di langit yang terpaksa jatuh sejatuh-jatuhnya. Kira-kira seperti itulah bentuk harga diri Zidane sekarang.

Dia mengepal kuat-kuat seraya melangkah mendekati Esya yang juga terbiasa berjalan cepat. Wajar kalau lelaki itu tak terima. Bahkan Esya menolak tanpa membiarkannya menjelaskan omongannya.

"Maaf, saya terlambat, ya?" tanya Esya basa-basi seraya menulis namanya di lembar kertas itu. Ditaruhnya kembali kertas itu pada tempatnya. Saat berbalik badan, Esya begitu tersentak ketika melihat Zidane pada jarak yang sangat dekat.

Set!

Dengan sigap, Zidane langsung menopang tubuhnya. Membuat lekuk tubuh wanita itu terlihat sempurna. Bersamaan dengan itu, suara terompet pertanda sudah waktunya berdansa sesama pasangan telah di tiup keras. Sesaat Zidane tersentak, tetapi dia tak melepaskan pinggang rampingnya. Lelaki itu menuntunnya untuk berdansa dengannya malam ini.

"Pak—" Esya mulai membuka suara. Bersamaan dengan itu, Zidane menempelkan telunjuknya pada bibir wanita itu. Niatnya diurung seketika.

***

Alunan musiknya sudah berhenti. Namun, keduanya masih setia menatap satu sama lain. Esya merasa, Zidane telah membongkar pintu rahasianya yang dia tutup rapat-rapat. Dia yakin sekarang sorot matanya membongkar semuanya.

"Saya permisi," ucap Esya seraya melangkah cepat ke arah toilet. Baru beberapa langkah, tangannya sudah dicekal oleh Zidane.

"Saya ikut." Ucapan itu sukses membuat Esya terpelongo. Dia semakin dibuat tidak paham dengan tingkah Zidane yang semakin hari semakin membuatnya bingung.

Karena tidak mau ribet, Esya mengabaikan ucapan lelaki itu. Ada hal yang lebih penting dari itu. Dia sudah kebelet di ujung tanduk.

***

"Rupanya ke toilet. Kukira dia akan kemana …." Zidane memilih menunggu di luar toilet wanita. 

"Sayang, kamu nungguin aku?" Tiba-tiba Bu Hana perawan tua itu mendekat padanya, menggandeng lengannya bertingkah seolah mereka adalah pasangan.

Beberapa karyawan yang melihat itu tertawa cekikikan. Itu merupakan hal yang sudah biasa terjadi, bahkan jauh sebelum Esya masuk ke sini.

"Apa mau saya pecat?" 

"Katamu, aku masih ada kekuasaan berpengaruh disini? Jadi kamu tidak mampu memecatku, 'kan? Begitu?" Kening Hana mengerut sempurna.

Jauh di luar dugaannya, Zidane malah tersenyum menyepelekannya. "Kinerja Esya sudah setara denganmu. Jadi, saya bisa saja mengganti—"

"Tidak. Maaf, saya sangat minta maaf, Pak! Permisi!" Jauh dari mimik wajahnya yang terlihat cemas, Hana sangat geram dan semakin benci pada wanita itu. 

"Aku yang duluan masuk sini! Kenapa si anak baru itu bisa mengganti posisiku?! Sialan … dasar bocah sialan! Lihat saja kau, Esya!" Dia menggertakkan giginya. Terlihat kilat-kilat api pada sorot matanya. Kini, posisi Esya sudah berbahaya. 

***

"Mau ke mana? Boleh ikut bersamamu?" tanya Zidane ketika pujaan hati yang ditunggu-tunggu keluar dari dalam toilet. Sayangnya, lelaki itu masih belum bisa mengakuinya.

Esya melongo, sesaat dia celingak-celinguk mencari seseorang yang bosnya ajak bicara. Namun kini hanya ada dia dan Zidane saat itu. 

"Kamu. Esyara Gezila Mahjong." 

"Saya? Ah, maaf, Pak. Saya masih ada urusan yang belum selesai." Dia melangkah terburu-buru tanpa menunggu jawaban dari atasannya itu.

"Saya ikut." Lelaki tampan dengan wajah jutek nan kaku itu mengekor dari belakang. 

Matanya mencari di mana sosok lelaki yang tadi ditabraknya. Dia melangkah terburu-buru tanpa bisa membayangkan makian apa yang akan didapatnya dari sosok itu. Karena sosoknya terlihat seperti orang berpengaruh di sini. 

"Maaf, Pak! Saya sangat minta maaf!" Esya membungkuk berkali-kali pada pria itu. 

"Tak apa. Tapi kita telah melewati dansa tengah malam yang saya nantikan bersamamu. Apa bisa kita ganti jadwalnya?" 

DEG!

Hati Zidane bak tertusuk tombak panas yang sangat runcing. Dia tidak menyangka kalau Esya punya urusan penting dengan lelaki hidung belang itu. Zidane mengenalnya dengan baik, karena itu adalah tamu perusahaan bergengsi yang sudah bekerja sama dengan perusahaan ini dalam kurun waktu yang terbilang lama.

"Sial … sekarang saya harus gimana?" tanya Zidane dalam hati. Dia masih memantau mereka dari jarak jauh. Hatinya semakin panas ketika Esya tidak menolak ketika tangannya di genggam lelaki itu. 

"Kau cemburu?" Tiba-tiba seseorang mengagetkannya dari belakang. Dia kira persembunyiannya telah terbongkar. Ternyata itu adalah Gavin yang entah datang dari mana.

"Nggak ada yang cemburu. Saya cuma khawatir, kok. Dia, 'kan anak baru di perusahan ini. Kalau tidak diawasi—" Zidane melontarkan seribu alasan untuk pertanyaan yang paling dia benci.

Gavin terkekeh.

"Jangan beri saya penjelasan terlalu banyak begitu! Apakah kamu yakin, Esya aman bersamanya?" Gavin mencoba menggoda Zidane. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan ketika Zidane tanpa pikir panjang langsung melangkah ke arah targetnya.