webnovel

Tatanan Baru Sultan Hamengku Buwono III

Dalam sejarah Jawa, sebuah pemerintahan baru membuka kesempatan untuk menata kembali Keraton. Meskipun berlangsung singkat dan sumber daya keuangannya masih sangat menyedihkan setelah hancur lebur dijarah Inggris, namun pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III yang hanya berlangsung 29 bulan itu cukup berhasil dalam menata ulang hierarki keraton secara menyeluruh.

Dua isteri resmi Sultan diberi kehormatan dengan dinaikkan gelarnya. Yang paling utama adalah ibunda Putera Mahkota, yang kelak akan menjadi Sultan IV (bertahta pada 1814 - 1822). permaisuri ini, yang adalah seorang perempuan biasa yang "bermartabat tinggi", diberi gelar Ratu Kencono dan nantinya akan sangat berpengaruh di keraton selama masa kanak - kanak anaknya. Perempuan ini sangat dihormati Crawfurd, tetapi tidak demikian dengananak tirinya, Diponegoro, yang memandang rendah moralitasnya karena bersekutu dengan dua musuh politik utamanya,yaitu Patih Yogya, Danurejo IV dan Raden Tumenggung Mayor Wironegoro, komandan pengawal Sultan, yang disebutnya kekasih gelap Sang Permaisuri.

Dalam sebuah artikelnya yang terkenal, sejarawan Belanda, P.H Van Der Kemp membandingkan Diponegoro dengan Hamlet, Pahlawan dalam cerita karangan pujangga Inggris yaitu Shakespeeare. Seperti Hamlet, Diponegoro juga tokoh bernasib tragis, yang mendasarkan posisi argumentasinya pada hubungan yang penuh permusuhan ini antara dirinya dan ibu tirinya yang amoral.

Banyak pejabat baru keraton dipilih diantara mereka yang mendukung Sultan Hamengku Buwono III sewaktu masih bergelar Putra Mahkota. Yang paling menonjol disini adalah keluarga Danurejo. Salah satu putri yang ditinggal mati Danurejo II kemudian dalam waktu dekat dikawinkan dengan bakal Sultan Hamengku Buwono IV (13 Mei 1816), suatu penyatuan yang menandakan rehabilitasi nama baik keluarga Danurejan.

Pada Juli 1812, Diponegoro yang sebelumnya bernama Raden Ontowiryo menerima gelar kepangeranan sebagai Bendoro Pangeran Ario Diponegoro dan diberi tanah jabagan 500 cacah. Banyak dari tanah - tanah miliknya berlokasi di selatan Yogya, terutama di Bantul. Disana Pangeran membangun tempat semedi pribadi di goa Selarong yang berdekatan dengan perbukitan kapur.

Pada suatu masa, hanya boleh ada seorang pangeran saja yang menyandang gelar tertentu, tetapi oleh karena gelar itu telah lama kosong, Sultan Hamengku Buwono III menganggap layak untuk menganugerahkannya kepada putera tertuannya. Dalam perjalanan menuju pengasingannya kemudian, ketika gelar kepangeranannya ia wariskan kepada putera sulungnya sendiri, yakni Diponegoro II. Diponegoro memberikab analisis menarik tentang makna etimologis dari namanya itu.

"dipo (dari bahasa sansekerta 'dipa') berarti seseorang yang menyebarkan pencerehan atau yang memiliki hidup dan kekuatan, dan negoro berarti suatu daerah. Maka Diponegoro berarti seseorang yang menyadi penyebar pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerag (negara). "

Ketika itu Pangeran Diponegoro barangkali teringat akan ramalan kakek buyutnya yang termasyur. Mangkubumi, yang mengatakan bahwa "seorang dari keturunannya akan bangkit melawan Belanda, yang menyebabkan Belanda mengalami kekalahan hebat, yang lebih besar dari apa yang pernah dia lakukan, namun hasilnya hanya Yang Maha Kuasa yang tahu.