webnovel

Mengkhawatirkanmu

"Maaf—"

Baru saja Zidane inisiatif mencairkan suasana, lirikan tajam dari lelaki brewokan itu beralih padanya. Ada rasa sungkan di hatinya, namun, kecemasannya pada Esya jauh lebih besar. Hatinya tak dapat berbohong.

"Apa! Cepat pergi! Atau …." Sebuah pistol yang biasa dipakai para polisi untuk memberikan peringatan bagi para tahanan ketika kondisi tidak kondusif itu sekarang menodong pada kepala Zidane.

Esya memberi isyarat agar bosnya cepat pergi dari sini. Akan lebih berbahaya jika ayahnya semakin naik pitam. Mengingat kepribadian Zidane yang tak mau terbantahkan.

Dia menjawab dengan wajah yang kaku. Satu tarikan napas dalamnya seperti memperkuat insting Esya, bahwa lelaki itu tak mau pergi begitu saja.

"Pak, jika anda salah satu anggota kepolisian. Apakah ini adalah tindakan yang benar? Apakah seorang polisi berani bertindak semena-mena pada warga yang seharusnya dilindunginya?" Zidane mengambil resiko besar.

Dia tahu situasinya sangat genting. Keberadaan pistol itu, sekali saja salah tindakan, nyawanya akan melayang. Kepalanya sudah pasti bolong. Namun, kekerasan hati yang membuat lelaki itu teguh untuk membela Esya.

Esya menelan salivanya saat telunjuk sang ayah mulai menekan pistol yang hanya berjarak lima cm dengan kepala Zidane. Jantungnya berdegup kencang dan embun keringat dingin mulai menggerayangi tubuhnya.

Zidane menutup matanya rapat-rapat. Dia berharap hal buruk itu jauh-jauh darinya. Namun nasib berkata lain.

DOR! DOR!! DOR!!!

Secepat kilat, entah bagaimana caranya. Zidane seperti di tarik oleh sesuatu dengan sangat cepat. Bahkan dia tak merasa ada yang menyentuhnya. Namun kenyataan bahwa dia selamat, membuat Esya bisa bernapas lega.

Sedang ayah Esya mencoba memukul-mukul pistol itu. Karena sepertinya pelurunya telah habis. Dia tidak pernah mengira rencananya akan gagal. Karena biasanya itu selalu berhasil dan membuatnya memperoleh kekayaan dari sana.

Sang ayah memggertakkan giginya. Mengepal kencang tangannya lalu bergegas masuk.

Melihat itu, Esya langsung membantu Zidane untuk berdiri akibat kejadian janggal tersebut. Hatinya gundah dan risau sebab Esya memiliki lebih banyak kemisteriusan yang membangkitkan rasa penasaran yang telah terkubur sekian lama.

"Pak, sebaiknya Anda pulang—" ucapnya seraya memapah atasannya.

"Tidak. Jika Anda menceritakan semuanya pada saya, baik, saya akan pulang sesuai permintaan Anda." Zidane masih bersikeras setelah kejadian tadi yang nyaris merenggut nyawanya.

Sorot matanya melemah. Seperti ada secarik sinar keraguan dari dalam sana.

"Atau, ikutlah dengan saya. Kamu harus ditempatkan di tempat yang aman." Dia asal menggandeng tangan Esya. Menatap manik mata rapuh itu.

"Jika begitu, ayo lari. Kita berdus harus selamat dari amukan ayahku." Esya menuntunnya berlari. Tidak ada waktu untuk terkagum oleh seberapa cepat dan gesitnya sang pujaan hati. Dia lebih mementingkan keselamatan mereka, karena ayah Esya sudah membawa senapan api. Tentunya itu lebih mengerikan.

Zidane menyimpan berbagai pertanyaan dalam benaknya. Namin lagi-lagi dia urungkan. Dan sekarang mereka sudah sampai di depan halte busway terdekat.

Tangannya langsung menggenggam tangan Esya. Memberikan secarik kehangatan dan juga rasa aman padanya. Sekilas, keduanya bersitatap.

Setelah menempelkan kartu untuk dirinya dan Esya, mereka duduk di bagian tengah sisi kiri. Keduanya bungkam suara. Atmosfer suasananya makin terasa canggung.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara pengumuman bahwa bus yang mereka tumpangi telah sampai di halte dekat rumah Zidane.

Mereka keluar dan Zidane masih menggenggam tangan mungil Esya. Terus berjalan bersama hingga kini mereka tepat ada di depan rumah Zidane.

Mata hitam itu melirik Zidane. Ada secarik keraguan di sana. Tentunya menginap di rumah lelaki apalagi bosnya sendiri bukanlah hal yang lazim. Pikirannya mengingat kejadian beberapa waktu silam di mana dia pernah menginap di sini sebab keputusan Zidane yang sepihak.

Esya menelan salivanya.

"Pak, apa tidak sebaiknya saya mencari hotel?" tanyanya berdiri di belakang Zidane yang tengah membuka pintu.

Zidane menghela napas panjang. Dia menatap mata hitam itu. "Kamu takut saya akan bertindak gegabah? Hey, rasa kecemasan saya lebih besa–ah, bukan begitu. Maksud saya, kamu bisa tinggal di kamar kosong rumah ini. Mungkin untuk sementara waktu," papar Zidane mengusap tengkuknya dan memalingkan pandangannya.

"Iya, Pak. Terimakasih," Esya bergegas masuk dan dituntun Zidane untuk melihat kamar yang dimaksud.

"Kamu suka kamarnya? Kalau ada apa-apa, kamu harus bilang pada saya. Jangan sungk–bukan, maksud saya, sebagai karyawan di kantor saya, jadi saya ingin menolongmu. Itu saja."

Kini pipinya merona. Zidane menutup setengah wajahnya yang terasa panas dengan kelima jarinya. Hatinya terasa panas, seperti ada gelora panas yang bersemayam jauh di lubuk hatinya.

"Iya," jawabnya singkat.

Zidane menutup pintu kamar. Meninggalkannya seorang diri.

"Mungkin malam akan tiba. Disaat itulah mungkin ayah sudah kembali ke rumah dinasnya. Ya, aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bahaya jika ada yang melihat. Bisa timbul fitnah, walaupun niat pak Zidane baik."

Hatinya sakit melihat sang ayah yang tak kunjung berubah. Setelah kematian mendiang ibu, ayah semakin semena-mena padanya. Padahal dulu lelaki brewokan itu selalu terlihat amat menyayangi keluarganya. Walaupun sifatnya kaku dan dingin.

Kini Esya mencari cara untuk keluar dari rumah Zidane tanpa sang pemilik tahu. Dia yakin Zidane akan menyuruhnya untuk menginap semalaman di sini. Namun, rasa tidak nyaman kerap menyapanya.

"Apakah pak Zidane sudah tidur? Mungkin. Tapi, pintu utamanya pasti terkunci. Rumahnya gedongan seperti ini, 'kan. Mau tidak mau, cara teraman aku harus manjat jendela untuk keluar dari sini."

Langkahnya mendekati jendela yang dapat di akses bebas tanpa teralis. Dia mencoba melihat seberapa tinggi lantai dua kamar itu. Di bawahnya terlihat taman belakang rumah Zidane. Esya berpikir jika dia ke sana, maka Zidane tidak akan sadar. Karena tidak mungkin seorang lelaki berdiam diri di taman yang sepi seperti itu.

"Aku harus keluar."

Nekat. Tanpa pikir panjang dia langsung melompat. Dan untungnya berhasil selamat. Kini tinggal mencari cara untuk terbebas dari pagar-pagar runcing itu. Teknik memanjatnya pun harus sangat hati-hati. Jika tidak, bisa saja bagian paling berharganya tertusuk.

Sementara itu ….

"Esya, saya sudah siapkan makan malam. Ayo turun bersama." Zidane berulang kali mengetuk pintu kamar yang diisi Esya. Namun, karena tak ada jawaban dari dalam, lelaki itu nekat membukanya dan ternyata kamar itu kosong.

Mencari ke berbagai sudut ruangan dalam rumah, Esya belum juga di temukan. Ini adalah pertama kalinya Zidane cemas.

"Kemana kamu?" lirih Zidane dengan keringat bercucuran. Rasa traumanya mengulang memori kelam di masa lalu. Zidane sangat cemas memikirkan di mana Esya sekarang. Apakah gadis itu aman atau tidak. Dia frustasi.

Bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi dan terpampang jelas nama Gavin di sana. Zidane mendengus pelan.

"Halo? Gimana, bro?" Suara khas Gavin terdengar jelas.

"Apa?" tanya Zidane seperti menahan amarah. Lelaki itu cenderung cepat memanas ketika rasa khawatirnya memuncak.

"Jadikah nembaknya? Ah, jangan bilang kamu lupa, Dan."

Mendengarnya membuat Zidane menghela napas panjang.

"Nggak. Esya aja nggak ada di rumah saya. Tadi ada sekuel masalah di rumahnya. Jadi saya coba tenangkan dia di sini. Tapi … kayaknya dia nggak nyaman," papar Zidane dengan wajah di tekuk.

Terdengar tawaan Gavin menggema. Lelaki itu pasti akan mengejeknya.

"Udah, cari sana. Aku tahu kamu pasti khawatir banget. Sorry ganggu—"

Tut-

Zidane mematikan telepon secara sepihak. Memasukkannya dalam kantong celana. Langkahnya mengantarkannya pada kamar untuk mengambil jaket tebal. Lelaki itu alergi dingin.

Dia segera menyiapkan mobil yang terparkir di taman belakang karena pagi hari tadi dia baru selesai mencucinya. Namun dia melihat ada secarik bahan baju Esya. Lelaki itu semakin cemas.